Empat Faktor Penyebab Ahok-Djarot Keok di Jakarta

Rabu, 19 April 2017 - 22:36 WIB
Empat Faktor Penyebab...
Empat Faktor Penyebab Ahok-Djarot Keok di Jakarta
A A A
JAKARTA - Kekalahan Ahok-Djarot berdasarkan hasil quick count disebabkan empat faktor. Ini diungkapkan pengamat politik dari UNJ Ubedilah Badrun kepada SINDOnews.

Ubedilah Badrun mengatakan, hasil quick count tersebut tentu memunculkan pertanyaan, mengapa Ahok-Djarot akhirnya kalah. Ada empat faktor utama yang menyebabkan pasangan nomor urut dua tersebut kalah pada Pilgub DKI 2017 putaran kedua ini.

"Pertama, mesin politik Ahok-Djarot tak bergerak efektif," kata Ubedilah Rabu (19/4/2017). Mesin politik Ahok-Djarot secara kuantitas sebenarnya mengungguli pasangan Anies-Sandi karena didukung enam partai politik yakni, PDIP, Nasdem, Hanura, Golkar, PKB, dan PPP serta mantan relawan yang teruji pada Pilgub DKI 2012.

Sementara Anies-Sandi hanya didukung lima partai, yakni Gerindra, PKS, PAN, Perindo, dan Partai Idaman, serta relawan. Namun, modal kuantitas tersebut tak mampu bekerja efektif karena pola kampanyenya sudah bisa dibaca dengan baik oleh mesin politik pasangan Anies-Sandi.

Ubedilah menuturkan, pola kampanye darat yang konvensional dengan kecenderungan menggunakan pola seperti melalui kegiatan baksos, sembako murah, dan sembako gratis tak efektif lagi mempengaruhi secara luas pemilih Jakarta yang mayoritas pemilih rasional.

"Termasuk pola kampanye udara yang cenderung menggunakan pola playing victim. Sebuah kampanye melalui dunia maya untuk menggambarkan pasangan Ahok-Djarot sebagai korban diskriminasi dan intoleransi tak mampu mengubah cara pandangan warga Jakarta secara mayoritas," tuturnya.

Ubedilah mengungkapkan, militansi berlebihan cyber army Ahok-Djarot juga seringkali justru menjadi blunder politik. Kedua, modal finansial yang lebih besar dimiliki pasangan Ahok-Djarot tak digunakan secara efisien dan efektif.

Melimpahnya dukungan finansial yang dimiliki Ahok-Djarot tak digunakan untuk agenda pemenangan secara efisien. Ini bisa dicermati dari pembiayaan yang besar untuk imaging politic melalui media massa dan media sosial tetapi tidak berbuah pada meningkatnya elektabilitas Ahok-Djarot.

"Kampanye udara yang berbiaya besar nampak lebih diutamakan dibanding kampanye darat yang sesungguhnya bisa lebih efektif dengan menggerakan mesin politik secara kultural," terang Direktur Puspol Indonesia.

Ketiga, komunikasi publik Ahok yang tak santun. Tak sedikit pernyataan Ahok dihadapan publik menimbulkan kemarahan massa, seperti pernyataanya mengenai Al Maidah 51 di Kepulauan Seribu pada September 2016 lalu. Dalam konteks sosiologis politik, tampaknya cara komunikasi santun jauh lebih diterima warga Jakarta.

"Keempat, tindakan fatal relawan atau simpatisan Ahok-Djarot. Tindakan fatal menjelang putaran dua itu ada pada video kampanye yang mengesankan umat Islam intoleran (melakukan kekerasan) dan operasi bagi-bagi sembako di hari tenang yang dilakukan sekelompok relawan atau simpatisan yang menggunakan simbol baju kotak-kotak," paparnya.

Maka itu, timbul kesan negatif terhadap pasangan Ahok-Djarot yang justru mengurangi elektabilitasnya. Video kampanye Ahok-Djarot yang menggambarkan umat Islam yang keras dan intoleran tersebut justru meningkatkan militansi pemilih muslim Jakarta karena umat merasa disudutkan.

Itu mengingatkan warga muslim terhadap Ahok dalam kasus Al Maidah 51. Ahok-Djarot tampaknya lupa temuan riset bahwa 65% warga muslim Jakarta memilih karena faktor agama. Empat faktor kekalahan Ahok-Djarot tersebut menjadi pelajaran berharga bagi para politisi.

"Faktor tak efektifnya mesin politik dalam bekerja dan performa komunikasi politik calon gubernur yang ekstrim berlawanan dengan kondisi sosiologis masyarakat atau pandangan umum masyarakat itu faktor utama kekalahan," katanya.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8669 seconds (0.1#10.140)