Bangunan Liar Masih Marak, Pemkab Janji Kembalikan Puncak Asri
A
A
A
BOGOR - Walaupun berulangkali dilakukan penertiban terhadap ratusan bangunan liar di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, tetap saja kembali berdiri. Bahkan jika dihitung jumlahnya bisa dua kali lipat.
Pasalnya, persoalan tersebut sulit diatasi karena lemahnya pengawasan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Berdasarkan data Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman (DTBP) Kabupaten Bogor, 2013 lalu diperkirakan lebih dari 4.000 unit bangunan (tempat tinggal, vila, hotel dan bangunan komersial) berdiri di kawasan Puncak (Megamendung-Cisarua). Jumlah tersebut diprediksi meningkat setiap tahunnya, baik yang berizin maupun tidak berizin.
Guru Besar Manajemen Lanskap Institut Pertanian Bogor (IPB) Hadi Susilo Arifin menjelaskan, maraknya bangunan di kawasan Puncak, selain berakibat pada rusaknya ekosistem hingga bencana banjir juga membuat suhu udara di kawasan berubah.
"Ada beberapa faktor di antaranya yang paling mudah diamati berdasarkan pandangan kasat mata, bukan rahasia lagi bahwa alih fungsi lahan dari area resapan air dan konservasi maupun lindung, kini menjadi kawasan terbangun," katanya di Bogor, Selasa (16/1/2018).
Menurut dia, banyaknya bangunan saat ini baik yang legal maupun ilegal berdiri tak sesuai dengan aturan koefisien dasar bangunan (KDB). Bahkan banyak juga yang ilegal, berdiri di atas lahan konservasi maupun lindung yang memang seharusnya kawasan tersebut tidak boleh ada bangunan.
Tak hanya itu, ia menjelaskan banyak juga pengembang yang mengantungi izin tapi tidak sesuai dengan peruntukannya. Mulai dari izin pembangunan vila kenyataannya malah hotel.
"Dari awal mengurus perizinannya saja sudah melanggar apalagi saat membangunannya dipastikan banyak yang tidak sesuai dengan site plan, sehingga mempengaruhi daya dukung lingkungan sekitar bangunan. Yang harusnya dibangun satu lantainya, kenyataannya malah melebihi. Kemudian, KDB nya tidak sesuai aturan," tegasnya.
Menurutnya, hal tersebut disebabkan lemahnya pengawasan dan tidak adanya political will dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, khususnya Pemkab Bogor dalam menegakan regulasi yang sudah dibuat jauh dari sangat ideal.
"Dari segi aturan saya lihat, sudah cukup baik. Mulai dari Undang-Undang Tata Ruang, serta turunannya seperti Peraturan Pemerintah (PP), hingga Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW). Tapi implementasinya masih jauh dari harapan, sehingga penataan kawasan Puncak semakin tak terkendali," jelasnya.
Bahkan, pihaknya mempertanyakan kemampuan penegak hukum dalam memahami regulasi yang telah dibuat. "Jangankan penegak hukum, mereka yang membuatnya belum tentu mengerti, sehingga regulasi yang ada tidak dilaksanakan," katanya.
Sementara itu, Bupati Bogor Nurhayanti berharap dengan pimpinan baru Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur dapat membantu upaya Pemkab Bogor dalam mengembalikan kawasan Puncak asri seperti dahulu.
"Tahun lalu kita sudah melakukan penertiban bangunan liar yang ada di tepi jalan dengan tujuan melakukan pelebaran jalan. Ini merupakan program kerja sama Pemkab, Pemprov dan pemerintah pusat," katanya di Bogor, kemarin.
Menurutnya, hal ini juga bagian dari awal mewujudkan mimpi Pemkab Bogor untuk mengembalikan kawasan Puncak sebagai kawasan wisata yang indah, nyaman, sejuk, asri dan tak kumuh.
"Maka dari itu kami harap masyarakat mendukung penuh langkah pemerintah daerah maupun pusat yang akan menata kembali Puncak seperti dulu yang indah, tertib, nyaman, asri dan tidak kumuh. Nantinya sepanjang jalur Puncak akan banyak ditanami pohon Pucuk Merah," terangnya.
Lebih lanjut ia menerangkan nantinya juga akan dilanjutkan dengan program penataan sistem transportasi publik yang memang terintegrasi dengan proyek pemerintah pusat yakni Light Rail Transit (LRT).
"Jadi pelebaran jalan yang diawali dengan pembongkaran bangunan liar di bahu jalan raya Puncak ini sudah terencana. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan melebarkan Jalan Puncak menjadi 11 meter dari saat ini (rata-rata) 7 meter, dengan biaya Rp24 miliar," katanya
Ketua Forum Komunikasi Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar) Kabupaten Bogor, M Teguh Mulyana, mendesak Pemkab mematangkan teknis pembongkaran PKL dan bangunan liar seperti tahun lalu.
"Pembongkaran pertama bangunan liar dan PKL tahun lalu saja, mengakibatkan penurunan tingkat kunjungan wisatawan sebanyak 45 hingga 50 persen. Makanya ke depan jangan sampai begitu lagi," katanya.
Menurutnya, penurunan minat berkunjung terjadi pada sebagian besar wisatawan asal Jakarta dan daerah sekitarnya. Karenanya, dia mendesak pemerintah setempat mempersiapkan pembongkaran PKL dan bangunan liar dengan baik. "Selain lahan relokasi yang harus disiapkan, perlu juga dibangun komunikasi yang baik kepada para PKL atau pemilik bangli," jelasnya.
Sebelumnya, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) kabupaten Bogor, saat ini tengah mempersiapkan penertiban 350 bangunan permanen non-PKL di kawasan puncak. 350 bangunan tersebut ditertibkan karena diklaim tidak memiliki izin bangunan.
Kepala Bidang Pembinaan dan Pemeriksaan Satpol-PP Kabupaten Bogor, Agus Ridho mengatakan, jumlah 350 tersebut merupakan bangunan permanen non-PKL dari KFC kecamatan Cisarua hingga perbatasan Cianjur. "Pokoknya total 350 bangunan permanen yang tak berizin dari KFC ke atas (perbatasan Cianjur)," katanya.
Pasalnya, persoalan tersebut sulit diatasi karena lemahnya pengawasan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Berdasarkan data Dinas Tata Bangunan dan Pemukiman (DTBP) Kabupaten Bogor, 2013 lalu diperkirakan lebih dari 4.000 unit bangunan (tempat tinggal, vila, hotel dan bangunan komersial) berdiri di kawasan Puncak (Megamendung-Cisarua). Jumlah tersebut diprediksi meningkat setiap tahunnya, baik yang berizin maupun tidak berizin.
Guru Besar Manajemen Lanskap Institut Pertanian Bogor (IPB) Hadi Susilo Arifin menjelaskan, maraknya bangunan di kawasan Puncak, selain berakibat pada rusaknya ekosistem hingga bencana banjir juga membuat suhu udara di kawasan berubah.
"Ada beberapa faktor di antaranya yang paling mudah diamati berdasarkan pandangan kasat mata, bukan rahasia lagi bahwa alih fungsi lahan dari area resapan air dan konservasi maupun lindung, kini menjadi kawasan terbangun," katanya di Bogor, Selasa (16/1/2018).
Menurut dia, banyaknya bangunan saat ini baik yang legal maupun ilegal berdiri tak sesuai dengan aturan koefisien dasar bangunan (KDB). Bahkan banyak juga yang ilegal, berdiri di atas lahan konservasi maupun lindung yang memang seharusnya kawasan tersebut tidak boleh ada bangunan.
Tak hanya itu, ia menjelaskan banyak juga pengembang yang mengantungi izin tapi tidak sesuai dengan peruntukannya. Mulai dari izin pembangunan vila kenyataannya malah hotel.
"Dari awal mengurus perizinannya saja sudah melanggar apalagi saat membangunannya dipastikan banyak yang tidak sesuai dengan site plan, sehingga mempengaruhi daya dukung lingkungan sekitar bangunan. Yang harusnya dibangun satu lantainya, kenyataannya malah melebihi. Kemudian, KDB nya tidak sesuai aturan," tegasnya.
Menurutnya, hal tersebut disebabkan lemahnya pengawasan dan tidak adanya political will dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, khususnya Pemkab Bogor dalam menegakan regulasi yang sudah dibuat jauh dari sangat ideal.
"Dari segi aturan saya lihat, sudah cukup baik. Mulai dari Undang-Undang Tata Ruang, serta turunannya seperti Peraturan Pemerintah (PP), hingga Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW). Tapi implementasinya masih jauh dari harapan, sehingga penataan kawasan Puncak semakin tak terkendali," jelasnya.
Bahkan, pihaknya mempertanyakan kemampuan penegak hukum dalam memahami regulasi yang telah dibuat. "Jangankan penegak hukum, mereka yang membuatnya belum tentu mengerti, sehingga regulasi yang ada tidak dilaksanakan," katanya.
Sementara itu, Bupati Bogor Nurhayanti berharap dengan pimpinan baru Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur dapat membantu upaya Pemkab Bogor dalam mengembalikan kawasan Puncak asri seperti dahulu.
"Tahun lalu kita sudah melakukan penertiban bangunan liar yang ada di tepi jalan dengan tujuan melakukan pelebaran jalan. Ini merupakan program kerja sama Pemkab, Pemprov dan pemerintah pusat," katanya di Bogor, kemarin.
Menurutnya, hal ini juga bagian dari awal mewujudkan mimpi Pemkab Bogor untuk mengembalikan kawasan Puncak sebagai kawasan wisata yang indah, nyaman, sejuk, asri dan tak kumuh.
"Maka dari itu kami harap masyarakat mendukung penuh langkah pemerintah daerah maupun pusat yang akan menata kembali Puncak seperti dulu yang indah, tertib, nyaman, asri dan tidak kumuh. Nantinya sepanjang jalur Puncak akan banyak ditanami pohon Pucuk Merah," terangnya.
Lebih lanjut ia menerangkan nantinya juga akan dilanjutkan dengan program penataan sistem transportasi publik yang memang terintegrasi dengan proyek pemerintah pusat yakni Light Rail Transit (LRT).
"Jadi pelebaran jalan yang diawali dengan pembongkaran bangunan liar di bahu jalan raya Puncak ini sudah terencana. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan melebarkan Jalan Puncak menjadi 11 meter dari saat ini (rata-rata) 7 meter, dengan biaya Rp24 miliar," katanya
Ketua Forum Komunikasi Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar) Kabupaten Bogor, M Teguh Mulyana, mendesak Pemkab mematangkan teknis pembongkaran PKL dan bangunan liar seperti tahun lalu.
"Pembongkaran pertama bangunan liar dan PKL tahun lalu saja, mengakibatkan penurunan tingkat kunjungan wisatawan sebanyak 45 hingga 50 persen. Makanya ke depan jangan sampai begitu lagi," katanya.
Menurutnya, penurunan minat berkunjung terjadi pada sebagian besar wisatawan asal Jakarta dan daerah sekitarnya. Karenanya, dia mendesak pemerintah setempat mempersiapkan pembongkaran PKL dan bangunan liar dengan baik. "Selain lahan relokasi yang harus disiapkan, perlu juga dibangun komunikasi yang baik kepada para PKL atau pemilik bangli," jelasnya.
Sebelumnya, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) kabupaten Bogor, saat ini tengah mempersiapkan penertiban 350 bangunan permanen non-PKL di kawasan puncak. 350 bangunan tersebut ditertibkan karena diklaim tidak memiliki izin bangunan.
Kepala Bidang Pembinaan dan Pemeriksaan Satpol-PP Kabupaten Bogor, Agus Ridho mengatakan, jumlah 350 tersebut merupakan bangunan permanen non-PKL dari KFC kecamatan Cisarua hingga perbatasan Cianjur. "Pokoknya total 350 bangunan permanen yang tak berizin dari KFC ke atas (perbatasan Cianjur)," katanya.
(mhd)