Ugal-Ugalan, Sopir Truk ALRI pun Ditampar Bang Ali (Bagian-2)

Minggu, 04 September 2016 - 05:44 WIB
Ugal-Ugalan, Sopir Truk...
Ugal-Ugalan, Sopir Truk ALRI pun Ditampar Bang Ali (Bagian-2)
A A A
BELUM lama dilantik jadi Gubernur DKI Jaya, Bang Ali melihat amburadulnya angkutan umum. Untuk mengetahui keadaan angkutan umum sebenarnya di lapangan ia pun dua hari keliling Jakarta naik bus kota.

Bang Ali rela kepanasan dan hujan-hujanan bahkan berdesakan dengan penumpang lainnya. Dari situ lah Letjen (pur) KKO itu melihat betapa runyamnya kondisi transportasi ibukota.

Dia juga merasakan betapa tidak enaknya naik angkutan umum. Tidak ada sistem. Orang bisa turun dan naik bus kota seenaknya, dimana saja. Tak ada terminal, orang menunggu bus kepanasan, orang menyeberang jalan dimana saja.

Bang Ali tak hanya melihat dengan mata kepala sendiri amburadulnya angkot. Tapi, di tengah orang berdesakan, orang berlarian serta bau apek, bau keringat dan kebrengsekan lalu lintas dan angkot, Bang Ali melakukan tanya jawab dengan para penumpang. Makanya, dia tahu apa saja yang mereka perlukan. Kesimpulannya, harus ada tempat orang menunggu bus.

Angkutan umum juga perlu diperbanyak. Bang Ali pun menghubungi Widjoyo Nitisatro dan Ali Wardhana di Bappenas untuk minta bantuan bus. Akhirnya Pemda DKI mendapat pinjaman dari Amerika.

Tahun 1967, Pemprov DKI bisa menambah 500 armada bus untuk angkutan umum. Meski kebutuhan ideal 2500 bus. Setelah itu, Pemda DKI membangun terminal bus di Lapangan Banteng, Blok M, Cililitan, Pulogadung, Kampung Rambutan, Grogol dan banyak bus shelter atau pemberhentian bus.

Setelah bus ditambah, Bang Ali mendapat laporan banyak oknum ABRI (kini TNI, red) tidak membayar saat naik bus. Kalau ditarik, kondektur ditinju bahkan diinjak sepatu laras dinas.

Bang Ali pun menegaskan, kalau anggota ABRI naik bus harus membayar seperti warga yang lain. Bang Ali juga memerintahkan Kepala Direktorat II DKI bersama sopir ke Kodam Jaya guna meminta perlindungan bagi sopir dari oknum ABRI yang nakal.

Mental sopir pengguna jalan di Jakarta pun banyak yang brengsek. Tebukti, ketika Bang Ali dalam perjalanan menuju Menteng Wadas hendak mengikuti upacara berpapasan sopir truk pasir milik tentara yang ugal-ugalan. Bang Ali tidak tahan dan menempeleng sopir tadi berulang kali.

Kemarahan Bang Ali dipicu truk bermuatann pasir delapan ton saat melintas di Jalan By Pass. Truk dengan seenaknya melaju di jalur tengah tanpa menghiraukan mobil-mobil di belakangnya. Meski di klakson berulang kali sopir bernomor polisi militer tak hirau.

Bang Ali yang kebetulan melintas menyuruh sopir ikut meng-klakson. Tapi, sopir truk tak hirau. Bang Ali naik pitam dan menyuruh sopir mengejar truk tadi. Bukannya menepi, truk berusaha kabur. Bang Ali makin geram saja.

Akhirnya, sopir Bang Ali bisa menyalip truk. Truk pun dengan seenaknya berhenti di tengah jalan. Bang Ali setengah berteriak minta sopir turun. "Truk siapa ini?" tanya Bang Ali. "Truk ALRI (TNI Angkatan Laut, red), Pak," jawab sopir. "Mana surat tugas dan SIM-mu," tanya Bang Ali lagi. "Apa saudara merasa tidak bersalah," tanya Bang Ali lagi. "Tidak Pak," jawabnya enteng. "Kan boleh jalan di kanan," tambah sopir tadi.

Darah Bang Ali kontan mendidih mendengar jawaban sopir tadi. Tiba-tiba. Plak! Tangan Bang Ali mendarat di pipi sopir tadi. "Kalau membawa muatan berat, apa boleh jalan di tengah," ujar Bang Ali setengah membentak. Plak! Tangan Bang Ali kembali mendarat di muka sopir tadi kali kedua sebelum sopir menjawabnya.

"Apa saudara tidak tahu, ini jalan jalur cepat. Mau seenaknya saja memakai jalan seperti jalanmu sendiri. Saudara tidak menghiraukan orang lain. Saudara memalukan ALRI. Saya juga dari ALRI," tukas Bang Ali seraya memperingatkan keras sopir tadi agar tidak mengulang perbuatannya. "Jadi ABRI jangan sembarangan!" ingat Bang Ali sebelum masuk mobil.

Di dalam mobil Bang Ali masih tampak kesal. Bersunggut-sunggut. "Dikira karena sudah ABRI, boleh semaunya. Malahan harus sebaliknya harus memberi contoh yang baik ke masyarakat. Terutama displin yang diperlukan semua bidang kehidupan," omel Bang Ali. Sepanjang jalan Bang Ali masih menujukkan sikap mangkel. Dongkol atas ulah sopir ALRI tadi.

Guna mengurangi angka kecelakaan dan membuat nyaman pemakai jalan, Bang Ali juga banyak membangun jembatan penyeberangan dan pemagaran jalan tertentu untuk kelancaran arus lalu lintas.

Bang Ali juga membenahi wilayah pingiran Jakarta. Meski jaraknya hanya belasan kilometer dari pusat kota Jakarta tapi kondisi dan lingkungan desa-desa yang banyak dihuni penduduk Jakarta asli yakni, Betawi tak ubahnya desa di luar Jakarta layaknya daerah pedalaman luar Jawa.

Kondisinya menggenaskan, masyarakatnya sangat terbelakang. Begitu juga kondisi sosial ekonominya layaknya daerah pedalaman. Para lurah umumnya buta huruf karena mereka umumnya bekas preman atau tukang pukul tuan tanah terdahulu. Makanya, begitu Bang Ali mendengarkan pidato seorang lurah bahasanya kacau balau. Hati Bang Ali pun kecut.

Belum lagi, banyak ditemukan penduduk mengindap penyakit lepra, anak busung lapar dengan perut membuncit, gusi merah dan mata melotot yang selalu mengerumuni rombongan Bang Ali yang sidak ke pinggiran Jakarta. Bang Ali pun membuat gebrakan dengan banyak mendirikan sekolah dan puskesmas di wilayah pinggiran.

Tak hanya itu, kondisi pasar di Jakarta begitu jorok dan kotor. Seperti Pasar Tanah Abang maupun Pasar Senen. Meski sudah pakai sepatu both, tapi cipratan lumpur tetap mengenai celana. Jangankan musim hujan, musim kemarau pun kondisi pasar becek dan kotor. Akhirnya, pemda DKI membentuk PD Pasar Jaya. Tugasnya mengelola perpasaran di Jakarta. Pasar yang semula jorok jadi bersih dan akhirnya bisa meningkatkan PAD DKI Jaya.

Tak kalah mendesaknya perbaikan kampung-kampung di pinggiran Jakarta yang saat itu terkenal joroknya.
Bang Ali pun ingat Kampung Duri, dekat kawasan Menteng. Kampung Duri begitu bersih. Bang Ali tahu persis karena setiap liburan sekolah pelayaran selalu menyempatkan mampir ke rumah pamannya di kawasan Bukit Duri.

Dari situ lah ide Bang Ali muncul untuk memperbaiki kampung di pinggiran Jakarta. Dari Pak Djumadjitin, ahli hukum Pemprov DKI, Bang Ali tahu bahwa Belanda sengaja menjadikan Bukit Duri sebagai koridor untuk kawasan Menteng yang saat itu dihuni orang-orang Belanda.

Koridor dibuat untuk mencegah masuknya penyakit dari luar ke Menteng. Pada tahun 1934 Pemerintah Belanda melancarkan apa yang dinamai kampung verbetering, atau perbaikan kampong. Salah satunya ya perbaikan Bukit Duri tadi.

Untuk mewujudkan perbaikan kampung Bang Ali bertemu Kepala Bappenas Widjoyo Nitisastro agar mendukung program Pemprov DKI. Tapi, gagasan Bang Ali ditolak karena bukan prioritas Bappenas. Mereka melihat perbaikan kampung tidak bisa mendatangkan uang. Bagi Bappenas yang lebih penting menekan tingkat inflasi dan mengobati ekonomi yang sakit. "Saya kecewa Bappenas," aku Bang Ali.

Namun Bang Ali tak putus asa. Meski tak didukung Bappenas, Pemprov tetap melakukan program perbaikan kampong yang dinamai Proyek Muhammad Husni Thamrin. MH Thamrin adalah pejuang Jakarta asli yang menuntut perbaikan kehidupan ekonomi warga Betawi di jaman penjajahan Belanda.

Sebagai awal, ditetapkan lima kampung dengan kondisi terjelek yang dihuni warga Jakarta asli. Diantaranya, Kampung Jawa, Kampung Kartini, Keagungan, Bali Matraman dan Pademangan.

Perbaikan meliputi, pembangunan jalan, perbaikan roil, jembatan, rehabilitasi, membangun MCK, sekolah, puskesmas dan bak sampah. Dari perbaikan kampong itu lah Bang Ali memacu warga Jakarta untuk sadar bernegara dan bermasyarakat.

Tak hanya itu Bang Ali juga ingin melestarikan budaya asli warga Betawi. Salah satunya melindungi daerah Condet sebagai wilayah cagar budaya guna melestarikan daerah yang terkenal buah-buahanya, khas Betawi dalam sikap budayanya.

Kampung Condet pun diberi aliran listrik, air bersih, fasiltas pengelolaan pertanian, perkebunan dan pertanian. Masyarakat Condet pun diberi keleluasaan mengembangkan diri selebar-lebarnya.

Seiring perbaikan seantero Jakarta, Pemprop DKI Jakarta mulai menerima tamu-tamu penting dari luar negeri yang berkunjung ke Indonesia. Seperti, PM Kanada Trudeu, Ratu Elisabeth II dari Inggris, Ratu Yuliana dari Belanda, PM India Indira Gandhi, dan tokoh penting dunia lainnya.

Sesuai amanat Bung Karno, Bang Ali diminta membangun Jakarta karena merupakan etalase Bangsa Indonesia. Hingga Jakarta bisa membanggakan Bangsa Indonesia di mata para tamu manca negara.

Karena itu, Bang Ali juga membenahi, memugar dan membangun museum sebagai upaya menjaga warisan budaya dan perjuangan Bangsa Indonesia. Kunjungan Bang Ali ke beberapa Negara Eropa, tepatnya Warsawa dan Amsterdam yang banyak melihat bangunan kuno dan museum yang masih terawat baik dan difungsikan. Seperti, di Warsawa.

Padahal, saat perang dunia (PD) ke II, gedung-gedung tua, museum hancur dibombardir Jerman yang meng-invasi Polandia. Tapi, begitu perang usai Polandia memperbaiki gedung dan museum yang hancur luarnya persis aslinya. Tapi, di dalam gedung diberi fasiltas modern hingga bisa difungsikan sebagai kantor pemerintahan. Begitu juga saat ke Amerika, Amsterdam dan kota dunia lainnya.

Dari situ lah Bang Ali terinspirasi memugar dan membangun museum. Antara lain, Gedung Kebangkitan Nasional, Gedung Sumpah pemuda, Gedung Joeang ’45, Gedung Arsip Nasional, Gedung Ek Depsos di Jalan KS Toeboen, Gedung Cut Mutiah, bangunan ek rumah MH Thamrin.

Juga melakukan pembagunan museum. Diantaranya, Museum Sejarah Jakarta, Museum Seni Rupa, Museum Dokumentasi HB Yassin, Museum wayang, Museum Tekstil, Museum Maritim, Museum Lubang Buaya, Museum A Yani, Museum Sejarah ABRI, Musuem Monumen Nasional (Monas).

Gebrakan Bang Ali dalam membangun Jakarta dari kampung besar yang kumuh menjadi kota metropolitan yang dananya diambilkan dari pajak judi yang dilegalkan mendapat apresiasi tak hanya dari dalam negeri. Tapi, juga luar negeri.

Salah satunya dari mantan Dubes Amerika untuk Indonesia Howard P Jones yang juga teman diskusi Bung Karno saat Howard bertugas di Jakarta.

Dalam bukunya Indonesia: the Possible Dream Jones yang diterima Bang Ali tahun 1969 dan diajak keliling ke kantor Pemprop DKI Jaya dan dijelaskan Bang Ali apa-apa yang sudah dilakukan Pemprop DKI. Tak hanya teman diskusi Bung Karno, Jones juga teman lama Bang Ali.

Makanya, begitu tiba di Jakarta, Jones langsung menelpon Bang Ali. "Anda, telah mengubah Jakarta ya? Bagaimana Anda lakukan itu," tanya Jones setengah tak percaya. Sebab, Jones tahu benar kondisi Jakarta yang semrawut, kumuh, acak-acakan sebelum Bang Ali menjabat Gubernur.

Bang Ali pun menjelaskan kepada Jones, apa-apa yang sudah dibangun dengan perantara peta, slides, dan lain-lain di ruangan rapat. Pertemuan itu ternyata melengkapi tulisan buku Jones. Tak lupa Jones menuliskanya bahwa Bang Ali sangat popular di Jakarta. Itu berdasarkan wawancara Jones kepada penduduk Jakarta tentang kepemimpinan Bang Ali. Tak heran dalam bukunya Foto Bang Ali disadingkan dengan Presiden Soeharto. (bersambung)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1295 seconds (0.1#10.140)