Retas Ratusan Website di 44 Negara, Tiga Hacker Raup Rp200 Juta
A
A
A
JAKARTA - Tiga mahasiswa yang meretas 600 website di 44 negara telah meraup uang hasil kejahatan sebanyak Rp200 juta. Komplotan hacker ini telah beraksi sejak 2017 lalu.
Kasubdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Roberto Pasaribu mengatakan, ketiga mahasiswa yang meretas 600 website itu meraup mulai dari Rp 50-200 juta."Setiap meretas, mereka meminta uang ke korbannya kalau mau sistemnya dipulihkan kembali. Uang tebusannya bervariasi, tapi bisa sampai Rp50-200 juta," kata Robertero kepada wartawan, Selasa (13/3/2018).
Menurut Roberto, 600 website dan sistem IT yang tersebar di 44 negara yang sudah diretas tiga mahasiswa itu. Namun, jumlah itu kemungkinan bisa bertambah bergantung perkembangan penyelidikan di lapangan.( Baca Juga: Baca: Komplotan Peretas 600 Website di 44 Negara Ternyata Masih Mahasiswa
Dalam pengembangan, ternyata bukan hanya 600 website saja yang diretas melainkan ada sebanyak 3.000 sistem IT yang jadi sasaran hacking mereka. "Kita kerja sama dan mendapat informasi itu. Kita analisa sampai dua bulanan berdasarkan informasi dari FBI itu, ternyata lokasinya itu di Surabaya," ucapnya.
Kasubdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Roberto Pasaribu mengatakan, ketiga mahasiswa yang meretas 600 website itu meraup mulai dari Rp 50-200 juta."Setiap meretas, mereka meminta uang ke korbannya kalau mau sistemnya dipulihkan kembali. Uang tebusannya bervariasi, tapi bisa sampai Rp50-200 juta," kata Robertero kepada wartawan, Selasa (13/3/2018).
Menurut Roberto, 600 website dan sistem IT yang tersebar di 44 negara yang sudah diretas tiga mahasiswa itu. Namun, jumlah itu kemungkinan bisa bertambah bergantung perkembangan penyelidikan di lapangan.( Baca Juga: Baca: Komplotan Peretas 600 Website di 44 Negara Ternyata Masih Mahasiswa
Dalam pengembangan, ternyata bukan hanya 600 website saja yang diretas melainkan ada sebanyak 3.000 sistem IT yang jadi sasaran hacking mereka. "Kita kerja sama dan mendapat informasi itu. Kita analisa sampai dua bulanan berdasarkan informasi dari FBI itu, ternyata lokasinya itu di Surabaya," ucapnya.
(whb)