Mendagri Diminta Baca Pasal 83 UU Pemda dengan Niat Baik

Senin, 27 Februari 2017 - 13:53 WIB
Mendagri Diminta Baca...
Mendagri Diminta Baca Pasal 83 UU Pemda dengan Niat Baik
A A A
JAKARTA - PP Pemuda Muhammadiyah mempertanyakan alasan Mendagri Tjahjo Kumolo begitu berani mempertaruhkan reputasi jabatan untuk menunda pemberhentian Ahok terdakwa yang secara moral dan etika telah di proses hukum atas nama pasal penodaan agama.

Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum, Faisal mengatakan, jalan panjang polemik penonaktifan terdakwa Basuki T Purnama (Ahok) dari jabatannya menuai tanggapan hukum yang beragam. "Sejauh yang kami pahami, Pasal 83 (1) UU Pemda ditafsirkan tidak terlepas dari ancaman Pasal 156 dan 156a KUHP yang menjadi dasar dakwaan terdakwa. Mendagri sebagai pihak yang paling bertanggungjawab untuk memutuskan penonaktifan Ahok. Mendagri terkesan berhati-hati dan mendengar semua pihak," kata Faisal kepada Sindonews, Senin (27/2/2017).

Dalih yang dibangun dari awal, lanjut Faisal, Mendagri menunggu tuntutan dari JPU apakah tuntutan terhadap terdakwa lima tahun atau di bawah itu. "Saya menduga, logika hukum yang dibangun Mendagri apabila tuntutan dibawah lima tahun maka terdakwa tidak akan diberhentikan. Padahal tafsir yang demikian terang adalah upaya akrobatik hukum. Nalarnya begitu politis membaca dan memahami Pasal 83 (1)," tegasnya.

Menurut Faisla, Mendagri harus membaca Pasal 83 (1) dengan niat yang baik. Perspektifnya dalam rangka menegakkan moral dan etika dalam berhukum. Apalagi Mendagri memiliki tugas konstitusional untuk memastikan penyelenggaraan pemerintah daerah yang baik.

"Kami menitip pesan ke Bapak Mendagri, sejatinya akhlak hukum adalah sumber dari hadirnya nalar keadilan. Membaca Pasal 83 (1) tidaklah mungkin dapat menyatu pada rasa keadilan jika tidak memiliki akhlak hukum. Nilai yang hendak di artikulasikan adalah moral dan etika," jelasnya.

"Lantas, mengapa Mendagri begitu berani mempertaruhkan reputasi jabatannya untuk menunda berhentikan terdakwa yang secara moral dan etik telah di proses hukum atas nama Pasal penodaan agama," lanjutnya.

Apalagi, pilihan hukum Mendagri yang mengatakan menunggu tuntutan JPU tidak sama sekali dipersyaratkan oleh aturannya. Kepentingan hukum Pasal 83 (1) harus dilihat dalam kacamata imperatif, yang hendak ditegakkan yaitu perbuatan tercela, sepanjang perbuatan terdakwa tercela dan telah didakwa, maka dalih yang mendegradasi Pasal 83 (1) secara fakultatif ialah pilihan akrobatik hukum semata.

"Terang, jika perbuatannya sudah tercela dan didakwa, maka tidak perlu dibebankan dengan prasyarat jenis hukuman dan ancaman hukuman, jika dalih hukum ini yang terus dibangun, maka memahami Pasal 83 (1) tidak untuk menegakkan nilai akhlak hukum," tutupnya.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6441 seconds (0.1#10.140)