Pemprov DKI Mengaku Belum Siap Ambil Alih Pengelolaan Air Bersih
A
A
A
JAKARTA - Putusan Mahkamah Agung (MA) perihal pemberhentian swastanisasi air di Jakarta akan dipelajari terlebih dahulu. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya tengah berusaha mengambil alih pengelolaan air dari pihak swasta.
Direktur Utama PDAM Jaya, Erlan Hidayat menyatakan akan mempelajari terlebih dahulu putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai pemberhentian swastanisasi air di Jakarta. Dirinya tidak ingin mengeluarkan pernyataan hanya berdasarkan pemberitaan media massa. Karena dikhawatirkan pihaknya akan salah menginterpretasikan keputusan MA tersebut.
Selain itu, Erlan juga akan mengkonsultasikan putusan MA tersebut kepada pemilik perusahaan pengolahan air bersih di Jakarta, yaitu Pemprov DKI. Untuk mengetahui tindakan selanjutnya yang akan diambil PDAM Jaya bersama kedua operatornya.
"Saya tidak bisa berkoentar lebih jauh terkait putusan MA. Kami akan mempelajari dahulu keputusan tersebut secara lengkap," kata Erlan melalui pesan singkatnya, Selasa 10 Oktober 2017.
Erlan menjelaskan, saat ini PDAM bersama kedua operatornya AETRA dan PALYJA telah sepakat untuk membahas restrukturisasi perjanjian kerjasama dengan menandatangani berita acara kesepakatan (MoU) nya pada 25 September lalu.
Restrukturisasi tersebut, kata Erlan merupakan upaya persiapan menjelang berakhirnya kerjasama pada 2023, sebelum sangat terlambat bagi PDAM untuk mempertahankan tingkat pelayanan yang sudah berjalan saat ini.
"Operator sepakat bahwa urusan pelayanan pelanggan dan urusan air baku harus kembali terlebih dahulu ke PDAM sesuai Peraturan Pemerintah nomor 122 tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum harus dikelola negara. mekanisme detail restrukturisasi akan diputuskan enam bulan kedepan," pungkasnya.
Dalam wawancara sebelumnya, Erlan mengatakan bahwa peraturan presiden yang baru keluar akhir 2015 mengenai pengelolaan air harus dilakukan oleh Negara tidak bisa dilakukan begitu saja. Sebab, air adalah sumber kehidupan yang didalamnya ada hak dan kewajiban. Artinya, meskipun pada 2023 nanti PDAM menjadi leading sektor pengelolaan air, kerjasama dengan swasta tidak bisa dilakukan.
"Kami tidak siap bila disuruh mengelola sendiri dalam waktu dekat ini. Kalau saya kelola sendiri, pasti mati. Jadi kami butuh waktu. Keinginan ada," ungkapnya.
Erlan menjelaskan, selama hampir 18 tahun, PDAM hanya duduk dan tidak mengoperasikan apa-apa. Pengelolaan jaringan hingga sampai ke pelanggan diserahkan kepada kedua operator PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta.
Sehingga, lanjut Erlan, apabila nantinya setelah kontrak dengan kedua operator diputus pada 2023, PDAM tetap akan bekerjasama dengan mereka. Misalnya, bila PDAM sudah masuk mengambil alih dalam pengelolaan dan pelanggan, Palyja dan Aetra nanti akan mengurusi pipanya. Atau bisa saja nanti dalam pembangunan Waterplant yang dikerjakan oleh PDAM dan PT Jakarta Propertindo (Jakpro), Palyja dan Aetra bisa diminta bantuan menambah pipa jaringanya.
"Kami masih diskusikan hal ini, didalamnya ada perdebatan itu sudah biasa. Kami butuh waktu untuk mempersiakannya semua. Minimal sampai habis kontrak. Tidak cukup dengan biaya yang murah dalam mengelola air bersih," jelasnya.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat mengaku belum mengetahui keputusan MA tersebut. Karena sampai saat ini belum ada laporan disampaikan kepadanya dan belum menerima salinan putusan MA.
"Belum, saya belum mengetahuinya. Baru dengar," ujarnya singkat.
Seperti diketahui, dalam website resmi MA tertuang, keputusan MA mengatakan perjanjian kerja sama swastanisasi air Jakarta telah melanggar Perda Nomor 13 Tahun 1992. Pascaperjanjian kerja sama swastanisasi tersebut pelayanan terhadap pengelolaan air bersih dan air minum warga DKI Jakarta tidak meningkat, dari segi kualitas, kuantitas dan kontinuitas.
Akibat swastanisasi itu, PDAM Jaya kehilangan kewenangan pengelolaan air minum karena dialihkan kepada swasta. Terkait legal standing gugatan, MA menilai hal itu sesuai dengan praktik citizen lawsuit dengan dibuktikan surat kuasa khusus yang ditujukan untuk menggugat negara.
"Menyatakan para tergugat lalu dalam memberikan dan perlindungan hak asasi manusia atas air terhadap warga negaranya, khususnya masyarakat Jakarta," ujar majelis dengan suara bulat.
MA menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta. Hal itu terwujud dalam Pembuatan Perjanjian Kerja Sama (PKS) tanggal 6 Juni 1997 yang diperbaharui dengan PKS tanggal 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat ini.
"Menyatakan para tergugat telah merugikan Pemda DKI Jakarta dan masyarakat DKI Jakarta," ucap majelis dengan terdiri Nurul Elmiyah, Sunarto dan Panji Widagdo.
Atas hal itu, majelis memerintahkan, pertama untuk menghentikan kebijakan swastinasasi air minum di DKI. Kedua, mengembalikan pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai peraturan perundang-undangan lainnya.
Ketiga, melaksanakan pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia atas air sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 dan 12 Konvenan Hak Asasi Ekonomi, Sosial dan Budaya sebagaimana telah diratifikasi UU Nomor 11 Tahun 2015 junto Komentar Umum Nomor 15 Tahun 2012 hak atas air komite PBB untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Direktur Utama PDAM Jaya, Erlan Hidayat menyatakan akan mempelajari terlebih dahulu putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai pemberhentian swastanisasi air di Jakarta. Dirinya tidak ingin mengeluarkan pernyataan hanya berdasarkan pemberitaan media massa. Karena dikhawatirkan pihaknya akan salah menginterpretasikan keputusan MA tersebut.
Selain itu, Erlan juga akan mengkonsultasikan putusan MA tersebut kepada pemilik perusahaan pengolahan air bersih di Jakarta, yaitu Pemprov DKI. Untuk mengetahui tindakan selanjutnya yang akan diambil PDAM Jaya bersama kedua operatornya.
"Saya tidak bisa berkoentar lebih jauh terkait putusan MA. Kami akan mempelajari dahulu keputusan tersebut secara lengkap," kata Erlan melalui pesan singkatnya, Selasa 10 Oktober 2017.
Erlan menjelaskan, saat ini PDAM bersama kedua operatornya AETRA dan PALYJA telah sepakat untuk membahas restrukturisasi perjanjian kerjasama dengan menandatangani berita acara kesepakatan (MoU) nya pada 25 September lalu.
Restrukturisasi tersebut, kata Erlan merupakan upaya persiapan menjelang berakhirnya kerjasama pada 2023, sebelum sangat terlambat bagi PDAM untuk mempertahankan tingkat pelayanan yang sudah berjalan saat ini.
"Operator sepakat bahwa urusan pelayanan pelanggan dan urusan air baku harus kembali terlebih dahulu ke PDAM sesuai Peraturan Pemerintah nomor 122 tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum harus dikelola negara. mekanisme detail restrukturisasi akan diputuskan enam bulan kedepan," pungkasnya.
Dalam wawancara sebelumnya, Erlan mengatakan bahwa peraturan presiden yang baru keluar akhir 2015 mengenai pengelolaan air harus dilakukan oleh Negara tidak bisa dilakukan begitu saja. Sebab, air adalah sumber kehidupan yang didalamnya ada hak dan kewajiban. Artinya, meskipun pada 2023 nanti PDAM menjadi leading sektor pengelolaan air, kerjasama dengan swasta tidak bisa dilakukan.
"Kami tidak siap bila disuruh mengelola sendiri dalam waktu dekat ini. Kalau saya kelola sendiri, pasti mati. Jadi kami butuh waktu. Keinginan ada," ungkapnya.
Erlan menjelaskan, selama hampir 18 tahun, PDAM hanya duduk dan tidak mengoperasikan apa-apa. Pengelolaan jaringan hingga sampai ke pelanggan diserahkan kepada kedua operator PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta.
Sehingga, lanjut Erlan, apabila nantinya setelah kontrak dengan kedua operator diputus pada 2023, PDAM tetap akan bekerjasama dengan mereka. Misalnya, bila PDAM sudah masuk mengambil alih dalam pengelolaan dan pelanggan, Palyja dan Aetra nanti akan mengurusi pipanya. Atau bisa saja nanti dalam pembangunan Waterplant yang dikerjakan oleh PDAM dan PT Jakarta Propertindo (Jakpro), Palyja dan Aetra bisa diminta bantuan menambah pipa jaringanya.
"Kami masih diskusikan hal ini, didalamnya ada perdebatan itu sudah biasa. Kami butuh waktu untuk mempersiakannya semua. Minimal sampai habis kontrak. Tidak cukup dengan biaya yang murah dalam mengelola air bersih," jelasnya.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat mengaku belum mengetahui keputusan MA tersebut. Karena sampai saat ini belum ada laporan disampaikan kepadanya dan belum menerima salinan putusan MA.
"Belum, saya belum mengetahuinya. Baru dengar," ujarnya singkat.
Seperti diketahui, dalam website resmi MA tertuang, keputusan MA mengatakan perjanjian kerja sama swastanisasi air Jakarta telah melanggar Perda Nomor 13 Tahun 1992. Pascaperjanjian kerja sama swastanisasi tersebut pelayanan terhadap pengelolaan air bersih dan air minum warga DKI Jakarta tidak meningkat, dari segi kualitas, kuantitas dan kontinuitas.
Akibat swastanisasi itu, PDAM Jaya kehilangan kewenangan pengelolaan air minum karena dialihkan kepada swasta. Terkait legal standing gugatan, MA menilai hal itu sesuai dengan praktik citizen lawsuit dengan dibuktikan surat kuasa khusus yang ditujukan untuk menggugat negara.
"Menyatakan para tergugat lalu dalam memberikan dan perlindungan hak asasi manusia atas air terhadap warga negaranya, khususnya masyarakat Jakarta," ujar majelis dengan suara bulat.
MA menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta. Hal itu terwujud dalam Pembuatan Perjanjian Kerja Sama (PKS) tanggal 6 Juni 1997 yang diperbaharui dengan PKS tanggal 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat ini.
"Menyatakan para tergugat telah merugikan Pemda DKI Jakarta dan masyarakat DKI Jakarta," ucap majelis dengan terdiri Nurul Elmiyah, Sunarto dan Panji Widagdo.
Atas hal itu, majelis memerintahkan, pertama untuk menghentikan kebijakan swastinasasi air minum di DKI. Kedua, mengembalikan pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai peraturan perundang-undangan lainnya.
Ketiga, melaksanakan pengelolaan air minum di Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia atas air sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 dan 12 Konvenan Hak Asasi Ekonomi, Sosial dan Budaya sebagaimana telah diratifikasi UU Nomor 11 Tahun 2015 junto Komentar Umum Nomor 15 Tahun 2012 hak atas air komite PBB untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
(ysw)