Pengamat: Kebijakan Ahok Dapat Timbulkan Permasalahan Hukum Baru
A
A
A
JAKARTA - Ahli Hukum Tata Negara sekaligus Ketua Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Narotama (Unnar) Surabaya Dr Rusdianto Sesung menilai aktifnya kembali Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta dapat menimbulkan permasalahan hukum baru.
“Ini terkait keabsahan tindakan pemerintahan (bestuurhandeling) yang akan dilakukan oleh Ahok setelah aktif. Semua tindakan pemerintahan gubernur DKI rawan gugatan hukum dan dapat dibatalkan,” kata Rusdianto, Senin (13/2/2017).
Menurutnya, Ahok merupakan terdakwa dalam perkara pidana yang didakwa melanggar Pasal 156 atau Pasal 156a KUHP yang ancaman hukumannya 5 tahun. Dalam Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan tegas dinyatakan bahwa Kepala Daerah yang menjadi terdakwa atas perkara pidana yang ancaman hukumannya minimal 5 tahun maka harus diberhentikan sementara dari jabatannya.
Dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama, kata Rusdianto, memang dakwaannya bersifat alternatif, yakni ancaman 4 tahun atau 5 tahun. Namun bukan berarti ancaman 4 tahun tersebut dapat dijadikan alasan untuk tidak memberhentikan sementara sebagai gubernur karena disaat yang sama dia juga diancam 5 tahun penjara.
“Dengan perkataan lain bahwa Presiden tidak perlu menunggu tuntutan JPU kepada Basuki Tjahaja Purnama sebagaimana dikemukakan oleh Mendagri,” imbuhnya.
Rusdianto juga menyoroti pendapat Dr Refly Harun yang menyatakan bahwa Pasal 83 UU Pemda mengatur bahwa hanya “kepala daerah yang didakwa dengan ancaman paling singkat 5 tahun sajalah yang dapat diberhentikan sementara. Sedangkan Basuk Tjahaja Purnama melanggar Pasal 156a KUHP yang ancamannya paling lama 5 tahun, sehingga tidak ada alasan untuk memberhentikan BTP”… merupakan pendapat yang keliru.
Rusdianto menegaskan, Dr Refly tidak mengaitkan UU Pemda secara sistematis dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang memang mengatur ketentuan untuk penyebutan batas bawah bagi ancaman hukuman minimal memang menggunakan frasa “paling singkat”. Namun maknanya bukan berarti bahwa tindak pidana yang ancamannya paling lama 5 tahun tidak termasuk dalam kategori Pasal 83 ayat (1) UU Pemda tersebut.
Hal ini karena ketentuan mengenai pemidanaan atau ancaman hukuman dalam KUHP bersifat maksimum umum, berbeda dengan UU tindak pidana khusus yang bersifat minimum khusus dan maksimum khusus. Yang dimaksud dengan sifat maksimum umum ialah semua ancaman pidana yang diatur dalam KUHP bersifat batas maksimal, bukan batas minimal.
Jadi, menurut Rusdianto, semua ancaman hukuman di KUHP memang selalu menggunakan frasa “paling lama atau selama-lamanya” dan bukan “paling singkat” sebagaimana yang digunakan dalam UU Tindak Pidana Khusus seperti UU Tipikor dan UU Tipidsus lainnya.
Sebagai contoh misalnya ancaman pidana dalam Pasal 338 KUHP mengenai pembunuhan yang ancaman pidananya selama-lamanya 15 tahun. “Jika menggunakan pendapat Dr Refly Harun tersebut, maka siapapun Kepala Daerah yang menjadi terdakwa kasus pembunahan tidak dapat diberhentikan sementara karena ancaman pidananya menyebutkan selama-lamanya 15 tahun, bukan paling singkat 5 tahun,” katanya.
Sungguh pendapat yang fallacy (sesat) dan Exfalso Qualibed (kesimpulan salah karena kesalahan argumentasi awal). “Dengan demikian, jika Basuki Tjahaja Purnama tidak diberhentikan sementara dari jabatannya, maka akibat hukum dari tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh BTP sebagai Gubernur DKI ialah tidak sah dan dapat dibatalkan (vernietegbaar),” ulasnya.
Ketidakabsahan tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama tersebut karena BTP tidak lagi memiliki legal standing atau kedudukan hukum lagi sebagai gubernur. Sehingga sejak saat diterimanya nomor register pengadilan seharusnya Basuki Tjahaja diberhentikan sementara.
Ini membuat Basuki Tjahaja tidak berwenang untuk melakukan tindakan-tindakan pemerintahan. Baik tindakan nyata (feitelijk bestuurhandeling) maupun tindakan hukum (rechts bestuurhandeling).
Jika tindakan hukum yang dilakukan basuki Tjahaja tidak sah dan rawan gugatan maka akan menimbulkan permasalah hukum yang berkepanjangan dikemudian hari. Ini sebagai akibat dari tindakan hukum yang dilakukan tanpa alas kewenangan yang sah tersebut.
Oleh karena itu, untuk menghindari permasalahan hukum yang lebih rumit dikemudian hari, maka Basuki Tjahaja harus diberhentikan sementara. Dan berdasarkan Pasal 86 UU Pemda, maka Wakil Gubernur (Djarot Saiful Hidayat) akan melaksanakan tugas dan kewenangan gubernur sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
“Ini terkait keabsahan tindakan pemerintahan (bestuurhandeling) yang akan dilakukan oleh Ahok setelah aktif. Semua tindakan pemerintahan gubernur DKI rawan gugatan hukum dan dapat dibatalkan,” kata Rusdianto, Senin (13/2/2017).
Menurutnya, Ahok merupakan terdakwa dalam perkara pidana yang didakwa melanggar Pasal 156 atau Pasal 156a KUHP yang ancaman hukumannya 5 tahun. Dalam Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan tegas dinyatakan bahwa Kepala Daerah yang menjadi terdakwa atas perkara pidana yang ancaman hukumannya minimal 5 tahun maka harus diberhentikan sementara dari jabatannya.
Dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama, kata Rusdianto, memang dakwaannya bersifat alternatif, yakni ancaman 4 tahun atau 5 tahun. Namun bukan berarti ancaman 4 tahun tersebut dapat dijadikan alasan untuk tidak memberhentikan sementara sebagai gubernur karena disaat yang sama dia juga diancam 5 tahun penjara.
“Dengan perkataan lain bahwa Presiden tidak perlu menunggu tuntutan JPU kepada Basuki Tjahaja Purnama sebagaimana dikemukakan oleh Mendagri,” imbuhnya.
Rusdianto juga menyoroti pendapat Dr Refly Harun yang menyatakan bahwa Pasal 83 UU Pemda mengatur bahwa hanya “kepala daerah yang didakwa dengan ancaman paling singkat 5 tahun sajalah yang dapat diberhentikan sementara. Sedangkan Basuk Tjahaja Purnama melanggar Pasal 156a KUHP yang ancamannya paling lama 5 tahun, sehingga tidak ada alasan untuk memberhentikan BTP”… merupakan pendapat yang keliru.
Rusdianto menegaskan, Dr Refly tidak mengaitkan UU Pemda secara sistematis dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang memang mengatur ketentuan untuk penyebutan batas bawah bagi ancaman hukuman minimal memang menggunakan frasa “paling singkat”. Namun maknanya bukan berarti bahwa tindak pidana yang ancamannya paling lama 5 tahun tidak termasuk dalam kategori Pasal 83 ayat (1) UU Pemda tersebut.
Hal ini karena ketentuan mengenai pemidanaan atau ancaman hukuman dalam KUHP bersifat maksimum umum, berbeda dengan UU tindak pidana khusus yang bersifat minimum khusus dan maksimum khusus. Yang dimaksud dengan sifat maksimum umum ialah semua ancaman pidana yang diatur dalam KUHP bersifat batas maksimal, bukan batas minimal.
Jadi, menurut Rusdianto, semua ancaman hukuman di KUHP memang selalu menggunakan frasa “paling lama atau selama-lamanya” dan bukan “paling singkat” sebagaimana yang digunakan dalam UU Tindak Pidana Khusus seperti UU Tipikor dan UU Tipidsus lainnya.
Sebagai contoh misalnya ancaman pidana dalam Pasal 338 KUHP mengenai pembunuhan yang ancaman pidananya selama-lamanya 15 tahun. “Jika menggunakan pendapat Dr Refly Harun tersebut, maka siapapun Kepala Daerah yang menjadi terdakwa kasus pembunahan tidak dapat diberhentikan sementara karena ancaman pidananya menyebutkan selama-lamanya 15 tahun, bukan paling singkat 5 tahun,” katanya.
Sungguh pendapat yang fallacy (sesat) dan Exfalso Qualibed (kesimpulan salah karena kesalahan argumentasi awal). “Dengan demikian, jika Basuki Tjahaja Purnama tidak diberhentikan sementara dari jabatannya, maka akibat hukum dari tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh BTP sebagai Gubernur DKI ialah tidak sah dan dapat dibatalkan (vernietegbaar),” ulasnya.
Ketidakabsahan tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama tersebut karena BTP tidak lagi memiliki legal standing atau kedudukan hukum lagi sebagai gubernur. Sehingga sejak saat diterimanya nomor register pengadilan seharusnya Basuki Tjahaja diberhentikan sementara.
Ini membuat Basuki Tjahaja tidak berwenang untuk melakukan tindakan-tindakan pemerintahan. Baik tindakan nyata (feitelijk bestuurhandeling) maupun tindakan hukum (rechts bestuurhandeling).
Jika tindakan hukum yang dilakukan basuki Tjahaja tidak sah dan rawan gugatan maka akan menimbulkan permasalah hukum yang berkepanjangan dikemudian hari. Ini sebagai akibat dari tindakan hukum yang dilakukan tanpa alas kewenangan yang sah tersebut.
Oleh karena itu, untuk menghindari permasalahan hukum yang lebih rumit dikemudian hari, maka Basuki Tjahaja harus diberhentikan sementara. Dan berdasarkan Pasal 86 UU Pemda, maka Wakil Gubernur (Djarot Saiful Hidayat) akan melaksanakan tugas dan kewenangan gubernur sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
(ysw)