Ekky Pitung: Warga Kampung Pulo Pindah ke Rusun karena Diintimidasi
A
A
A
JAKARTA - Pindahnya sebagian warga Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur ke rumah susun (rusun), lantaran adanya intimidasi.
Salah satu tokoh Kampung Pulo, RW 08, Ekky Pitung mengatakan, penertiban yang dilakukan oleh Ahok itu sejatinya telah menzalimi masyarakat Kampung Pulo. Sebab, pada Desember 2012, saat Jokowi masih menjadi Gubernur DKI dan Ahok menjadi wakilnya, masyarakat dijanjikan tidak ada satu jengkal tanah pun yang tidak diganti rugi apabila dilakukan penertiban guna normalisasi Kali Ciliwung.
"Jokowi janjikan semua akan diganti rugi. Lalu, ada pengukuran tanah dan bangunan saat itu. Seiring Jokowi jadi Presiden dan Ahok jadi Plt Gubernur, saya enggak habis pikir, kok dia gunakan Pergub 190 (190 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Santunan kepada Penggarap Tanah Negara). Entah dia pengen (dapatkan tanah) gratis atau akal-akalan dia, lalu dikumpulkan lagi warga Kampung Pulo," ujarnya di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Sabtu (22/8/2015).
Saat itu, kata Ekky, warga yang memiliki sertifikat dan girik dijanjikan mendapat 25 persen. Hanya saja, tiba-tiba warga mendapatkan surat peringatan (SP) 1 yang berisi pengosongan lahan tanpa adanya penggantian.
"Di situ pemicunya. Kok warga selalu diimingi janji palsu saja. Padahal, tanah milik warga itu diakui BPN yang bisa dijualbelikan oleh pemiliknya. Dia (Ahok) bilang cinta konstitusi, tapi kok dia juga yang ajarkan untuk tidak patuh konstitusi. SP 2 turun, warga Kampung Pulo dipanggil lagi sama Ahok dengan catatan tidak boleh ada tanya jawab. Persis monolog saja," terangnya.
Menurut pria yang dikenal sebagai keturunan tokoh legendaris Betawi si Pitung itu, warga ditekankan untuk tidak akan diberikan penggantian. Hingga akhirnya, saat SP 3 diterima, warga memilih untuk bertahan di tanah kelahirannya itu daripada harus pindah tanpa diberikan hak-haknya selaku warga negara Indonesia yang memiliki sertifikat tanah dan diakui oleh Badan Pertanahan Nasional
"Turun SP 3 hingga akhirnya memanas dengan seruan bertahan di tanah kelahirannya itu. Apalagi, yang ditakuti dengan adanya ribuan polisi dan Satpol PP. Semua mencekam dengan eksekusi hadirnya backhoe di Kampung Pulo," paparnya.
Lalu, papar warga yang rumahnya pun akan terkena gusuran itu, pada Kamis 20 Agustus kemarin, terjadinya penggusuran disertai kericuhan. Namun, dia memastikan warga Kampung Pulo tidak ada satu pun yang membawa senjata tajam.
"Saat itu hanya timpukan batu, tapi opininya seolah warga Kampung Pulo anarkis dan warga liar."
Dia pun menambahkan, lantaran ketatnya penjagaan dan pengamanan penggusuran, warga mulai semakin resah dan ketakutan hingga akhirnya sebagian warga memilih untuk pindah ke rusun dengan terpaksa.
"Warga pindah ke rusun itu pun karena ada tekanan dan intimidasi akibat ribuan polisi dilengkapi senjata lengkap. Mereka ketakuan dan akhirnya keluar. Tapi, sebagian masih ada di pinggiran gusuran. Kami minta agar Pemda memberikan biaya yang sesuai, ini murni warga menuntut haknya," pungkasnya.
Salah satu tokoh Kampung Pulo, RW 08, Ekky Pitung mengatakan, penertiban yang dilakukan oleh Ahok itu sejatinya telah menzalimi masyarakat Kampung Pulo. Sebab, pada Desember 2012, saat Jokowi masih menjadi Gubernur DKI dan Ahok menjadi wakilnya, masyarakat dijanjikan tidak ada satu jengkal tanah pun yang tidak diganti rugi apabila dilakukan penertiban guna normalisasi Kali Ciliwung.
"Jokowi janjikan semua akan diganti rugi. Lalu, ada pengukuran tanah dan bangunan saat itu. Seiring Jokowi jadi Presiden dan Ahok jadi Plt Gubernur, saya enggak habis pikir, kok dia gunakan Pergub 190 (190 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Santunan kepada Penggarap Tanah Negara). Entah dia pengen (dapatkan tanah) gratis atau akal-akalan dia, lalu dikumpulkan lagi warga Kampung Pulo," ujarnya di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Sabtu (22/8/2015).
Saat itu, kata Ekky, warga yang memiliki sertifikat dan girik dijanjikan mendapat 25 persen. Hanya saja, tiba-tiba warga mendapatkan surat peringatan (SP) 1 yang berisi pengosongan lahan tanpa adanya penggantian.
"Di situ pemicunya. Kok warga selalu diimingi janji palsu saja. Padahal, tanah milik warga itu diakui BPN yang bisa dijualbelikan oleh pemiliknya. Dia (Ahok) bilang cinta konstitusi, tapi kok dia juga yang ajarkan untuk tidak patuh konstitusi. SP 2 turun, warga Kampung Pulo dipanggil lagi sama Ahok dengan catatan tidak boleh ada tanya jawab. Persis monolog saja," terangnya.
Menurut pria yang dikenal sebagai keturunan tokoh legendaris Betawi si Pitung itu, warga ditekankan untuk tidak akan diberikan penggantian. Hingga akhirnya, saat SP 3 diterima, warga memilih untuk bertahan di tanah kelahirannya itu daripada harus pindah tanpa diberikan hak-haknya selaku warga negara Indonesia yang memiliki sertifikat tanah dan diakui oleh Badan Pertanahan Nasional
"Turun SP 3 hingga akhirnya memanas dengan seruan bertahan di tanah kelahirannya itu. Apalagi, yang ditakuti dengan adanya ribuan polisi dan Satpol PP. Semua mencekam dengan eksekusi hadirnya backhoe di Kampung Pulo," paparnya.
Lalu, papar warga yang rumahnya pun akan terkena gusuran itu, pada Kamis 20 Agustus kemarin, terjadinya penggusuran disertai kericuhan. Namun, dia memastikan warga Kampung Pulo tidak ada satu pun yang membawa senjata tajam.
"Saat itu hanya timpukan batu, tapi opininya seolah warga Kampung Pulo anarkis dan warga liar."
Dia pun menambahkan, lantaran ketatnya penjagaan dan pengamanan penggusuran, warga mulai semakin resah dan ketakutan hingga akhirnya sebagian warga memilih untuk pindah ke rusun dengan terpaksa.
"Warga pindah ke rusun itu pun karena ada tekanan dan intimidasi akibat ribuan polisi dilengkapi senjata lengkap. Mereka ketakuan dan akhirnya keluar. Tapi, sebagian masih ada di pinggiran gusuran. Kami minta agar Pemda memberikan biaya yang sesuai, ini murni warga menuntut haknya," pungkasnya.
(zik)