Banjir Terjadi karena Normalisasi Sungai Tak Tuntas

Sabtu, 10 Februari 2018 - 08:31 WIB
Banjir Terjadi karena...
Banjir Terjadi karena Normalisasi Sungai Tak Tuntas
A A A
JAKARTA - Pemprov DKI Jakarta mengevaluasi banjir yang terjadi di sejumlah wilayah beberapa hari lalu. Hasilnya, 31 titik banjir akibat sungai di sekitar belum tersentuh normalisasi.

Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Teguh Hendrawan mengatakan, berdasarkan hasil evaluasi banjir yang terjadi beberapa hari lalu di Jakarta, sedikitnya ada 31 titik banjir di sepanjang aliran Sungai Ciliwung yang terdampak dari siaga 1 pintu air Katulampa, Bogor, Jawa Barat pada Senin (5/2/2018) lalu.

”Sebanyak 31 titik banjir itu rata-rata memang belum normalisasi, misalnya Gang Arus Rawajati, Pejaten, Bidara Cina. Masyarakat harus membuka mata, normalisasi harus benarbenar jalan,” kata Teguh Hendrawan di Balai Kota Jakarta kemarin. Teguh menjelaskan, normalisasi itu harus terus berlanjut.

Efektivitasnya bisa dilihat di beberapa daerah Sungai Ciliwung yang sudah dinormalisasi. Salah satunya di Bukit Duri yang tahun lalu menjadi viral dan kali ini tidak ada lagi yang teriak. Inilah yang harus dipahami semuanya.

Selain mengembalikan kali normal seperti sebelumnya dengan merelokasi warga ke rumah susun sewa (rusunawa) bagi mereka yang tidak punya sertifikat, Teguh menyebut, kapasitas sungai di Jakarta tentu juga butuh sheetpile.

Menurut dia, sheetpile dipilih karena kekuatannya ketimbang estetika alam natural. Bahkan di negara Eropa, kata Teguh, juga dipikirkan kekuatannya terlebih dahulu, baru berpikir estetika alam naturalisasi. Sheetpile yang dibangun itu memiliki kekuatan 40 tahun dan itu harus dipercepat pembangunannya.

”Supaya jangan banjir lagi, pusing kepala. Semuanya pasti ingin secepatnya, normalisasi, naturalisasi semua jalan. Kita tiap hari kerja. Proses normalisasi, naturalisasi juga semua artinya bukan menggusur, tapi merelokasi warga ke tempat yang sesuai. Harus dibedakan,” tegasnya.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mendukung program normalisasi. Terpenting dialog dan mediasi dilakukan secara kondusif. Dalam Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrembang) yang saat ini tengah berjalan di beberapa wilayah, tingkat partisipasi warga dalam normalisasi sungai sangat tinggi.

Misalnya yang ditemui langsung saat dirinya mengunjungi kawasan banjir di Kampung Arus, Cawang, Jakarta Timur pada Senin (5/2/2018). Padahal dalam dua kali kun jungan sebelumnya ke Kampung Arus, warga tidak ingin digusur.

Untuk itu, melihat partisipasi warga yang memang menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan, dirinya bersama Gubernur Anies Baswedan akan mengambil kesempatan ini dengan menyiapkan program penataan. Menurut Sandi, penataan tersebut harusnya bisa berjalan tahun ini karena adanya partisipasi warga dalam penataan.

”Kita harus ajak dialog dan kita harus perlihatkan tempat pindahnya ke mana, jadi mereka punya bayangan. Nah ini yang nanti akan kita siapkan. Unit dari tempatnya yang kita siapkan bagi mereka, di mana mereka akan tinggal setelah dipindahkan lebih sejahtera dan nyaman.

Karena mereka sudah puluhan tahun di sana dan mereka sudah nyaman,” tegasnya. Selain itu Sandi bersama Gubernur Anies juga akan meningkatkan kerja sama dengan daerah-daerah tetangga yang ada dalam forum Badan Kerja Sama Provinsi (BKSP).

Termasuk dengan pemerintah pusat yang kini sudah membangun waduk dan embung di wilayah hulu. ”Kita akan tingkatkan juga sumur-sumur resapan sehingga bisa ada sistem manajemen air yang lebih baik di hulunya dan di hilirnya ini kita akan terus perbaiki.

Pemerintah daerah tetangga bisa membantu mengurangi sampah juga dengan membina masyarakat di sekitar aliran sungai,” katanya. Pengamat perkotaan Universitas Trisakti Nirwono Joga menyebutkan lima penanganan banjir yang harus dilakukan.

Pertama, naturalisasi 13 sungai, bukan normalisasi atau pembetonan sungai.

Kedua, revitalisasi 44 waduk dan 14 situ yang masih telantar.

Ketiga, rehabilitasi seluruh saluran air dari skala mikro, meso, makro agar terhubung baik dan lancar tidak ada yang tersumbat.

Keempat, optimalisasi ruang terbuka hijau (RTH) yang sudah ada sebagai daerah resapan air dan terus menambah RTH baru, bukan ruang publik terbuka ramah anak (RPTRA).

Terakhir, optimalisasi halaman rumah, kantor, dan lain-lain sebagai daerah resapan air. ”Intinya tidak ada air hujan yang terbuang, tetapi semua diresapkan dalam tanah atau ditampung di dalam kolam penampungan sebagai cadangan air,” sebutnya. (Bima Setiyadi)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0885 seconds (0.1#10.140)