FSGI Usulkan Pemprov DKI Membangun Ruang Kelas dan Sekolah Baru
loading...
A
A
A
JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengkritisi jalan keluar untuk sengkarut penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang diberikan Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta . Pembukaan pendaftaran baru dengan berbasis rukun warga (RW) dinilai tidak cukup mengakomodasi siswa yang tidak bisa masuk melalui jalur zonasi sebelumnya.
Wasekjen FSGI Satriwan Salim mengatakan, pihaknya memang mengusulkan adanya penambahan jumlah siswa per kelas untuk jenjang sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). PPDB DKI tahun menimbulkan kekisruhan karena mengutamakan usia yang lebih tua di jalur zonasi.
Satriwan mengungkapkan, penambahan kuota siswa per kelas itu hanya untuk solusi jangka pendek dan mengakomodasi siswa yang “terpental” karena usianya lebih mudah. Selain itu, FSGI mengusulkan perpanjangan pendaftaran jalur zonasi.
“Tapi ketika basis pendaftarannya adalah zonasi berdasarkan RW bukan kelurahan, ini justru akan menjadi masalah baru. Sebab, tak semua RW memiliki sekolah negeri, khususnya SMP dan SMA. Kecuali taman bermain, memang banyak,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Minggu (5/7/2020).
FSGI mendesak Disdik DKI melakukan pendataan secara detail berapa jumlah siswa yang usianya muda tersingkir pada pembukaan jalur zonasi di tahap awal. Pemetaan ini sangat penting untuk dibandingkan dengan ketersediaan rombongan belajar (rombel) setelah ditambah empat siswa per kelas.
Sengkarut ini memang tidak boleh berkepanjangan karena yang akan jadi korban anak-anak sebagai generasi bangsa. Pemprov DKI harus merancang solusi jangka panjang. (Baca: Besok, Pendaftaran PPDB Jalur Zonasi RW di Jakarta Dibuka)
“Solusi jangka panjang bagi persoalan PPDB DKI Jakarta adalah menambah jumlah kelas di satu sekolah. Selain itu, membangun sekolah negeri baru khususnya SMA dan SMK adalah solusi terbaik. Dalam lima tahun terakhir, DKI memang tidak membangun SMA negeri yang baru,” pungkasnya.
Wasekjen FSGI Satriwan Salim mengatakan, pihaknya memang mengusulkan adanya penambahan jumlah siswa per kelas untuk jenjang sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). PPDB DKI tahun menimbulkan kekisruhan karena mengutamakan usia yang lebih tua di jalur zonasi.
Satriwan mengungkapkan, penambahan kuota siswa per kelas itu hanya untuk solusi jangka pendek dan mengakomodasi siswa yang “terpental” karena usianya lebih mudah. Selain itu, FSGI mengusulkan perpanjangan pendaftaran jalur zonasi.
“Tapi ketika basis pendaftarannya adalah zonasi berdasarkan RW bukan kelurahan, ini justru akan menjadi masalah baru. Sebab, tak semua RW memiliki sekolah negeri, khususnya SMP dan SMA. Kecuali taman bermain, memang banyak,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Minggu (5/7/2020).
FSGI mendesak Disdik DKI melakukan pendataan secara detail berapa jumlah siswa yang usianya muda tersingkir pada pembukaan jalur zonasi di tahap awal. Pemetaan ini sangat penting untuk dibandingkan dengan ketersediaan rombongan belajar (rombel) setelah ditambah empat siswa per kelas.
Sengkarut ini memang tidak boleh berkepanjangan karena yang akan jadi korban anak-anak sebagai generasi bangsa. Pemprov DKI harus merancang solusi jangka panjang. (Baca: Besok, Pendaftaran PPDB Jalur Zonasi RW di Jakarta Dibuka)
“Solusi jangka panjang bagi persoalan PPDB DKI Jakarta adalah menambah jumlah kelas di satu sekolah. Selain itu, membangun sekolah negeri baru khususnya SMA dan SMK adalah solusi terbaik. Dalam lima tahun terakhir, DKI memang tidak membangun SMA negeri yang baru,” pungkasnya.
(hab)