Sidang Ahok, MUI: Hakim Bisa Jatuhkan Vonis Maksimal
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ikhsan Abdullah menilai, majelis hakim dapat menjatuhkan vonis lebih berat ketimbang tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
"Dalam prinsip ultra petita hakim dapat saja menjatuhkan vonis maksimal tidak terkait dengan tuntutan jaksa. Jadi walaupun jaksa hanya menuntut Ahok satu tahun penjara dengan percobaan dua tahun, maka hakim dapat menjatuhkan vonis maksimal atau ultra petita dengan Pasal 156a maksimal lima tahun penjara atau Pasal 156 dengan maksimal empat tahun penjara," kata Ikhsan kepada Okezone, Selasa (2/5/2017).
Selain itu, lanjut dia, kasus penistaan agama terdapat yurisprudensi, di mana pada kasus-kasus sebelumnya pelaku penistaan agama diganjar hukuman maksimal. "Ini ada yurisprudensinya, kejahatan penistaan agama itu dituntut maksimal. Lalu ada Surat Edaran Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa semua pelaku penistaan agama agar dilakukan tuntutan maksimal agar menimbulkan efek jera," ujarnya.
Ikhsan menambahkan, SE MA terkait penistaan agama merupakan bentuk hadirnya negara untuk melindungi kehidupan beragama dan agama itu sendiri. Maka itu, penuntasan kasus Ahok haruslah mengacu pada tuntunan hukum sebagaimana dianjurkan MA.
"Jadi Surat Edaran MA untuk melindungi kehidupan umat beragama dan agama itu sendiri, sesuai prinsip negara hukum Pasal 29 UUD 1945. Maka haram hukumnya atau tidak ada tempat bagi penista agama di Indonesia," ujar dia.
"Dalam prinsip ultra petita hakim dapat saja menjatuhkan vonis maksimal tidak terkait dengan tuntutan jaksa. Jadi walaupun jaksa hanya menuntut Ahok satu tahun penjara dengan percobaan dua tahun, maka hakim dapat menjatuhkan vonis maksimal atau ultra petita dengan Pasal 156a maksimal lima tahun penjara atau Pasal 156 dengan maksimal empat tahun penjara," kata Ikhsan kepada Okezone, Selasa (2/5/2017).
Selain itu, lanjut dia, kasus penistaan agama terdapat yurisprudensi, di mana pada kasus-kasus sebelumnya pelaku penistaan agama diganjar hukuman maksimal. "Ini ada yurisprudensinya, kejahatan penistaan agama itu dituntut maksimal. Lalu ada Surat Edaran Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa semua pelaku penistaan agama agar dilakukan tuntutan maksimal agar menimbulkan efek jera," ujarnya.
Ikhsan menambahkan, SE MA terkait penistaan agama merupakan bentuk hadirnya negara untuk melindungi kehidupan beragama dan agama itu sendiri. Maka itu, penuntasan kasus Ahok haruslah mengacu pada tuntunan hukum sebagaimana dianjurkan MA.
"Jadi Surat Edaran MA untuk melindungi kehidupan umat beragama dan agama itu sendiri, sesuai prinsip negara hukum Pasal 29 UUD 1945. Maka haram hukumnya atau tidak ada tempat bagi penista agama di Indonesia," ujar dia.
(ysw)