Peraturan Khusus untuk Jakarta Yang Spesial
A
A
A
MASA peralihan musim pada Oktober tahun ini terasa berbeda. Awal musim penghujan ini menandai bergantinya pucuk pimpinan Ibu Kota. Senin (16/10/2017), duet Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno resmi dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta menggantikan Djarot Saiful Hidayat. Inilah muara hiruk pikuk pertarungan panjang dan melelahkan dua putaran Pilkada DKI Jakarta lalu.
Jakarta memang spesial. Sebagai ibu kota negara, wilayah yang dulu bernama Batavia ini punya gengsi. DKI Jakarta diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 (UU 29/2007), termasuk soal pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
Pasal 11 mengatur bahwa hanya pasangan dengan suara lebih dari 50% yang bisa langsung ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih. Kalau tidak ada yang mencapai 50%, pasangan dengan suara terbanyak pertama dan kedua harus bertarung lagi di putaran kedua. Aturan inilah yang dituduh sebagai biang lama dan mahalnya Pilkada Ibu Kota.
Namun demikian, boleh jadi Anies-Sandi adalah gubernur dan wakil gubernur terakhir yang dihasilkan lewat aturan tersebut. Sebab, Kementerian Dalam Negeri sedang menggodok revisi UU DKI Jakarta, termasuk soal sistem pemilihan gubernur. Ada wacana pemimpin tertinggi di DKI tidak lagi dipilih secara langsung.
Menurut Sumarsono, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, salah satu alasan revisi UU tersebut adalah potret penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta 2017 yang lama serta menguras energi dan biaya. “Dua putaran itu dipandang tidak efektif,” ujarnya dalam wawancara pers seusai membuka pertemuan 57 daerah otonom bentukan 2007–2009 di Yogyakarta, pertengahan September lalu.
Sudah sampai sejauh mana penggodokan revisi UU DKI Jakarta? Dapatkan informasi selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi Nomor 33 Tahun 6, 2017 yang terbit Senin (16/10/2017).
Jakarta memang spesial. Sebagai ibu kota negara, wilayah yang dulu bernama Batavia ini punya gengsi. DKI Jakarta diatur khusus dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 (UU 29/2007), termasuk soal pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
Pasal 11 mengatur bahwa hanya pasangan dengan suara lebih dari 50% yang bisa langsung ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih. Kalau tidak ada yang mencapai 50%, pasangan dengan suara terbanyak pertama dan kedua harus bertarung lagi di putaran kedua. Aturan inilah yang dituduh sebagai biang lama dan mahalnya Pilkada Ibu Kota.
Namun demikian, boleh jadi Anies-Sandi adalah gubernur dan wakil gubernur terakhir yang dihasilkan lewat aturan tersebut. Sebab, Kementerian Dalam Negeri sedang menggodok revisi UU DKI Jakarta, termasuk soal sistem pemilihan gubernur. Ada wacana pemimpin tertinggi di DKI tidak lagi dipilih secara langsung.
Menurut Sumarsono, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, salah satu alasan revisi UU tersebut adalah potret penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta 2017 yang lama serta menguras energi dan biaya. “Dua putaran itu dipandang tidak efektif,” ujarnya dalam wawancara pers seusai membuka pertemuan 57 daerah otonom bentukan 2007–2009 di Yogyakarta, pertengahan September lalu.
Sudah sampai sejauh mana penggodokan revisi UU DKI Jakarta? Dapatkan informasi selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi Nomor 33 Tahun 6, 2017 yang terbit Senin (16/10/2017).
(amm)