Pemprov DKI Dinilai Belum Miliki Kemauan Mengatasi Banjir
A
A
A
JAKARTA - Pemprov DKI Jakarta dinilai belum memiliki keinginan mengatasi banjir di Ibu Kota. Bahkan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Kepala dinas Sumber Daya Air (SDA) dianggap tidak mengerti masalah banjir.
Penilaian ini disampaikan pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga. Nirwono menuturkan, tidak terkejut dengan adanya banjir yang mengepung Jakarta pada Selasa, 21 Februari 2017 kemarin. Intensitas hujan lokal yang tinggi dan menyebabkan banjir akibat buruknya drainase.
Penanganan drainase yang dilakukan DKI saat ini, bersifat parsial. Di mana, perbaikan saluran itu dilakukan hanya berdasarkan jumlah titik genangan sebelumnya. Padahal, sifat air itu berpindah ke tempat rendah.
Sehingga, bila titik satu dibenahi dan titik lainnya tidak, genangan akan berpindah di titik yang belum dibenahi. Untuk menangani genangan itu harus dari dasarnya terlebih dahulu. Sehingga titik-titik perbaikan dapat dilakukan secara bertahap.
Nirwono menjelaskan, banjir yang disebabkan hujan lokal dengan intensitas tinggi itu pastinya akibat kurangnya daerah resapan dan tidak berfungsinya saluran atau drainase dengan baik. Dia menilai, Pemprov Jakarta belum memiliki keinginan mengatasi banjir dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaj Purnama (Ahok) serta Kepala dinas Sumber Daya Air (SDA) tidak mengerti masalah banjir.
Nirwono menjabarkan, ada empat tipe banjir di Jakarta yakni, banjir akibat hujan lokal, kenaikan permukaan air laut, banjir kiriman dan terakhir ketiga tipe banjir itu terjadi secara bersamaan. Dengan tipe yang berbeda tersebut, tentunya penanganan banjir berbeda-beda, bukan hanya mengandalkan normalisasi melalui betonisasi.
"Kalau hujan lokal ya penanganannya harus merehabilitasi seluruh saluran air mikro dan makro sampai terhubung dengan baik. Saluran harus bebas sampah dan lumpur, memperlebar diameter saluran serta menata utilitas jaringan yang ada di saluran air," ungkap Nirwono, Selasa kemarin.
Pada tahun terakhir kepemimpinan Gubernur Ahok, penanganan saluran air mikro ataupun makro belum optimal lantaran penanganannya tidak didasari oleh rencana induk. Padahal, sejak 10-15 tahun lalu atau sejak banjir besar pada 2002, pihaknya sudah mendorong Dinas Pekerjaan Umum (PU) untuk membuat rencana induk saluran air bersamaan dengan rencana induk jaringan utilitas.
Sehingga, tidak ada lagi saluran air yang bertumpuk dengan utilitas. "Saluran air terbagi tiga, saluran makro diameternya sekitar 5 meter, meso 3 meter dan mikro itu rata-rata satu meter. Saluran makro itu terbagi atas kiri untuk utilitas kabel listrik, telepon dan serat optik. Kanan untuk pipa air bersih dan gas. Sehingga tidak ada lagi bongkar pasang saluran air dan trotoar serta tumpang tindih utilitas di saluran air," ujarnya.
Nirwono menuturkan, belum adanya rencana induk saluran air itu bukan lantaran tidak adanya dana. Melainkan tidak adanya kemauan yang serius dari Pemprov DKI. Sebab, dalam perbaikan saluran itu terdapat 12 instansi yang sudah memiliki kavling masing-masing.
Untuk itu, lanjut Nirwono, ke 12 instansi tersebut harus duduk bersama dan membuat satu pintu, tentunya di bidang teknis baik itu Bina Marga ataupun Sumber Daya air (SDA). "Selama ini dalam rapat oke, tetapi pelaksanaannya berbenturan kewenangan. Ini juga harus dibenahi, jangan bilang siap dan justru bersyukur ada banjir, jadi bisa diketahui penyebabnya. Penyebab banjir itu berbeda-beda dan penanganannya berbeda," ujarnya.
Pengamat tata kota dari Universitas Pancasila (UP) Feri Futuhena menilai banjir masih terus terjadi karena tidak pernah diatasi maksimal dan penanganan banjir tidak dilakukan 100%. Feri mengatakan, normalisasi harus dilakukan tepat guna, di mana dilakukan untuk daerah yang akan dilindungi.
"Normalisasi didesain untuk banjir yang mana. Apakah satu dalam 10 tahun atau probabilitas lainnya," ungkapnya. Penyelesaian masalah ini juga bergantung pada kemampuan ekonomi daerah. Jika kemampuan ekonomi tinggi maka desainnya akan lebih bagus.
Penilaian ini disampaikan pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga. Nirwono menuturkan, tidak terkejut dengan adanya banjir yang mengepung Jakarta pada Selasa, 21 Februari 2017 kemarin. Intensitas hujan lokal yang tinggi dan menyebabkan banjir akibat buruknya drainase.
Penanganan drainase yang dilakukan DKI saat ini, bersifat parsial. Di mana, perbaikan saluran itu dilakukan hanya berdasarkan jumlah titik genangan sebelumnya. Padahal, sifat air itu berpindah ke tempat rendah.
Sehingga, bila titik satu dibenahi dan titik lainnya tidak, genangan akan berpindah di titik yang belum dibenahi. Untuk menangani genangan itu harus dari dasarnya terlebih dahulu. Sehingga titik-titik perbaikan dapat dilakukan secara bertahap.
Nirwono menjelaskan, banjir yang disebabkan hujan lokal dengan intensitas tinggi itu pastinya akibat kurangnya daerah resapan dan tidak berfungsinya saluran atau drainase dengan baik. Dia menilai, Pemprov Jakarta belum memiliki keinginan mengatasi banjir dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaj Purnama (Ahok) serta Kepala dinas Sumber Daya Air (SDA) tidak mengerti masalah banjir.
Nirwono menjabarkan, ada empat tipe banjir di Jakarta yakni, banjir akibat hujan lokal, kenaikan permukaan air laut, banjir kiriman dan terakhir ketiga tipe banjir itu terjadi secara bersamaan. Dengan tipe yang berbeda tersebut, tentunya penanganan banjir berbeda-beda, bukan hanya mengandalkan normalisasi melalui betonisasi.
"Kalau hujan lokal ya penanganannya harus merehabilitasi seluruh saluran air mikro dan makro sampai terhubung dengan baik. Saluran harus bebas sampah dan lumpur, memperlebar diameter saluran serta menata utilitas jaringan yang ada di saluran air," ungkap Nirwono, Selasa kemarin.
Pada tahun terakhir kepemimpinan Gubernur Ahok, penanganan saluran air mikro ataupun makro belum optimal lantaran penanganannya tidak didasari oleh rencana induk. Padahal, sejak 10-15 tahun lalu atau sejak banjir besar pada 2002, pihaknya sudah mendorong Dinas Pekerjaan Umum (PU) untuk membuat rencana induk saluran air bersamaan dengan rencana induk jaringan utilitas.
Sehingga, tidak ada lagi saluran air yang bertumpuk dengan utilitas. "Saluran air terbagi tiga, saluran makro diameternya sekitar 5 meter, meso 3 meter dan mikro itu rata-rata satu meter. Saluran makro itu terbagi atas kiri untuk utilitas kabel listrik, telepon dan serat optik. Kanan untuk pipa air bersih dan gas. Sehingga tidak ada lagi bongkar pasang saluran air dan trotoar serta tumpang tindih utilitas di saluran air," ujarnya.
Nirwono menuturkan, belum adanya rencana induk saluran air itu bukan lantaran tidak adanya dana. Melainkan tidak adanya kemauan yang serius dari Pemprov DKI. Sebab, dalam perbaikan saluran itu terdapat 12 instansi yang sudah memiliki kavling masing-masing.
Untuk itu, lanjut Nirwono, ke 12 instansi tersebut harus duduk bersama dan membuat satu pintu, tentunya di bidang teknis baik itu Bina Marga ataupun Sumber Daya air (SDA). "Selama ini dalam rapat oke, tetapi pelaksanaannya berbenturan kewenangan. Ini juga harus dibenahi, jangan bilang siap dan justru bersyukur ada banjir, jadi bisa diketahui penyebabnya. Penyebab banjir itu berbeda-beda dan penanganannya berbeda," ujarnya.
Pengamat tata kota dari Universitas Pancasila (UP) Feri Futuhena menilai banjir masih terus terjadi karena tidak pernah diatasi maksimal dan penanganan banjir tidak dilakukan 100%. Feri mengatakan, normalisasi harus dilakukan tepat guna, di mana dilakukan untuk daerah yang akan dilindungi.
"Normalisasi didesain untuk banjir yang mana. Apakah satu dalam 10 tahun atau probabilitas lainnya," ungkapnya. Penyelesaian masalah ini juga bergantung pada kemampuan ekonomi daerah. Jika kemampuan ekonomi tinggi maka desainnya akan lebih bagus.
(whb)