Kilas Balik Kasus Kopi Sianida
A
A
A
JAKARTA - Awal tahun 2016 publik sedang ramai menyoroti kasus Chiropractic yang menimpa seorang gadis bernama Allya Siska Nadya (33). Tidak berselang lama, sebuah kasus baru yang awalnya dianggap sepele, kini menjadi perhatian seluruh kalangan.
Kasus kematian Wayan Mirna Salihin berawal pada tanggal 6 Januari 2016. Ia bersama Jessica Kumala Wongso dan Juwita Boon alias Hani pergi kongkow bersama di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta Pusat.
Siapa yang menyangka, hari itu menjadi hari terakhir bagi Jessica Kumala Wongso dan Juwita Boon alias Hani bertemu Mirna. Pasalnya, setelah menyeruput es kopi Vietnam, anak dari Darmawan Salihin itu mengalami sekarat dan akhirnya meninggal dunia.
Kematiannya yang mendadak membuat masyarakat bertanya-tanya mengenai motif dan siapa pembunuh Mirna yang sebenarnya. Proses persidangan kasus ini diliput banyak media nasional selama kurang lebih empat bulan. Berikut kilas balik dari kasus kopi sianida.
Rabu 6 Januari 2016, Mirna meninggal di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Ia diduga meninggal setelah menyeruput Es Kopi Vietnam yang dipesankan oleh Jessica.
Lalu Jumat 8 Januari 2016, keluarga Mirna menolak untuk melakukan autopsi pada jasad Mirna. Hal ini merupakan titik balik yang dipertanyakan oleh para penasihat hukum Jessica. Mereka menyebutkan bahwa sampel cairan lambung sebesar 10 cc tidak cukup kuat untuk bisa membuktikan kematian Mirna yang diduga meninggal akibat diracuni sianida. Sejumlah ahli toksikologi pun mengatakan, proses autopsi harus dilaksanakan untuk mengetahui penyebab matinya seseorang.
Pada Minggu 10 Januari 2016, jasad istri Arief Soemarko itu dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Gunung Gadung, Genteng, Bogor Selatan. Jessica terlihat tidak menghadiri pemakaman tersebut.
Di saat yang sama, Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Biddokkes) Polda Metro Jaya menyebutkan kematian yang tidak wajar dari jenazah Mirna, karena pada awalnya diduga meninggal karena serangan jantung.
Senin 11 Januari 2016, dipimpin oleh Kepala Sub Direktorat Jatanras AKBP Herry Heriawan, Kepolisian Polda Metro Jaya melakukan proses prarekonstruksi di Kafe Olivier.
Sehari setelahnya, Polda Metro Jaya menggeledah rumah Jessica untuk mencari barang bukti. Sejak saat itu, sosok Jessica mulai menjadi sorotan publik. Tak jarang, ia pun diminta menjadi pembicara di stasiun TV untuk menceritakan proses Mirna sekarat hingga meregang nyawa.
Pada Senin 18 Januari 2016, polisi mengungkapkan terdapat 15 gram kandungan sianida di dalam Es Vietnam Kopi yang diseruput Mirna. Sejak saat itu, pihak Polda Metro Jaya meningkatkan kasus kematian Mirna dari penyelidikan ke tingkat penyidikan.
Rabu 20 Januari 2016, kepolisian mencari barang bukti yang menjadi polemik pada kasus kematian Mirna, yakni celana Jessica. Celana itu diduga dibuang oleh pembantu Jessica bernama Sri Nurhayati karena sobek. Sri yang dianggap oleh para penasihat hukum sebagai saksi kunci tidak dipanggil sebagai saksi. Hal itu sangat disayangkan oleh mereka.
Kamis 21 Januari 2016, suami Mirna, Arief Soemarko bersama Darmawan Salihin dan Sandy Salihin diperiksa Polda Metro Jaya. Seminggu berselang pada Jumat 29 Januari 2016, kepolisian menetapkan Jessica sebagai tersangka pada kasus kematian Mirna. Ia dijerat dengan Pasal 340 KUHP subsider 338 KUHP tentang Pembunuhan Berencana dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Sabtu 30 Januari 2016, tepat 25 hari kematian Mirna, Jessica ditangkap di Hotel Neo, Mangga Dua Square pada sekira pukul 07.45 WIB. Saat berada di hotel diketahui ia bersama orangtuanya, petugas dari Polda Metro Jaya langsung membawanya untuk diperiksa.
Polisi pun menggelar secara tertutup proses rekonstruksi yang dihadiri langsung oleh Jessica, Minggu 7 Februari 2016. Di dalam nota pembelaannya (pledoi) yang dibacakan pada Rabu 14 Oktober 2016 lalu, dia mengungkapkan, menjalani rekonstruksi menjadi hal yang paling membuatnya hancur.
Selain mendapatkan tatapan sinis dari keluarga mendiang Mirna, dia mengaku juga mendapatkan hujatan dari masyarakat yang menyebutnya sebagai ‘Pembunuh Berdarah Dingin’.
Tak terima dengan apa yang dituduhkan kepadanya, Kamis 11 Februari 2016, melalui pengacaranya Andi Joesoef, Jessica mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Selasa, 1 Maret 2016, Hakim I Wayan Merta memutuskan untuk menolak gugatan praperadilan Jessica. Pertimbangan Wayan dalam keputusan itu didasari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang berisi penjelasan bahwa polisi hierarkis dalam bekerja.
"Diperoleh fakta, ada hubungan dan tanggung jawab secara hierarkis, dalam hal ini antara Polsek Tanah Abang dan Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Apabila dihubungkan dengan permohonan pemohon (Jessica), Mabes Polri cq (casu quo) Polda Metro Jaya cq Polsek Tanah Abang, sudah tepat dan benar," kata Wayan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Berdasarkan regulasi itu, Wayan juga menetapkan, proses penyelidikan, penyidikan, penahanan, dan pencekalan Jessica sebagai tersangka kasus kematian Wayan Mirna Salihin sudah sesuai dengan hukum acara pidana. Pernyataan itu dikeluarkan sekaligus untuk menjawab pokok permohonan pihak Jessica yang mengungkapkan bahwa penahanannya oleh kepolisian tidak sah.
Kamis 26 Mei 2016, Kejaksaan Tinggi DKI (Kejati) Jakarta menyatakan berkas Jessica P21 (lengkap), setelah lebih dari satu bulan, berkas tersebut tak kunjung lengkap. Kelengkapan berkas tersebut membuat perkara kasus kematian Mirna siap untuk disidangkan.
Saat itu, Direskrimum Polda Metro Jaya Kombes Pol Krishna Murti sempat menuai sejumlah komentar pedas. Hal itu lantaran, dia dianggap terlalu memaksakan kasus. Bahkan berdasarkan informasi, dia kerap bolak-balik ke Kajati untuk berkonsultasi agar seluruh berkas lengkap atau P21.
Kasus kematian Wayan Mirna Salihin berawal pada tanggal 6 Januari 2016. Ia bersama Jessica Kumala Wongso dan Juwita Boon alias Hani pergi kongkow bersama di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta Pusat.
Siapa yang menyangka, hari itu menjadi hari terakhir bagi Jessica Kumala Wongso dan Juwita Boon alias Hani bertemu Mirna. Pasalnya, setelah menyeruput es kopi Vietnam, anak dari Darmawan Salihin itu mengalami sekarat dan akhirnya meninggal dunia.
Kematiannya yang mendadak membuat masyarakat bertanya-tanya mengenai motif dan siapa pembunuh Mirna yang sebenarnya. Proses persidangan kasus ini diliput banyak media nasional selama kurang lebih empat bulan. Berikut kilas balik dari kasus kopi sianida.
Rabu 6 Januari 2016, Mirna meninggal di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Ia diduga meninggal setelah menyeruput Es Kopi Vietnam yang dipesankan oleh Jessica.
Lalu Jumat 8 Januari 2016, keluarga Mirna menolak untuk melakukan autopsi pada jasad Mirna. Hal ini merupakan titik balik yang dipertanyakan oleh para penasihat hukum Jessica. Mereka menyebutkan bahwa sampel cairan lambung sebesar 10 cc tidak cukup kuat untuk bisa membuktikan kematian Mirna yang diduga meninggal akibat diracuni sianida. Sejumlah ahli toksikologi pun mengatakan, proses autopsi harus dilaksanakan untuk mengetahui penyebab matinya seseorang.
Pada Minggu 10 Januari 2016, jasad istri Arief Soemarko itu dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Gunung Gadung, Genteng, Bogor Selatan. Jessica terlihat tidak menghadiri pemakaman tersebut.
Di saat yang sama, Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Biddokkes) Polda Metro Jaya menyebutkan kematian yang tidak wajar dari jenazah Mirna, karena pada awalnya diduga meninggal karena serangan jantung.
Senin 11 Januari 2016, dipimpin oleh Kepala Sub Direktorat Jatanras AKBP Herry Heriawan, Kepolisian Polda Metro Jaya melakukan proses prarekonstruksi di Kafe Olivier.
Sehari setelahnya, Polda Metro Jaya menggeledah rumah Jessica untuk mencari barang bukti. Sejak saat itu, sosok Jessica mulai menjadi sorotan publik. Tak jarang, ia pun diminta menjadi pembicara di stasiun TV untuk menceritakan proses Mirna sekarat hingga meregang nyawa.
Pada Senin 18 Januari 2016, polisi mengungkapkan terdapat 15 gram kandungan sianida di dalam Es Vietnam Kopi yang diseruput Mirna. Sejak saat itu, pihak Polda Metro Jaya meningkatkan kasus kematian Mirna dari penyelidikan ke tingkat penyidikan.
Rabu 20 Januari 2016, kepolisian mencari barang bukti yang menjadi polemik pada kasus kematian Mirna, yakni celana Jessica. Celana itu diduga dibuang oleh pembantu Jessica bernama Sri Nurhayati karena sobek. Sri yang dianggap oleh para penasihat hukum sebagai saksi kunci tidak dipanggil sebagai saksi. Hal itu sangat disayangkan oleh mereka.
Kamis 21 Januari 2016, suami Mirna, Arief Soemarko bersama Darmawan Salihin dan Sandy Salihin diperiksa Polda Metro Jaya. Seminggu berselang pada Jumat 29 Januari 2016, kepolisian menetapkan Jessica sebagai tersangka pada kasus kematian Mirna. Ia dijerat dengan Pasal 340 KUHP subsider 338 KUHP tentang Pembunuhan Berencana dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Sabtu 30 Januari 2016, tepat 25 hari kematian Mirna, Jessica ditangkap di Hotel Neo, Mangga Dua Square pada sekira pukul 07.45 WIB. Saat berada di hotel diketahui ia bersama orangtuanya, petugas dari Polda Metro Jaya langsung membawanya untuk diperiksa.
Polisi pun menggelar secara tertutup proses rekonstruksi yang dihadiri langsung oleh Jessica, Minggu 7 Februari 2016. Di dalam nota pembelaannya (pledoi) yang dibacakan pada Rabu 14 Oktober 2016 lalu, dia mengungkapkan, menjalani rekonstruksi menjadi hal yang paling membuatnya hancur.
Selain mendapatkan tatapan sinis dari keluarga mendiang Mirna, dia mengaku juga mendapatkan hujatan dari masyarakat yang menyebutnya sebagai ‘Pembunuh Berdarah Dingin’.
Tak terima dengan apa yang dituduhkan kepadanya, Kamis 11 Februari 2016, melalui pengacaranya Andi Joesoef, Jessica mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Selasa, 1 Maret 2016, Hakim I Wayan Merta memutuskan untuk menolak gugatan praperadilan Jessica. Pertimbangan Wayan dalam keputusan itu didasari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang berisi penjelasan bahwa polisi hierarkis dalam bekerja.
"Diperoleh fakta, ada hubungan dan tanggung jawab secara hierarkis, dalam hal ini antara Polsek Tanah Abang dan Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Apabila dihubungkan dengan permohonan pemohon (Jessica), Mabes Polri cq (casu quo) Polda Metro Jaya cq Polsek Tanah Abang, sudah tepat dan benar," kata Wayan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Berdasarkan regulasi itu, Wayan juga menetapkan, proses penyelidikan, penyidikan, penahanan, dan pencekalan Jessica sebagai tersangka kasus kematian Wayan Mirna Salihin sudah sesuai dengan hukum acara pidana. Pernyataan itu dikeluarkan sekaligus untuk menjawab pokok permohonan pihak Jessica yang mengungkapkan bahwa penahanannya oleh kepolisian tidak sah.
Kamis 26 Mei 2016, Kejaksaan Tinggi DKI (Kejati) Jakarta menyatakan berkas Jessica P21 (lengkap), setelah lebih dari satu bulan, berkas tersebut tak kunjung lengkap. Kelengkapan berkas tersebut membuat perkara kasus kematian Mirna siap untuk disidangkan.
Saat itu, Direskrimum Polda Metro Jaya Kombes Pol Krishna Murti sempat menuai sejumlah komentar pedas. Hal itu lantaran, dia dianggap terlalu memaksakan kasus. Bahkan berdasarkan informasi, dia kerap bolak-balik ke Kajati untuk berkonsultasi agar seluruh berkas lengkap atau P21.
(kri)