Anies Minta Pemimpin Taat Hukum dan Tidak Memusuhi Warga
A
A
A
JAKARTA - Calon Gubernur (cagub) DKI Jakarta 2017 nomor urut 3, Anies Baswedan menilai pemimpin tidak boleh menjadikan rakyat sebagai musuh. Pemerintah yang melanggar hukum bisa menjadi ancam peradaban manusia.
"Kebijakan pemimpin di Jakarta selama ini tidak didasari kesepakatan. Perundingan antara pemerintah dan rakyat menjadi buntu, karena ketimpangan kekuasaan," kata Anies di kawasan Taman Sari, Jakarta barat, Rabu (25/1/2017).
Anies menjelaskan, dalam mengambil sebuah kebijakan Itu perlu ada fasilitator antarwarga dan pemimpin yang berbeda pandangan. Nantinya, fasilisator akan memberikan alternatif solusi, agar dua pihak yang berbeda dan punya pandangan masing-masing itu, bersatu.
Selama ini, lanjut inisiator Indonesia Mengajar tersebut, banyak asumsi yang timbul bahwa pemerintah itu harus tegas. Namun, yang terjadi saat ini bukanlah ketegasan, melainkan otoriter.
Menurutnya, ketegasan dan otoriter itu sangat bertolak belakang. "Tegas dan otoriter berbeda. Ororiter itu keputusan ada di tangan pemimpin. Kalau tegas itu, artinya keputusan bersama dijalankan dengan teguh, bersama-sama," katanya.
Dengan kepemimpinan otoriter, kata Anies, pelanggaran hukum berpotensi terjadi. Akibatnya, peradaban manusia terancam. Padahal, fungsi pemerintah itu menegakan hukum yang telah disepakati warga.
Dalam kesempatan itu, Anies juga menyampaikan bantahanya bila cuma "menghadirkan" angka-angka saat debat gubernur putaran pertama. Menurutnya, dirinya hanya memaparkan temuan data yang relevan.
Misalnya saja ketika dirinya menerangkan 44 pos kewirausahaan (One Kecamatan One Center Entrepreneurship/OK OCE) dan 200 ribu pengusaha baru. Lalu, angka kemiskinan, pengangguran, dan pendididikan di Jakarta.
"Semua itu data yang relevan kok, bukan sekadar data yang berderet. penjelasannya bukan cuma menderetkan data sebagai bentuk presentasi. Namun, menggunakan narasi untuk mempresentasikan data dan angka tersebut," katanya.
"Kebijakan pemimpin di Jakarta selama ini tidak didasari kesepakatan. Perundingan antara pemerintah dan rakyat menjadi buntu, karena ketimpangan kekuasaan," kata Anies di kawasan Taman Sari, Jakarta barat, Rabu (25/1/2017).
Anies menjelaskan, dalam mengambil sebuah kebijakan Itu perlu ada fasilitator antarwarga dan pemimpin yang berbeda pandangan. Nantinya, fasilisator akan memberikan alternatif solusi, agar dua pihak yang berbeda dan punya pandangan masing-masing itu, bersatu.
Selama ini, lanjut inisiator Indonesia Mengajar tersebut, banyak asumsi yang timbul bahwa pemerintah itu harus tegas. Namun, yang terjadi saat ini bukanlah ketegasan, melainkan otoriter.
Menurutnya, ketegasan dan otoriter itu sangat bertolak belakang. "Tegas dan otoriter berbeda. Ororiter itu keputusan ada di tangan pemimpin. Kalau tegas itu, artinya keputusan bersama dijalankan dengan teguh, bersama-sama," katanya.
Dengan kepemimpinan otoriter, kata Anies, pelanggaran hukum berpotensi terjadi. Akibatnya, peradaban manusia terancam. Padahal, fungsi pemerintah itu menegakan hukum yang telah disepakati warga.
Dalam kesempatan itu, Anies juga menyampaikan bantahanya bila cuma "menghadirkan" angka-angka saat debat gubernur putaran pertama. Menurutnya, dirinya hanya memaparkan temuan data yang relevan.
Misalnya saja ketika dirinya menerangkan 44 pos kewirausahaan (One Kecamatan One Center Entrepreneurship/OK OCE) dan 200 ribu pengusaha baru. Lalu, angka kemiskinan, pengangguran, dan pendididikan di Jakarta.
"Semua itu data yang relevan kok, bukan sekadar data yang berderet. penjelasannya bukan cuma menderetkan data sebagai bentuk presentasi. Namun, menggunakan narasi untuk mempresentasikan data dan angka tersebut," katanya.
(ysw)