Penataan Utilitas Bawah Tanah di Jakarta Tidak Ideal
A
A
A
JAKARTA - Pemprov DKI Jakarta bersama para pemilik utilitas melakukan penandatangan surat pernyataan pertanggung jawaban mutlak terkait penempatan jaringan utilitas ke dalam manhole di Balai Agung, Balai Kota DKI Jakarta, kemarin. Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi Indonesia (Apjatel) menolak penandatanganan lantaran belum ada aturan teknis penyelengaraannya.
Ketua Apjatel Lukman Adjam mengatakan, sebanyak 30 perusahaan yang terdaftar dalam anggota Apjatel keberatan bila penempatan jaringan fiber optik disatukan dengan kabel PLN, pipa gas dan air. Untuk itu, dalam penandatanganan surat pernyataan pertanggung jawaban mutlak terkait penempatan jarinan utilitas ke dalam manhole yang diselenggarakan oleh DKI tidak dilakukannya.
"Kami tidak melakukan penandatanganan. Kami minta utilitas fiber optik dipisahkan dengan PLN, pipa gas dan air. Fiber optik belum ada aturan teknis penyelenggaraan harus gimana," kata Lukman di lokasi pada Selasa, 3 Oktober 2017 kemarin.
Lukman menjelaskan, proses perizinan pemasangan utilitas yang tidak terukur membuat pemasangan fiber optik lebih banyak berada di atas permukaan tanah. Sebab, pemasangan fiber optik di atas permukaan lebih mudah dan cepat.
Kendati demikian, lanjut Lukman, pihaknya tidak ada masalah apabila seluruh fiber optik memang ingin ditempatkan seluruhnya di bawah tanah. Terpenting terpisah dan komitmen perizinan harus dilakukan.
"Kami sudah memasang fiber optik di bawah tanah sekitar 40%. Sisanya masih di atas tanah. Pembuat kebijakan dengan teknis pemasangan utilitas tidak ketemu," ungkapnya.
Pengamat perkotaan Universitas Trisakti Nirwono Joga menganggap wajar bila pemilik fiber optik enggan menandatangani kerja sama pemindahan utilitas ke dalam bawah tanah. Sebab, konsep yang dilakukan Pemprov DKI dengan boks utilitas hanya merapihkan utilitas di atas tapi semrawaut di bawah.
"Boks utilitas yang disediakan Dinas Bina Marga hanya untuk menjaga penambahan jaringan tidak lagi membongkar jalan atau trotoar yang sudah tertata. Kalau utilitas tidak ada bedanya," ujarnya.
Nirwono menjelaskan, penataan trotoar itu idealnya terpadu dengan saluran air dan jaringan utilitas. Seperti misalnya trotoar lebar tiga meter, kiri kanan satu meter untuk utilitas, dan satu meter ditengah untuk saluran air. Dalam rongga satu meter kiri kanan itu, nantinya masing-masing utilitas memiliki lemarinya sendiri.
Sehingga, ketika terjadi masalah ataupun inin melakukan penambahan jaringan, utilita lain tidak terganggu. DKI, lanjut Nirwono sangat bisa melakukan itu. Apalagi DKI akan menata trotoar di Jalan Sudirman-Thamrin dengan lebar mencapai lebih dari 8 Meter.
Dia berharap penataan itu menjadi pilot project penataan trotoar dengan utilitas yang ideal. "Masalahnya ini Bina Marga tidak punya rencana induk saluran air, utilitas, dan trotoar. Itu bagian satu paket dari penataan trotoar. Kalau ada rencana induk, para penguna harus menikuti rencan induk. Yang terjadi sekarang, penataan torotoar sudah dilakukan, utilita baru jalan, lalu saluran ai tersumbat dan sebagainya," ungkapnya.
Kepala Dinas Bina Marga Yusmada Faizal menegaskan, boks utilitas yang terpasang berjarak 20 meter di trotoar itu hanya memberikan tempat buat mengebor. Sehingga, ketika trotoar sudah ditata, tidak ada lagi pemilik utilitas menggali dan merusak kembali trotoar tersebut.
Boks utilitas berukuran 1,8 meter x 1,2 meter dengan kedalaman 2,3 meter itu dinilai Yusmada seharusnya dapat dimanfaatkan secara leluasa para pemilik utilitas untuk mengebor masing-masing utilitasnya.
"Selama dua tahun belakangan ini kami sudah bangun boks utilitas di trotoar sepanjang 46 km. Tahun ini penataan trotoar dilakukan sepanjang 80 km. Langkah pertama 6-1 tahun silakan bangun kabel baru karena tahun depannya kita akan pangkas kabel kabel itu untuk menuju kota manusiawi, humanis, kita mulai menggerakan orang dengan adanya Mass Rapid Transit (MRT), Light Rail Transit (LRT), dan sebagainya. Pada 8 Oktober kita mulai pencanangan trotoar di Jalan sudirman-Thamrin," tegasnya.
Ketua Apjatel Lukman Adjam mengatakan, sebanyak 30 perusahaan yang terdaftar dalam anggota Apjatel keberatan bila penempatan jaringan fiber optik disatukan dengan kabel PLN, pipa gas dan air. Untuk itu, dalam penandatanganan surat pernyataan pertanggung jawaban mutlak terkait penempatan jarinan utilitas ke dalam manhole yang diselenggarakan oleh DKI tidak dilakukannya.
"Kami tidak melakukan penandatanganan. Kami minta utilitas fiber optik dipisahkan dengan PLN, pipa gas dan air. Fiber optik belum ada aturan teknis penyelenggaraan harus gimana," kata Lukman di lokasi pada Selasa, 3 Oktober 2017 kemarin.
Lukman menjelaskan, proses perizinan pemasangan utilitas yang tidak terukur membuat pemasangan fiber optik lebih banyak berada di atas permukaan tanah. Sebab, pemasangan fiber optik di atas permukaan lebih mudah dan cepat.
Kendati demikian, lanjut Lukman, pihaknya tidak ada masalah apabila seluruh fiber optik memang ingin ditempatkan seluruhnya di bawah tanah. Terpenting terpisah dan komitmen perizinan harus dilakukan.
"Kami sudah memasang fiber optik di bawah tanah sekitar 40%. Sisanya masih di atas tanah. Pembuat kebijakan dengan teknis pemasangan utilitas tidak ketemu," ungkapnya.
Pengamat perkotaan Universitas Trisakti Nirwono Joga menganggap wajar bila pemilik fiber optik enggan menandatangani kerja sama pemindahan utilitas ke dalam bawah tanah. Sebab, konsep yang dilakukan Pemprov DKI dengan boks utilitas hanya merapihkan utilitas di atas tapi semrawaut di bawah.
"Boks utilitas yang disediakan Dinas Bina Marga hanya untuk menjaga penambahan jaringan tidak lagi membongkar jalan atau trotoar yang sudah tertata. Kalau utilitas tidak ada bedanya," ujarnya.
Nirwono menjelaskan, penataan trotoar itu idealnya terpadu dengan saluran air dan jaringan utilitas. Seperti misalnya trotoar lebar tiga meter, kiri kanan satu meter untuk utilitas, dan satu meter ditengah untuk saluran air. Dalam rongga satu meter kiri kanan itu, nantinya masing-masing utilitas memiliki lemarinya sendiri.
Sehingga, ketika terjadi masalah ataupun inin melakukan penambahan jaringan, utilita lain tidak terganggu. DKI, lanjut Nirwono sangat bisa melakukan itu. Apalagi DKI akan menata trotoar di Jalan Sudirman-Thamrin dengan lebar mencapai lebih dari 8 Meter.
Dia berharap penataan itu menjadi pilot project penataan trotoar dengan utilitas yang ideal. "Masalahnya ini Bina Marga tidak punya rencana induk saluran air, utilitas, dan trotoar. Itu bagian satu paket dari penataan trotoar. Kalau ada rencana induk, para penguna harus menikuti rencan induk. Yang terjadi sekarang, penataan torotoar sudah dilakukan, utilita baru jalan, lalu saluran ai tersumbat dan sebagainya," ungkapnya.
Kepala Dinas Bina Marga Yusmada Faizal menegaskan, boks utilitas yang terpasang berjarak 20 meter di trotoar itu hanya memberikan tempat buat mengebor. Sehingga, ketika trotoar sudah ditata, tidak ada lagi pemilik utilitas menggali dan merusak kembali trotoar tersebut.
Boks utilitas berukuran 1,8 meter x 1,2 meter dengan kedalaman 2,3 meter itu dinilai Yusmada seharusnya dapat dimanfaatkan secara leluasa para pemilik utilitas untuk mengebor masing-masing utilitasnya.
"Selama dua tahun belakangan ini kami sudah bangun boks utilitas di trotoar sepanjang 46 km. Tahun ini penataan trotoar dilakukan sepanjang 80 km. Langkah pertama 6-1 tahun silakan bangun kabel baru karena tahun depannya kita akan pangkas kabel kabel itu untuk menuju kota manusiawi, humanis, kita mulai menggerakan orang dengan adanya Mass Rapid Transit (MRT), Light Rail Transit (LRT), dan sebagainya. Pada 8 Oktober kita mulai pencanangan trotoar di Jalan sudirman-Thamrin," tegasnya.
(whb)