Pengamat: Kasus RS Sumber Waras Sudah Akumulatif
A
A
A
JAKARTA - Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan kasus RS Sumber Waras merupakan momen terkuaknya polarisasi pejabat dan pengusaha (Pepeng) di Jakarta.
"Ada beberapa poin. Bahwa kasus ini sebetulnya merupakan satu momen terkuaknya polarisasi pepeng di DKI Jakarta. Siapa bermain apa, siapa berperan apa, siapa mendapat apa, motivasinya apa, mulai terkuak," kata Siti di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (19/4/2016).
Siti menjelaskan alasan kasus Sumber Waras mulai terkuak. Menurutnya hal ini sudah sangat akumulatif dan ujung-ujungnya ada kaitan dengan Pilkada DKI.
"Kasusnya sudah akumulatif dan ujung-ujungnya menurut saya ternyata pilkada memerlukan biaya yang mahal. Banyak sekali daerah-daerah yang memiliki sumber daya yang bagus melakukan sistim ijon dalam pilkada," tambahnya.
Akibat dari adanya keterlibatan antara pengusaha dan pejabat itu, sistem ijon digunakan mendekati Pilkada.
"Jadi dia enggak mengeluarkan modal tetapi dia harus memberikan konsesi-konsesi jauh sebelum pilkada terjadi itu yang harusnya dilakukan daerah-daerah yang sumbernya kaya," tuturnya.
Siti menjelaskan, hal itu dilatarbelakangi biaya untuk mengikuti Pilkada terlalu mahal. "Oh iya, meminta bantuan untuk mendanai. Nah ini yang ujung-ujungnya karena pilkada kita mahal," tegasnya.
Menurutnya peran pengusaha dalam menyukseskan sebuah pilkada sangat diperlukan bahkan berperan sangat central.
"Koorporasi yang tadi disebutkan itu berperan sangat central, sangat dominan karena pilkada ternyata sangat tergantung pada peran pemodal. Peran pemodal disini sangat penting. Pilkada terkesan menjadi tidak seru tanpa adanya pemodal," tutupnya.
"Ada beberapa poin. Bahwa kasus ini sebetulnya merupakan satu momen terkuaknya polarisasi pepeng di DKI Jakarta. Siapa bermain apa, siapa berperan apa, siapa mendapat apa, motivasinya apa, mulai terkuak," kata Siti di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (19/4/2016).
Siti menjelaskan alasan kasus Sumber Waras mulai terkuak. Menurutnya hal ini sudah sangat akumulatif dan ujung-ujungnya ada kaitan dengan Pilkada DKI.
"Kasusnya sudah akumulatif dan ujung-ujungnya menurut saya ternyata pilkada memerlukan biaya yang mahal. Banyak sekali daerah-daerah yang memiliki sumber daya yang bagus melakukan sistim ijon dalam pilkada," tambahnya.
Akibat dari adanya keterlibatan antara pengusaha dan pejabat itu, sistem ijon digunakan mendekati Pilkada.
"Jadi dia enggak mengeluarkan modal tetapi dia harus memberikan konsesi-konsesi jauh sebelum pilkada terjadi itu yang harusnya dilakukan daerah-daerah yang sumbernya kaya," tuturnya.
Siti menjelaskan, hal itu dilatarbelakangi biaya untuk mengikuti Pilkada terlalu mahal. "Oh iya, meminta bantuan untuk mendanai. Nah ini yang ujung-ujungnya karena pilkada kita mahal," tegasnya.
Menurutnya peran pengusaha dalam menyukseskan sebuah pilkada sangat diperlukan bahkan berperan sangat central.
"Koorporasi yang tadi disebutkan itu berperan sangat central, sangat dominan karena pilkada ternyata sangat tergantung pada peran pemodal. Peran pemodal disini sangat penting. Pilkada terkesan menjadi tidak seru tanpa adanya pemodal," tutupnya.
(ysw)