Perilaku Masyarakat Kunci Keberhasilan Mengurangi Sampah Plastik
A
A
A
DEPOK - Pengelolaan sampah, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, semakin menantang karena jenisnya kini semakin beragam. Keberhasilan pengurangan sampah, khususnya plastik dan limbah sebagai bagian dari pengendalian perubahan iklim, sangat bergantung pada perubahan perilaku masyarakat.
Oleh karena itu, keterlibatan semua pihak untuk mendorong perubahan perilaku masyarakat sangat diperlukan. Hal ini terungkap dalam sesi khusus bertema "Program Berkelanjutan Pengurangan Sampah Plastik Berbasis Masyarakat untuk Pengendalian Perubahan Iklim" pada Simposium Asia Tenggara ke-7 yang dihelat di Kampus Universitas Indonesia (UI), Depok.
Dalam kesempatan tersebut juga diserahkan dokumen masukan kebijakan pengelolaan sampah yang dihasilkan dari kajian Perkumpulan Ahli Lingkungan Indonesia (Indonesian Environmental Scientist Association/IESA) bekerja sama dengan APP-Sinar Mas yang dilakukan di Indah Kiat Tangerang, Indah Kiat Serang, dan Ekamas Fortuna Malang kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) .
Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sri Tantri Arundhati menyebutkakan, Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris, sebagai bagian dari upaya global untuk memgendalikan perubajan iklim.
Indonesia mencanangkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 29% pada 2030 dari business as usual atau mencapai 41% dengan dukungan Internasional. Dari target yang dicanangkan tersebut, pengelolaan sampah dan limbah berkontribusi sebanyak 0,38%. "Meski kecil, tapi menentukan keberhasilan pencapaian penurunan emisi GRK," katanya.
Sementara itu, Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Non B3 KLHK Achmad Gunawan Widjaksono menyebutkan, pengelolaan sampah kian menantang karena jenisnya kini semakin beragam. Bahkan ada jenis sampah yang dihasilkan masyarakat bisa dikategorikan beracun. "Baterai, lampu neon, atau kaleng obat nyamuk, itu sangat beracun," katanya.
Adapun sosiolog Linda Damajanti menyatakan, pengurangan sampah tidak bisa berhenti pada penyadartahuan, tapi juga harus sampai pada perubahan perilaku masyarakat. Seringkali ditemukan masyarakat yang abai meski tahu bahwa sampah harus dikelola. "Dan ini tidak terkait dengan tingkat pendidikan," sebutnya.
Untuk mengubah perilaku, Linda yang juga Kepala Departemen Sosiologi UI itu menilai perlu sebuah gerakan sosial yang melibatkan semua pihak. Gerakan seperti pungut sampah plastik atau membawa kantong belanja sendiri harus terus dikembangkan dengan dukungan kebijakan nasional. "Gerakan itu harus melibatkan akademisi, pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat," katanya.
Selain keterlibatan semua pihak, sejumlah rekomendasi juga disampaikan pada dokumen masukan kebijakan pengelolaan sampah plastik yang disampaikan IESA kepada KLHK. Termasuk diantaranya adalah mengembangkan materi edukasi untuk mengubah perilaku masyarakat.
Silvira Ananda dari IESA menyebutkan, dalam dokumen tersebut IESA juga mendorong adanya insentif bagi perusahaan swasta dan masyarakat yang mendukung program pengurangan sampah plastik. "Kami juga mendorong swasta untuk memproduksi produk pengganti plastik sebagai subsitusi, seperti kertas misalnya," pungkasnya.
Oleh karena itu, keterlibatan semua pihak untuk mendorong perubahan perilaku masyarakat sangat diperlukan. Hal ini terungkap dalam sesi khusus bertema "Program Berkelanjutan Pengurangan Sampah Plastik Berbasis Masyarakat untuk Pengendalian Perubahan Iklim" pada Simposium Asia Tenggara ke-7 yang dihelat di Kampus Universitas Indonesia (UI), Depok.
Dalam kesempatan tersebut juga diserahkan dokumen masukan kebijakan pengelolaan sampah yang dihasilkan dari kajian Perkumpulan Ahli Lingkungan Indonesia (Indonesian Environmental Scientist Association/IESA) bekerja sama dengan APP-Sinar Mas yang dilakukan di Indah Kiat Tangerang, Indah Kiat Serang, dan Ekamas Fortuna Malang kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) .
Direktur Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sri Tantri Arundhati menyebutkakan, Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris, sebagai bagian dari upaya global untuk memgendalikan perubajan iklim.
Indonesia mencanangkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 29% pada 2030 dari business as usual atau mencapai 41% dengan dukungan Internasional. Dari target yang dicanangkan tersebut, pengelolaan sampah dan limbah berkontribusi sebanyak 0,38%. "Meski kecil, tapi menentukan keberhasilan pencapaian penurunan emisi GRK," katanya.
Sementara itu, Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Non B3 KLHK Achmad Gunawan Widjaksono menyebutkan, pengelolaan sampah kian menantang karena jenisnya kini semakin beragam. Bahkan ada jenis sampah yang dihasilkan masyarakat bisa dikategorikan beracun. "Baterai, lampu neon, atau kaleng obat nyamuk, itu sangat beracun," katanya.
Adapun sosiolog Linda Damajanti menyatakan, pengurangan sampah tidak bisa berhenti pada penyadartahuan, tapi juga harus sampai pada perubahan perilaku masyarakat. Seringkali ditemukan masyarakat yang abai meski tahu bahwa sampah harus dikelola. "Dan ini tidak terkait dengan tingkat pendidikan," sebutnya.
Untuk mengubah perilaku, Linda yang juga Kepala Departemen Sosiologi UI itu menilai perlu sebuah gerakan sosial yang melibatkan semua pihak. Gerakan seperti pungut sampah plastik atau membawa kantong belanja sendiri harus terus dikembangkan dengan dukungan kebijakan nasional. "Gerakan itu harus melibatkan akademisi, pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat," katanya.
Selain keterlibatan semua pihak, sejumlah rekomendasi juga disampaikan pada dokumen masukan kebijakan pengelolaan sampah plastik yang disampaikan IESA kepada KLHK. Termasuk diantaranya adalah mengembangkan materi edukasi untuk mengubah perilaku masyarakat.
Silvira Ananda dari IESA menyebutkan, dalam dokumen tersebut IESA juga mendorong adanya insentif bagi perusahaan swasta dan masyarakat yang mendukung program pengurangan sampah plastik. "Kami juga mendorong swasta untuk memproduksi produk pengganti plastik sebagai subsitusi, seperti kertas misalnya," pungkasnya.
(thm)