Ibu Bunuh Anak, Jadi Bukti Buah Hati Sasaran Pelampiasan Emosi
A
A
A
DEPOK - Penganiayaan yang dilakukan Novi Wanti (25) hingga menewaskan anaknya Greinal Wijaya (5) membuat gempar warga. Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Kasus ini pun menjadi bukti anak menjadi sasaran pelampiasan emosi orang tua.
Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menuturkan, saat ini banyak orang yang menjadi rentan terhadap tekanan hingga stres. Sayangnya banyak dari mereka yang pada akhirnya melakukan penyelesaiannya lebih ke emotional focused coping (penyesuaian diri terhadap masalah yang terfokus pada emosi).
"Sehingga langkah yang dilakukan lebih banyak meluapkan emosi daripada penyelesaian masalah sesungguhnya (problem focused coping)," kata Aully saat dihubungi SINDOnews pada Minggu (12/11/2017).
Aully menuturkan, biasanya tekanan kecil yang terus menerus akan menyebabkan tingkat stres semakin lama semakin meningkat. Tekanan hidup seperti faktor ekonomi bisa membuat seseorang menjadi gelap mata.
Karena secara psikologis tekanan hidup sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Bahkan dalam rumah tangga, anak rentan menjadi korban. "Sebenarnya bukan karena anak yang menjadi masalah tetapi anak menjadi sasaran pengungkapan emosi," tuturnya.
Aully menjelaskan, dorongan emosi tinggi yang dialami seseorang kadang tidak disertai dengan kecapakan mengelola emosi. Dia tidak pandai mencari solusi yang sesuai, bahkan kemampuan beribadah. "Hasilnya ya bertindak tanpa banyak berpikir konsekuensinya," paparnya.
Menurutnya, dalam keluarga harus dibangun pondasi kasih sayang yang kuat. Penanaman karakter yang paling utama adalah dari keluarga. "Jika pada kasus adik menusuk kakak ini, mungkin juga ini bukan ‘sakit hati’ pertama yang ia rasakan," katanya.
Akumulasi kekesalan bisa terjadi karena ada kecemburuan antar kakak adik (dikenal dengan sibling rivalry). Faktor lainnya karena kurangnya komunikasi, kurang kehangatan dan kebersamaan dalam keluarga.
Karena banyak keluarga yang tidak dibangun dengan landasan yang kuat. "Sehingga ketika ada tekanan sedikit saja bisa menjadi pemicu konflik," ucapnya.( Baca: Sering Ngompol, Anak 5 Tahun Dianiaya Ibu Muda hingga Tewas )
Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menuturkan, saat ini banyak orang yang menjadi rentan terhadap tekanan hingga stres. Sayangnya banyak dari mereka yang pada akhirnya melakukan penyelesaiannya lebih ke emotional focused coping (penyesuaian diri terhadap masalah yang terfokus pada emosi).
"Sehingga langkah yang dilakukan lebih banyak meluapkan emosi daripada penyelesaian masalah sesungguhnya (problem focused coping)," kata Aully saat dihubungi SINDOnews pada Minggu (12/11/2017).
Aully menuturkan, biasanya tekanan kecil yang terus menerus akan menyebabkan tingkat stres semakin lama semakin meningkat. Tekanan hidup seperti faktor ekonomi bisa membuat seseorang menjadi gelap mata.
Karena secara psikologis tekanan hidup sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Bahkan dalam rumah tangga, anak rentan menjadi korban. "Sebenarnya bukan karena anak yang menjadi masalah tetapi anak menjadi sasaran pengungkapan emosi," tuturnya.
Aully menjelaskan, dorongan emosi tinggi yang dialami seseorang kadang tidak disertai dengan kecapakan mengelola emosi. Dia tidak pandai mencari solusi yang sesuai, bahkan kemampuan beribadah. "Hasilnya ya bertindak tanpa banyak berpikir konsekuensinya," paparnya.
Menurutnya, dalam keluarga harus dibangun pondasi kasih sayang yang kuat. Penanaman karakter yang paling utama adalah dari keluarga. "Jika pada kasus adik menusuk kakak ini, mungkin juga ini bukan ‘sakit hati’ pertama yang ia rasakan," katanya.
Akumulasi kekesalan bisa terjadi karena ada kecemburuan antar kakak adik (dikenal dengan sibling rivalry). Faktor lainnya karena kurangnya komunikasi, kurang kehangatan dan kebersamaan dalam keluarga.
Karena banyak keluarga yang tidak dibangun dengan landasan yang kuat. "Sehingga ketika ada tekanan sedikit saja bisa menjadi pemicu konflik," ucapnya.( Baca: Sering Ngompol, Anak 5 Tahun Dianiaya Ibu Muda hingga Tewas )
(whb)