3 in 1 Dihapus atau Tidak, DKI Harus Siapkan Kebijakan Pendukung
A
A
A
JAKARTA - Penghapusan kawasan 3 in 1 oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dipastikan akan membuat kemacetan di Jakarta merata. Diberlakukan atau dihapus kawasan 3 in 1, Pemprov DKI harus segera membuat kebijakan pendukungnya, seperti penyediaan angkutan umum, park and ride serta sarana pejalan kaki.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Danang Parikesit mengatakan, dihapus atau diberlakukan, kebijakan 3 in 1 di Jakarta memang tidak efektif. Sebab, dalam Teori pola transportasi makro, untuk mengurai kemacetan harus ada pembatasan kendaraan baik berupa 3 in 1 ataupun Elektronik Road Pricing (ERP). Namun harus dilengkapi kebijakan pendukungnya.
"Nah, ini sudah enggak dipaksa, penyediaan angkutan umum dan park and ride-nya enggak ada. 3 in 1 itu enggak efektif karena tidak ada kebijakan pendukungnya. Jadi persoalanya bukan hapus atau berlaku, tapi kesiapan DKI untuk menyiapkan kebijakan pendukungnya," kata Danang Parikesit saat dihubungi, Rabu 11 Mei 2016.
Danang menuturkan, saat ini pengguna angkutan umum hanya sekitar 20 sampai 30% dari jumlah penduduk Jakarta. Idealnya, pengguna angkutan umum itu mencapai angka minimal 60% dan untuk mewujudkanya membutuhkan sedikitnya 6-8 ribu kendaraan angkutan umum yang baru, baik bus kecil, sedang ataupun besar di dalam kota Jakarta.
Angka tersebut bukan hanya di dalam koridor, melainkan berfungsi sebagai feeder Transjakarta. Sedangkan untuk angkutan umum ke mitra daerah yang terintegrasi dengan Transjakarta, lanjut dia, membutuhkan sedikitnya 15.000 unit.
Artinya, kata Danang, penambahan 400 bus dari Kementerian perhubungan (Kemenhub) yang beroperasi di dalam koridor Transjakarta dan 200 bus Transjabodetabek saat ini tidak akan berdampak. (Baca: Pemprov DKI Hapus Kebijakan 3 in 1)
"Teori darimana bila macet bertambah, pengendara pribadi akan beralih ke bus Transjakarta yang cuma nambah 400 di dalam koridor dan 200 Transjabodetabek. Orang pasti milih menggunakan kendaraan pribadi. Jadi saya prediksi kemacetan malah semakin merata ke jalur alternatif," tuturnya.
Dengan kemacetan yang merata tersebut, Danang menyatakan, perekonomian di lokasi segitiga emas (Sudirman-Thamrin) akan terganggu dan pendapatan asli daerah (PAD) DKI Jakarta akan menurun.
"Pola perjalanan sore hari yang akan semakin menjadi. Orang yang pulang kerja dengan orang yang berangkat kerja malam hari berbarengan. Petuga lalu lintas, baik polisi ataupun Dina perhubungan harus siap mengaturnya," pungkasya.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Danang Parikesit mengatakan, dihapus atau diberlakukan, kebijakan 3 in 1 di Jakarta memang tidak efektif. Sebab, dalam Teori pola transportasi makro, untuk mengurai kemacetan harus ada pembatasan kendaraan baik berupa 3 in 1 ataupun Elektronik Road Pricing (ERP). Namun harus dilengkapi kebijakan pendukungnya.
"Nah, ini sudah enggak dipaksa, penyediaan angkutan umum dan park and ride-nya enggak ada. 3 in 1 itu enggak efektif karena tidak ada kebijakan pendukungnya. Jadi persoalanya bukan hapus atau berlaku, tapi kesiapan DKI untuk menyiapkan kebijakan pendukungnya," kata Danang Parikesit saat dihubungi, Rabu 11 Mei 2016.
Danang menuturkan, saat ini pengguna angkutan umum hanya sekitar 20 sampai 30% dari jumlah penduduk Jakarta. Idealnya, pengguna angkutan umum itu mencapai angka minimal 60% dan untuk mewujudkanya membutuhkan sedikitnya 6-8 ribu kendaraan angkutan umum yang baru, baik bus kecil, sedang ataupun besar di dalam kota Jakarta.
Angka tersebut bukan hanya di dalam koridor, melainkan berfungsi sebagai feeder Transjakarta. Sedangkan untuk angkutan umum ke mitra daerah yang terintegrasi dengan Transjakarta, lanjut dia, membutuhkan sedikitnya 15.000 unit.
Artinya, kata Danang, penambahan 400 bus dari Kementerian perhubungan (Kemenhub) yang beroperasi di dalam koridor Transjakarta dan 200 bus Transjabodetabek saat ini tidak akan berdampak. (Baca: Pemprov DKI Hapus Kebijakan 3 in 1)
"Teori darimana bila macet bertambah, pengendara pribadi akan beralih ke bus Transjakarta yang cuma nambah 400 di dalam koridor dan 200 Transjabodetabek. Orang pasti milih menggunakan kendaraan pribadi. Jadi saya prediksi kemacetan malah semakin merata ke jalur alternatif," tuturnya.
Dengan kemacetan yang merata tersebut, Danang menyatakan, perekonomian di lokasi segitiga emas (Sudirman-Thamrin) akan terganggu dan pendapatan asli daerah (PAD) DKI Jakarta akan menurun.
"Pola perjalanan sore hari yang akan semakin menjadi. Orang yang pulang kerja dengan orang yang berangkat kerja malam hari berbarengan. Petuga lalu lintas, baik polisi ataupun Dina perhubungan harus siap mengaturnya," pungkasya.
()