Ini Sebabnya Pembatasan Kendaraan Dinilai Tidak Efektif
A
A
A
JAKARTA - Rencana Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan-Sandiaga Uno mencabut larangan sepeda motor terus menimbulkan pro kontra.
Pasalnya, sepanjang public transport belum ada peningkatan, pembatasan kendaraan tidak efektif urai kemacetan.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Sigit Widiatmoko mengatakan, pencabutan larangan roda dua di kawasan Sudirman-Thamrin masih terus dikaji.
Salah satunya dengan mengadakan Forum Group Discusion (FGD) pada Rabu (15/11/2017) di kantornya, Jalan Jati Baru, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Namun kata Sigit, sesuai studi tekhnis dan ketentuan yang ada, apabila nantinya transportasi publik sudah memenuhi mobilitas masyarakat, konsekuensinya roda dua berada di luar jalur protokol atau jalur Elektronik Road Pricing (ERP).
"Kita masih konsen kepada aturan jenis kendaraan apa saja yang diizinkan memalui ruas jalan berbasis elektronik. Kita akan lakukan FGD terkait pencabutan larangan sepeda motor itu," kata Sigit di kantor KPBB, Sarinah, Jakarta Pusat, Selasa (14/11/2017).
Sigit menjelaskan, dalam Undang-Undang (UU) Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No 22 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen Rekayasa Lalu Lintas serta Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2014 tentang transportasi, sepeda motor tidak masuk dalam jenis kendaraan yang diperbolehkan dalam ERP.
Berbicara aksetabilitas kesetaraan yang menjadi alasan pencabutan larangan roda dua, lanjut Sigit sebenarnya sudah dilakukan sebelumnya melalui inventarisir pintu masuk samping dan belakang gedung sepanjang jalur Sudirman-Thamrin.
"Kami terus lakukan peningkatan layanan transportasi. Mulai dari rerouting trayek untuk Ok Otrip hingga penyatuan tiket berbayar. Targetnya awal tahun sudah mulai," ungkapnya.
Ketua Koalisi Pejalan Kaki, Ahmad Safrudin menegaskan, bahwa sepeda motor memang tidak bisa dipungut tarif jalan berbayar karena tidak diatur dalam Undang-undang, PP, perda ataupun Pergub.
Namun, kata dia itu merupakan kesalahan mengingat pembatasan kendaraan itu harus equal, tidak memihak kepada kendaraan tertentu atau kelompok miskin dan kaya. Solusinya, tarif yang dikenakan harus dihitung berbeda.
Untuk itu, lanjut pria yang disapa Puput menyarankan agar PP tentang manajemen rekayasa lalu lintas dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK), agar direvisi melalui judicial review. Menurutnya, judicial review bukanlah sesuatu yang haram terhadap undang-undang atau pp yang tidak mencerminkan keadilan dan kesetaraan.
"Kalau dipaksakan ya terjadi diskriminasi. Motor atau mobil sama-sama membayar pajak. Tapi kenapa hanya motor yang dibatasi. Begitu juga saat ERP berlaku nanti, kenapa motor tidak dibatasi," tegasnya.
Pasalnya, sepanjang public transport belum ada peningkatan, pembatasan kendaraan tidak efektif urai kemacetan.
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Sigit Widiatmoko mengatakan, pencabutan larangan roda dua di kawasan Sudirman-Thamrin masih terus dikaji.
Salah satunya dengan mengadakan Forum Group Discusion (FGD) pada Rabu (15/11/2017) di kantornya, Jalan Jati Baru, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Namun kata Sigit, sesuai studi tekhnis dan ketentuan yang ada, apabila nantinya transportasi publik sudah memenuhi mobilitas masyarakat, konsekuensinya roda dua berada di luar jalur protokol atau jalur Elektronik Road Pricing (ERP).
"Kita masih konsen kepada aturan jenis kendaraan apa saja yang diizinkan memalui ruas jalan berbasis elektronik. Kita akan lakukan FGD terkait pencabutan larangan sepeda motor itu," kata Sigit di kantor KPBB, Sarinah, Jakarta Pusat, Selasa (14/11/2017).
Sigit menjelaskan, dalam Undang-Undang (UU) Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No 22 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen Rekayasa Lalu Lintas serta Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2014 tentang transportasi, sepeda motor tidak masuk dalam jenis kendaraan yang diperbolehkan dalam ERP.
Berbicara aksetabilitas kesetaraan yang menjadi alasan pencabutan larangan roda dua, lanjut Sigit sebenarnya sudah dilakukan sebelumnya melalui inventarisir pintu masuk samping dan belakang gedung sepanjang jalur Sudirman-Thamrin.
"Kami terus lakukan peningkatan layanan transportasi. Mulai dari rerouting trayek untuk Ok Otrip hingga penyatuan tiket berbayar. Targetnya awal tahun sudah mulai," ungkapnya.
Ketua Koalisi Pejalan Kaki, Ahmad Safrudin menegaskan, bahwa sepeda motor memang tidak bisa dipungut tarif jalan berbayar karena tidak diatur dalam Undang-undang, PP, perda ataupun Pergub.
Namun, kata dia itu merupakan kesalahan mengingat pembatasan kendaraan itu harus equal, tidak memihak kepada kendaraan tertentu atau kelompok miskin dan kaya. Solusinya, tarif yang dikenakan harus dihitung berbeda.
Untuk itu, lanjut pria yang disapa Puput menyarankan agar PP tentang manajemen rekayasa lalu lintas dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK), agar direvisi melalui judicial review. Menurutnya, judicial review bukanlah sesuatu yang haram terhadap undang-undang atau pp yang tidak mencerminkan keadilan dan kesetaraan.
"Kalau dipaksakan ya terjadi diskriminasi. Motor atau mobil sama-sama membayar pajak. Tapi kenapa hanya motor yang dibatasi. Begitu juga saat ERP berlaku nanti, kenapa motor tidak dibatasi," tegasnya.
(maf)