12 Tahun Car Free Day Berlaku, Ternyata Tak Kurangi Polusi Udara
A
A
A
JAKARTA - Kadar polusi udara di Jakarta belum berubah meski sudah hampir 12 tahun Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB/Car Free Day) diberlakukan. Belum adanya angkutan umum dan trotoar yang nyaman menjadi sebab masih adanya polusi yang tinggi.
Koordinator Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad ‘Puput’ Syafrudin mengatakan, gaya hidup masyarakat Jakarta yang belum meninggalkan kendaraan bermotor pribadi sejak HBKB diberlakukan 2005 silam mengakibatkan masih tercemarnya polusi udara di Jakarta.
Menurutnya, HBKB yang bertujuan untuk mengurangi polusi udara belum berhasil. Penurunan polusi udara hanya terjadi di jalan-jalan yang diberlakukan HBKB, sementara udara di jalur lain kadar polusi tidak berubah.
"Belum adanya moda transportasi massal yang memudahkan masyarakat bermobilitas dan belum adanya trotoar serta jalur sepeda menjadi sebab masyarakat tidak bisa meninggalkan kendaraan pribadi. Hasilnya polusi udara belum menurun," kata Ahmad ‘Puput’ Syafrudin di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (22/9/2017).
Syafrudin menjelaskan, penurunan kadar polusi di HBKB (roadside) tidak mencerminkan penurunan secara keseluruhan (ambient). Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan MH Thamrin memang turun (kadar polusinya) namun kawasan Kasablanka meningkat karena orang yang biasa lewat Sudirman-Thamrin beralih ke Kasablanka.
Ketergantungan masyarakat Jakarta terhadap kendaraan bermotor belum bisa dihilangkan. Alternatif menggunakan sepeda dan berjalan di trotoar belum nyaman dilakukan. Padahal, kata Puput, jika saja 20% dari keseluruhan warga Jakarta mengubah gaya hidup bermobilisasi, pengurangan kadar polusi bisa turun signifikan.
"Jadi kalau moda transportasi massal dan segala pendukungnya tidak ada peningkatan, ya mau HBKB diperluas atau diperbanyak, polusi udara tidak akan menurun," ungkapnya.
Kemacetan di Jakarta saat ini, lanjut Puput, menjadi penyebab polusi udara menumpuk. Berdasarkan kajian KPBB 2016, kecepatan rata-rata kendaraan bermotor di Jakarta hanya 14-15 km/jam. Jumlah pengidap penyakit ISPA (infeksi saluran pernapasan) di Jakarta mencapai 2,4 juta pada 2012. Jumlah meningkat di 2016 menjadi 2,7 juta.
Disisi lain, perubahan gaya hidup masyarakat sudah mulai terlihat di kota-kota maju di dunia yang sudah memiliki peningkatan moda transportasi, di antaranya, Paris, Hong Kong, Singapura dan Bangkok. "Secara agregat polusi di Jakarta tidak mengalami perubahan. Moda transportasi masal harus jadi jawaban," ungkapnya.
Koordinator Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad ‘Puput’ Syafrudin mengatakan, gaya hidup masyarakat Jakarta yang belum meninggalkan kendaraan bermotor pribadi sejak HBKB diberlakukan 2005 silam mengakibatkan masih tercemarnya polusi udara di Jakarta.
Menurutnya, HBKB yang bertujuan untuk mengurangi polusi udara belum berhasil. Penurunan polusi udara hanya terjadi di jalan-jalan yang diberlakukan HBKB, sementara udara di jalur lain kadar polusi tidak berubah.
"Belum adanya moda transportasi massal yang memudahkan masyarakat bermobilitas dan belum adanya trotoar serta jalur sepeda menjadi sebab masyarakat tidak bisa meninggalkan kendaraan pribadi. Hasilnya polusi udara belum menurun," kata Ahmad ‘Puput’ Syafrudin di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (22/9/2017).
Syafrudin menjelaskan, penurunan kadar polusi di HBKB (roadside) tidak mencerminkan penurunan secara keseluruhan (ambient). Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan MH Thamrin memang turun (kadar polusinya) namun kawasan Kasablanka meningkat karena orang yang biasa lewat Sudirman-Thamrin beralih ke Kasablanka.
Ketergantungan masyarakat Jakarta terhadap kendaraan bermotor belum bisa dihilangkan. Alternatif menggunakan sepeda dan berjalan di trotoar belum nyaman dilakukan. Padahal, kata Puput, jika saja 20% dari keseluruhan warga Jakarta mengubah gaya hidup bermobilisasi, pengurangan kadar polusi bisa turun signifikan.
"Jadi kalau moda transportasi massal dan segala pendukungnya tidak ada peningkatan, ya mau HBKB diperluas atau diperbanyak, polusi udara tidak akan menurun," ungkapnya.
Kemacetan di Jakarta saat ini, lanjut Puput, menjadi penyebab polusi udara menumpuk. Berdasarkan kajian KPBB 2016, kecepatan rata-rata kendaraan bermotor di Jakarta hanya 14-15 km/jam. Jumlah pengidap penyakit ISPA (infeksi saluran pernapasan) di Jakarta mencapai 2,4 juta pada 2012. Jumlah meningkat di 2016 menjadi 2,7 juta.
Disisi lain, perubahan gaya hidup masyarakat sudah mulai terlihat di kota-kota maju di dunia yang sudah memiliki peningkatan moda transportasi, di antaranya, Paris, Hong Kong, Singapura dan Bangkok. "Secara agregat polusi di Jakarta tidak mengalami perubahan. Moda transportasi masal harus jadi jawaban," ungkapnya.
(pur)