Sosiolog UI: Kehadiran Polisi untuk Penggusuran Kurang Pas
A
A
A
JAKARTA - Bentrok antara aparat keamanan dengan warga di Kampung Pulo, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu masih disesalkan sejumlah kalangan. Aparat keamanan seperti Polri pun seharusnya menjadi penengah bukan ikut terlibat bentrok tersebut.
Sosiolog dari Universitas Indonesia Devie Rachmawati mengatakan, bentrokan lalu sebenarnya dapat dihindari bila pemerintah menerapkan komunikasi persuasif dalam mendampingi warga. Prinsip dalam komunikasi ialah 3 C (content, context dan channel).
Sebenarnya berdasarkan penuturan warga dan bukti empiris kepindahan sebagian besar warga, secara maksud dan tujuan dipahami dan disepakati oleh warga.
"Hanya saja karena saluran komunikasi dan konteksnya tidak pas. Saluran komunikasi yang saya maksudkan ialah bagaimana Pemprov tidak menggunakan saluran informal yang lebih intensif dengan warga," kata Devie saat dihubungi Sindonews, Kamis 27 Agustus 2015 kemarin.
Devie menambahkan, konteksnya yang dimaksud ialah kehadiran aparat keamanan yang eksesif sepertinya kurang pas dengan kondisi Jakarta yang tidak dalam kondisi darurat. Berdasarkan teori difusi inovasi yang teruji, lanjut Devie, dalam setiap inovasi kebijakan, maka biasanya akan ada sekitar 16-20% jumlah masyarakat yang resisten terhadap perubahan.
Oleh karenanya kalau pemerintah sudah lebih awal "turun gunung" komunikasi dari hati ke hati. Maka sudah dapat dipetakan kelompok masyarakat yang perlu didampingi lebih intensif. Sehingga ketika hari H pelaksanaan, seluruh masyarakat sudah siap dan tinggal dibantu kebutuhan teknis untuk relokasi seperti truk, tim pengangkutan dan sebagainya.
"Bayangkan bila petugas keamanan hadir bukan sebagai tim yang berhadapan dengan warga, tapi justru menjadi tim pendampingan kepindahan warga, tentu saja pemandangan yang sejuk di media," tutupnya.
Sosiolog dari Universitas Indonesia Devie Rachmawati mengatakan, bentrokan lalu sebenarnya dapat dihindari bila pemerintah menerapkan komunikasi persuasif dalam mendampingi warga. Prinsip dalam komunikasi ialah 3 C (content, context dan channel).
Sebenarnya berdasarkan penuturan warga dan bukti empiris kepindahan sebagian besar warga, secara maksud dan tujuan dipahami dan disepakati oleh warga.
"Hanya saja karena saluran komunikasi dan konteksnya tidak pas. Saluran komunikasi yang saya maksudkan ialah bagaimana Pemprov tidak menggunakan saluran informal yang lebih intensif dengan warga," kata Devie saat dihubungi Sindonews, Kamis 27 Agustus 2015 kemarin.
Devie menambahkan, konteksnya yang dimaksud ialah kehadiran aparat keamanan yang eksesif sepertinya kurang pas dengan kondisi Jakarta yang tidak dalam kondisi darurat. Berdasarkan teori difusi inovasi yang teruji, lanjut Devie, dalam setiap inovasi kebijakan, maka biasanya akan ada sekitar 16-20% jumlah masyarakat yang resisten terhadap perubahan.
Oleh karenanya kalau pemerintah sudah lebih awal "turun gunung" komunikasi dari hati ke hati. Maka sudah dapat dipetakan kelompok masyarakat yang perlu didampingi lebih intensif. Sehingga ketika hari H pelaksanaan, seluruh masyarakat sudah siap dan tinggal dibantu kebutuhan teknis untuk relokasi seperti truk, tim pengangkutan dan sebagainya.
"Bayangkan bila petugas keamanan hadir bukan sebagai tim yang berhadapan dengan warga, tapi justru menjadi tim pendampingan kepindahan warga, tentu saja pemandangan yang sejuk di media," tutupnya.
(whb)