Catatan PPDB 2020, Sampai Kapan Korban Sistem Harus Gigit Jari?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Antrean panjang pengambilan nomor urut untuk membeli formulir pendaftaran peserta didik baru (PPDB) cukup menyita perhatian, Rabu (1/7/2020). Tepat pukul 12.15 WIB antrean pengambilan nomor sudah mencapai urutan 41. Sekolah tingkat menengah atas (SMA) swasta di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, ini ternyata sama padatnya dengan sekolah swasta lain di kawasan Ciputat dan Pondok Karya, Tangerang Selatan (Tangsel).
Banyak orang tua dan calon siswa mengantre untuk membeli formulir offline karena PPDB online yang diselenggarakan di sekolah swasta tersebut telah selesai proses seleksi, Maret lalu. Sekolah swasta yang masih membuka pendaftaran offline merupakan sekolah yang ingin memenuhi target kuota daya tampung siswa Tahun Ajaran 2020/2021.
Rabu itu menjadi hari yang begitu panjang bagi kebanyakan orang tua murid yang anaknya ingin masuk SMA, termasuk saya. Pengumuman PPDB wilayah Kota Tangerang Selatan yang diumumkan pada Selasa (30/6/2020) pukul 20.00 WIB cukup menguras pikiran dan energi. (Baca: Perlu Solusi Cepat Atasi Kisruh PPDB DKI)
Perubahan kebijakan penerimaan calon siswa dari seleksi berbasis nilai ujian nasional (NUN) ke sistem zonasi, afirmasi, inklusi, pindahan orang tua/wali dan prestasi otomatis mengubah semua rencana matang para calon siswa. Bila sebelumnya melalui NUN siswa juga dapat mengukur sekolah mana yang memiliki passing grade sesuai dengan hasil NUN dan memiliki keleluasaan untuk langsung mendaftar ke sekolah tujuan sesuai zonasi yang ditentukan, mulai Tahun Ajaran 2020/2021 calon siswa harus benar-benar mengukur murni jarak zonasi dari rumah ke sekolah. Mereka mengabaikan nilai hasil ujian sekolah. Di sinilah nasib keberuntungan calon siswa berubah.
Perlu diingat, tidak semua calon siswa tinggal dekat sekolah. Karena pemerintah provinsi hanya membangun sekolah-sekolah negeri di kawasan tertentu. Memang, masing-masing kecamatan memiliki sekolah negeri untuk tingkat SD, SMP, dan SMA. Namun jumlah sekolah tersebut tidaklah banyak dan mencukupi. Bahkan di tingkat kecamatan, hanya ada 1-2 sekolah untuk tingkat SMA. Padahal, cakupan perumahan setiap kecamatan memiliki radius yang cukup jauh hingga mencapai 8-10 km lebih. Hal inilah yang membuat kekhawatiran calon siswa apakah dapat menembus sistem zonasi bagi mereka yang memiliki tempat tinggal lebih dari 1,5 km dengan sekolah yang dituju.
Kecemasan calon siswa dan para orang tua terbukti nyata. Pengumuman pada Selasa (30/6/2020) malam menjadi bencana para calon siswa yang mengikuti PPDB Kota Tangerang Selatan. Pengumuman di website sekolah sebagian berupa lembaran scan hasil keputusan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemerintah Provinsi Banten dengan lampiran daftar peserta didik yang diterima. Dalam pengumuman itu juga ditampilkan jarak sekolah ke rumah calon peserta.
Terlihat calon siswa yang diterima rata-rata berjarak tak lebih dari 1,3 km dari rumahnya. Bahkan ada sekolah yang mengumumkan jarak terjauh lokasi sekolah dengan rumah calon siswanya hanya 914 meter. Porsi 50% yang diperebutkan untuk zonasi hanya ditempati oleh calon siswa yang rumahnya berjarak puluhan meter dan terjauh rata-rata mencapai ratusan meter. Lalu bagaimana nasib calon siswa di kecamatan tersebut yang lebih dari 1,5 km atau lebih? (Baca juga: Usia Calon Siswa Jadi Prioritas PPDb Bertentangan dengan Permendikbud)
Teringat kembali ucapan salah seorang panitia SMA negeri di wilayah Kota Tangsel saat melakukan verifikasi calon siswa. Panitia tersebut menjawab dengan jelas pertanyaan salah satu orang tua calon siswa. Apakah memungkinkan sistem zonasi menerima siswa yang jaraknya 2,5 km dari sekolah yang dituju? Panitia yang juga merupakan seorang pendidik di sekolah itu menjawab singkat, “Ya berdoa saja, mudah-mudahan masih bisa dapat jarak segitu.”
Kalimat itu menyisakan banyak pertanyaan. Tentu karena didasari padatnya penduduk di wilayah Kecamatan Pondok Aren, Tangsel, yang mencakup hingga pinggiran perbatasan wilayah Jakarta Selatan (Pesanggrahan-Bintaro). Selain itu saingan calon peserta didik juga tidak sedikit, sedangkan kapasitas kuota sangat terbatas. Rata-rata SMA negeri hanya menampung 200-an sampai 300-an siswa.
Selain sistem zonasi, orang tua calon siswa tersebut juga menanyakan apakah memungkinkan masuk melalui jalur prestasi? Panitia tersebut menjelaskan, bila masuk melalui jalur prestasi di wilayah Tangsel, calon siswa harus memiliki prestasi lain di bidang nonakademik. Syarat ini cukup memberatkan karena tak semua siswa mengikuti kegiatan nonakademik dan bisa menjadi juara tingkat sekolah, daerah, ataupun tingkat nasional. Nilai rapor semester 1-5 yang menjadi rujukan mencari sekolah bagi peserta didik di wilayah Tangsel hanya dapat berlaku untuk memperebutkan kursi 5% melalui PPDB DKI Jakarta. Tetapi, itu pun harus bermodalkan keikhlasan bila tidak diterima, karena kuota 5% nonprovinsi pada jalur prestasi akademik PPDB DKI hanya menyediakan rata-rata 10-12 kursi untuk kelas IPA dan IPS. (Baca juga: Pemerintahan Prancis Bubar, Macron Ingin Terus Berkuasa)
Jauh dari Harapan
Sistem zonasi yang diberlakukan pemerintah nyata-nyata tidak memberikan harapan besar bagi para calon siswa untuk masuk sekolah negeri. Jika jarak 1 km saja tetap gagal sekolah negeri, ini tentu fenomena yang menyesakkan dada.
Dari fakta ini, pemerintah tampak belum memetakan jelas kesiapan infrastruktur sekolah dengan padatnya jumlah penduduk yang memiliki siswa produktif. Praktis, sistem zonasi yang diberlakukan ini hanya menguntungkan calon siswa yang memiliki kartu keluarga berjarak kurang 1 km dari kawasan sekolah. Calon siswa yang memiliki rumah dengan jarak lebih dari itu pun akhirnya hanya bisa gigit jari. Padahal, tak semua orang tua mampu menyekolahkan anaknya di sekolah swasta.
Sistem baru zonasi masih menyisakan persoalan besar. Ada keadilan-keadilan yang tercederai. Ada hak-hak rakyat yang terampas. Untuk itu, pemerintah jangan abai dengan keresahan dan kebingungan yang dirasakan masyarakat ini. (Baca juga: Bayi Kembar Baru Lahir Tewas Diterkan 2 Anjing Peliharaan yang Cemburu)
Orang tua patut resah. Sebab, semua orang tua berkeinginan menjadikan anaknya pintar dengan biaya pendidikan yang lebih terjangkau. Untuk itu, ikhtiar masuk sekolah negeri adalah sebuah harapan besar.
Nyatanya, saat ini, modal pintar saja ternyata tidak cukup. Zonasi memberi bukti bahwa rumah tidak boleh jauh-jauh dari sekolah. Model zonasi mungkin bisa efektif jika pemerintah daerah sudah mampu membangun sekolah-sekolah negeri baru untuk tiap kecamatan yang mempertimbangkan jarak di masing-masing tingkatan.
Keadilan bidang pendidikan yang ingin dicapai pemerintah sebagaimana lewat Permendikbud Nomor 44/2019 Pasal 25 (1) tentang seleksi calon peserta didik baru kelas 7 (SMP) dan kelas 10 (SMA) dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam wilayah zonasi yang ditetapkan, sulit tercapai selama infrastruktur sekolah tidak terpenuhi. Di wilayah Kota Tangerang Selatan, misalnya, sekolah-sekolah negeri belum sepenuhnya merata dan yang tersedia cukup banyak adalah sekolah-sekolah swasta. (Lihat videonya: Modus Baru Napi Asimilasi Masuk Hotel Incar HP)
Bila sistem zonasi ini terus diberlakukan pemerintah ke depan, bukankah justru akan membuat orang tua dan calon siswa bingung. Bagi yang berusaha keras, bisa jadi mereka akan menggunakan berbagai siasat agar diterima, termasuk pindah rumah sejak dini atau menumpang kartu keluarga (KK). Sebaliknya, bagi yang pasrah karena lokasi jauh dari sekolah negeri, maka harus siap-siap menyiapkan uang cukup karena kemungkinan besar hanya bisa masuk sekolah swasta. Bagi yang tak memiliki dana cukup ke swasta, tentu masalah yang dihadapi kian rumit lagi. Saatnya pemerintah mengevaluasi zonasi. (Rarasati Syarief)
Banyak orang tua dan calon siswa mengantre untuk membeli formulir offline karena PPDB online yang diselenggarakan di sekolah swasta tersebut telah selesai proses seleksi, Maret lalu. Sekolah swasta yang masih membuka pendaftaran offline merupakan sekolah yang ingin memenuhi target kuota daya tampung siswa Tahun Ajaran 2020/2021.
Rabu itu menjadi hari yang begitu panjang bagi kebanyakan orang tua murid yang anaknya ingin masuk SMA, termasuk saya. Pengumuman PPDB wilayah Kota Tangerang Selatan yang diumumkan pada Selasa (30/6/2020) pukul 20.00 WIB cukup menguras pikiran dan energi. (Baca: Perlu Solusi Cepat Atasi Kisruh PPDB DKI)
Perubahan kebijakan penerimaan calon siswa dari seleksi berbasis nilai ujian nasional (NUN) ke sistem zonasi, afirmasi, inklusi, pindahan orang tua/wali dan prestasi otomatis mengubah semua rencana matang para calon siswa. Bila sebelumnya melalui NUN siswa juga dapat mengukur sekolah mana yang memiliki passing grade sesuai dengan hasil NUN dan memiliki keleluasaan untuk langsung mendaftar ke sekolah tujuan sesuai zonasi yang ditentukan, mulai Tahun Ajaran 2020/2021 calon siswa harus benar-benar mengukur murni jarak zonasi dari rumah ke sekolah. Mereka mengabaikan nilai hasil ujian sekolah. Di sinilah nasib keberuntungan calon siswa berubah.
Perlu diingat, tidak semua calon siswa tinggal dekat sekolah. Karena pemerintah provinsi hanya membangun sekolah-sekolah negeri di kawasan tertentu. Memang, masing-masing kecamatan memiliki sekolah negeri untuk tingkat SD, SMP, dan SMA. Namun jumlah sekolah tersebut tidaklah banyak dan mencukupi. Bahkan di tingkat kecamatan, hanya ada 1-2 sekolah untuk tingkat SMA. Padahal, cakupan perumahan setiap kecamatan memiliki radius yang cukup jauh hingga mencapai 8-10 km lebih. Hal inilah yang membuat kekhawatiran calon siswa apakah dapat menembus sistem zonasi bagi mereka yang memiliki tempat tinggal lebih dari 1,5 km dengan sekolah yang dituju.
Kecemasan calon siswa dan para orang tua terbukti nyata. Pengumuman pada Selasa (30/6/2020) malam menjadi bencana para calon siswa yang mengikuti PPDB Kota Tangerang Selatan. Pengumuman di website sekolah sebagian berupa lembaran scan hasil keputusan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemerintah Provinsi Banten dengan lampiran daftar peserta didik yang diterima. Dalam pengumuman itu juga ditampilkan jarak sekolah ke rumah calon peserta.
Terlihat calon siswa yang diterima rata-rata berjarak tak lebih dari 1,3 km dari rumahnya. Bahkan ada sekolah yang mengumumkan jarak terjauh lokasi sekolah dengan rumah calon siswanya hanya 914 meter. Porsi 50% yang diperebutkan untuk zonasi hanya ditempati oleh calon siswa yang rumahnya berjarak puluhan meter dan terjauh rata-rata mencapai ratusan meter. Lalu bagaimana nasib calon siswa di kecamatan tersebut yang lebih dari 1,5 km atau lebih? (Baca juga: Usia Calon Siswa Jadi Prioritas PPDb Bertentangan dengan Permendikbud)
Teringat kembali ucapan salah seorang panitia SMA negeri di wilayah Kota Tangsel saat melakukan verifikasi calon siswa. Panitia tersebut menjawab dengan jelas pertanyaan salah satu orang tua calon siswa. Apakah memungkinkan sistem zonasi menerima siswa yang jaraknya 2,5 km dari sekolah yang dituju? Panitia yang juga merupakan seorang pendidik di sekolah itu menjawab singkat, “Ya berdoa saja, mudah-mudahan masih bisa dapat jarak segitu.”
Kalimat itu menyisakan banyak pertanyaan. Tentu karena didasari padatnya penduduk di wilayah Kecamatan Pondok Aren, Tangsel, yang mencakup hingga pinggiran perbatasan wilayah Jakarta Selatan (Pesanggrahan-Bintaro). Selain itu saingan calon peserta didik juga tidak sedikit, sedangkan kapasitas kuota sangat terbatas. Rata-rata SMA negeri hanya menampung 200-an sampai 300-an siswa.
Selain sistem zonasi, orang tua calon siswa tersebut juga menanyakan apakah memungkinkan masuk melalui jalur prestasi? Panitia tersebut menjelaskan, bila masuk melalui jalur prestasi di wilayah Tangsel, calon siswa harus memiliki prestasi lain di bidang nonakademik. Syarat ini cukup memberatkan karena tak semua siswa mengikuti kegiatan nonakademik dan bisa menjadi juara tingkat sekolah, daerah, ataupun tingkat nasional. Nilai rapor semester 1-5 yang menjadi rujukan mencari sekolah bagi peserta didik di wilayah Tangsel hanya dapat berlaku untuk memperebutkan kursi 5% melalui PPDB DKI Jakarta. Tetapi, itu pun harus bermodalkan keikhlasan bila tidak diterima, karena kuota 5% nonprovinsi pada jalur prestasi akademik PPDB DKI hanya menyediakan rata-rata 10-12 kursi untuk kelas IPA dan IPS. (Baca juga: Pemerintahan Prancis Bubar, Macron Ingin Terus Berkuasa)
Jauh dari Harapan
Sistem zonasi yang diberlakukan pemerintah nyata-nyata tidak memberikan harapan besar bagi para calon siswa untuk masuk sekolah negeri. Jika jarak 1 km saja tetap gagal sekolah negeri, ini tentu fenomena yang menyesakkan dada.
Dari fakta ini, pemerintah tampak belum memetakan jelas kesiapan infrastruktur sekolah dengan padatnya jumlah penduduk yang memiliki siswa produktif. Praktis, sistem zonasi yang diberlakukan ini hanya menguntungkan calon siswa yang memiliki kartu keluarga berjarak kurang 1 km dari kawasan sekolah. Calon siswa yang memiliki rumah dengan jarak lebih dari itu pun akhirnya hanya bisa gigit jari. Padahal, tak semua orang tua mampu menyekolahkan anaknya di sekolah swasta.
Sistem baru zonasi masih menyisakan persoalan besar. Ada keadilan-keadilan yang tercederai. Ada hak-hak rakyat yang terampas. Untuk itu, pemerintah jangan abai dengan keresahan dan kebingungan yang dirasakan masyarakat ini. (Baca juga: Bayi Kembar Baru Lahir Tewas Diterkan 2 Anjing Peliharaan yang Cemburu)
Orang tua patut resah. Sebab, semua orang tua berkeinginan menjadikan anaknya pintar dengan biaya pendidikan yang lebih terjangkau. Untuk itu, ikhtiar masuk sekolah negeri adalah sebuah harapan besar.
Nyatanya, saat ini, modal pintar saja ternyata tidak cukup. Zonasi memberi bukti bahwa rumah tidak boleh jauh-jauh dari sekolah. Model zonasi mungkin bisa efektif jika pemerintah daerah sudah mampu membangun sekolah-sekolah negeri baru untuk tiap kecamatan yang mempertimbangkan jarak di masing-masing tingkatan.
Keadilan bidang pendidikan yang ingin dicapai pemerintah sebagaimana lewat Permendikbud Nomor 44/2019 Pasal 25 (1) tentang seleksi calon peserta didik baru kelas 7 (SMP) dan kelas 10 (SMA) dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam wilayah zonasi yang ditetapkan, sulit tercapai selama infrastruktur sekolah tidak terpenuhi. Di wilayah Kota Tangerang Selatan, misalnya, sekolah-sekolah negeri belum sepenuhnya merata dan yang tersedia cukup banyak adalah sekolah-sekolah swasta. (Lihat videonya: Modus Baru Napi Asimilasi Masuk Hotel Incar HP)
Bila sistem zonasi ini terus diberlakukan pemerintah ke depan, bukankah justru akan membuat orang tua dan calon siswa bingung. Bagi yang berusaha keras, bisa jadi mereka akan menggunakan berbagai siasat agar diterima, termasuk pindah rumah sejak dini atau menumpang kartu keluarga (KK). Sebaliknya, bagi yang pasrah karena lokasi jauh dari sekolah negeri, maka harus siap-siap menyiapkan uang cukup karena kemungkinan besar hanya bisa masuk sekolah swasta. Bagi yang tak memiliki dana cukup ke swasta, tentu masalah yang dihadapi kian rumit lagi. Saatnya pemerintah mengevaluasi zonasi. (Rarasati Syarief)
(ysw)