Penggusuran DKI Ciptakan Masalah Sosial Baru
A
A
A
JAKARTA - Keengganan Pemprov DKI Jakarta dalam melakukan pendekatan terhadap penggusuran hanya menimbulkan masalah baru. Konflik sosial yang terjadi pascapenggusuran, merupakan imbas dari arogansi pemprov di bawah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Sosiolog UIN Syarif Hidayatulloh, Musni Umar, dialogis yang menjadi kunci dari mengatasi masalah, menjadi dikesampingkan demi mempersingkat waktu penyelesaian. Sementara tanpa adanya dialog, penyelesaian masalah malah menimbulkan masalah baru.
"Setiap penggusuran memang akan menimbulkan konflik dan masalah sosial baru, tapi bagaimana itu bisa membesar dan kecil. Tergantung bagaimana pemimpinnya," tutur Musni ketika dihubungi SINDO, Minggu (1/5/2016).
Melihat potensi konflik yang muncul, Musni menilai, masyarakat akan mendapat kerugian paling banyak. Selain dipastikan kehilangan tempat tinggal, sejumlah harta benda dan mental menjadi bermasalah melihat arogansi pemerintah. Apalagi dalam penertiban ini, polisi dan TNI akan dilibatkan untuk membantu petugas Satpol PP meratakan ratusan bangunan itu.
"Tak ada kepastian dan perencanaan pada kawasan Luar Batang. Pemprov yang mengkesampingkan dialog akan menciptakan permusuhan antara warga dan pemimpin," jelasnya.
Kesenjangan sosial pun akan muncul di kawasan itu, sekalipun pemprov telah melakukan penataan pemukiman warga, dan memindahkannya dari kawasan vertikal ke horizontal. Ia menilai langkah ini, sama saja dengan mengkotak-kotakan masyarakat kecil dengan masyarakat atas.
"Tidak ada yang ditingkatkan. Perubahan tempat tinggal akan mengubah ekonomi, budaya, cara pandang," tuturnya.
Terlebih dalam hal ini, Musni menilai penggusuran maupun relokasi yang dilakukan Ahok hanya membuat masyarakat semakin sengsara, kehidupan ekonomi harus diubah pendapatan pun harus disesuaikan dengan jarak tempuh. Sementara bila tak memiliki uang, konsekuensinya masyarakat akan diusir dari unit rusunawa yang sebelumnya menjadi haknya.
Sosiolog UIN Syarif Hidayatulloh, Musni Umar, dialogis yang menjadi kunci dari mengatasi masalah, menjadi dikesampingkan demi mempersingkat waktu penyelesaian. Sementara tanpa adanya dialog, penyelesaian masalah malah menimbulkan masalah baru.
"Setiap penggusuran memang akan menimbulkan konflik dan masalah sosial baru, tapi bagaimana itu bisa membesar dan kecil. Tergantung bagaimana pemimpinnya," tutur Musni ketika dihubungi SINDO, Minggu (1/5/2016).
Melihat potensi konflik yang muncul, Musni menilai, masyarakat akan mendapat kerugian paling banyak. Selain dipastikan kehilangan tempat tinggal, sejumlah harta benda dan mental menjadi bermasalah melihat arogansi pemerintah. Apalagi dalam penertiban ini, polisi dan TNI akan dilibatkan untuk membantu petugas Satpol PP meratakan ratusan bangunan itu.
"Tak ada kepastian dan perencanaan pada kawasan Luar Batang. Pemprov yang mengkesampingkan dialog akan menciptakan permusuhan antara warga dan pemimpin," jelasnya.
Kesenjangan sosial pun akan muncul di kawasan itu, sekalipun pemprov telah melakukan penataan pemukiman warga, dan memindahkannya dari kawasan vertikal ke horizontal. Ia menilai langkah ini, sama saja dengan mengkotak-kotakan masyarakat kecil dengan masyarakat atas.
"Tidak ada yang ditingkatkan. Perubahan tempat tinggal akan mengubah ekonomi, budaya, cara pandang," tuturnya.
Terlebih dalam hal ini, Musni menilai penggusuran maupun relokasi yang dilakukan Ahok hanya membuat masyarakat semakin sengsara, kehidupan ekonomi harus diubah pendapatan pun harus disesuaikan dengan jarak tempuh. Sementara bila tak memiliki uang, konsekuensinya masyarakat akan diusir dari unit rusunawa yang sebelumnya menjadi haknya.
(mhd)