Izinkan Reklamasi Ancol, Pengamat Nilai Inkonsistensi Kebijakan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Belum juga tuntas 13 izin pencabutan reklamasi di Teluk Jakarta, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sudah menerbitkan keputusan perluasan kawasan Taman Impian Jaya Ancol dan Dunia Fantasi (Dufan) .
Izin ini tercantum dalam surat Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237/2020 tentang Izin Pelaksanaan Perluasan Kawasan Rekreasi Dufan seluas lebih kurang 35 hektare (ha) dan kawasan rekreasi Taman Impian Jaya Ancol seluas 120 hektare. Kepgub tersebut diteken pada 24 Februari 2020.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai izin perluasan Ancol bentuk inkonsistensi kebijakan reklamasi yang sebelumnya dihentikan. Dia menjelaskan, pemberian izin perluasan kawasan reklamasi teluk Jakarta memang masuk dalam rencana Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60/2020 tentang Rencana Tata Ruang dan Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (Jabodetabek-Punjur), di mana ada sisi positif penataan kota dari hulu hingga hilirnya. “Gubernur Anies harus bisa menjelaskan alasannya. Kalau tidak ini merupakan inkonsistensi kebijakan,” katanya kemarin.
Menuut Trubus, Gubernur Anies harus menjelaskan kajian pemberian izin, termasuk analisis dampak lingkungannya. Jangan sampai, nelayan yang sudah bersenang hati karena reklamasi dihentikan kembali kecewa dengan izin perluasan Ancol. "Pemberian izin lebih baik ditunda sampai semua kajian selesai dan masyarakat bisa menerima," ungkapnya. (Baca: F-PDIP DKI: Izin Perluasan Ancol Sesuai Kebijakan Pusat)
Pemprov DKI Jakarta resmi mengizinkan PT Pembangunan Jaya Ancol memperluas kawasan rekreasi Dufan selus 35 hektare dan kawasan rekreasi Taman Impian Jaya Ancol Timur seluas 120 hektare. Sejumlah kewajiban sarana prasarana, transportasi dan infrastruktur pengendalian banjir menjadi syarat perluasan kawasan rekreasi tersebut.
Perluasan ini berdasarkan perjanjian kerja sama (PKS) antara pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT Pembangunan Jaya Ancol pada 13 April 2009. Ada sejumlah kewajiban yang harus dilakukan oleh PT Pembangunan Jaya Ancol.
Kewajiban tersebut adalah menyediakan prasarana, sarana, dan utilitas dasar yang dibutuhkan dalam pengembangan kawasan rekreasi Dufan dan kawasan rekreasi Taman Impian Jaya Ancol Timur, antara lain jaringan jalan di dalam kawasan, angkutan umum massal. "Menyediakan jaringan utilitas, infrastruktur pengendali banjir, ruang terbuka biru, ruang terbuka hijau, serta sarana pengelolaan limbah cair dan padat," tulis Anies dalam Kepgub tersebut.
Kemudian PT Pembangunan Jaya Ancol diharuskan mengeruk sedimentasi sungai sekitar perluasan kawasan. Mereka juga harus berkontribusi mengeruk sedimentasi sungai di daratan. Selanjutnya, untuk lahan hasil perluasan kawasan sebesar 5% dari luas kotor daerah yang berhasil diperluas lebih kurang 35 hektare dan 120 hektare wajib diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dituangkan dalam berita acara serah terima. (Baca juga: Fraksi PKS Kecam Keras Rencama Israel Caplok Tepi Barat)
Pelaksanaan kewajiban dan kontribusi ditindaklanjuti dengan akta perjanjian yang dibuat secara notarial akta antara PT Pembangunan Jaya Ancol dan Pemprov DKI Jakarta sudah harus diselesaikan paling lama enam bulan, terhitung sejak ditetapkannya keputusan gubernur ini. Artinya, kewajiban dan kontribusi ini harus diselesaikan pada Agustus 2020 nanti.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengecam terbitnya izin reklamasi tersebut. Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menilai izin perluasan reklamasi Ancol merupakan ironi kebijakan Gubernur Anies yang pernah berjanji akan menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Susan menuturkan, Anies pernah berjanji akan menghentikan reklamasi, tetapi faktanya malah memberikan izin kepada PT Pembangunan Jaya Ancol. “Sebelumnya juga mengeluarkan lebih dari 900 IMB untuk bangunan di Pulau D yang konsesinya dimiliki oleh PT Kapuk Niaga Indah, " ungkapnya.
Menurut dia, keputusan gubernur itu memiliki kecacatan hukum karena hanya mendasarkan pada tiga undang-undang yang terlihat dipilih-pilih. Undang-Undang Nomor 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia; Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah; dan Undang-Undang Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. “Ketiga Undang-Undang tersebut terlihat dipilih oleh Anies karena sesuai dengan kepentingannya sebagai gubernur DKI Jakarta," ujarnya. (Baca juga: RUU HIP Harusnya Perkuat Ideologi Bangsa, Bukan Buat Tafsir Baru)
Padahal, kata Susan, di dalam pengaturan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, ada undang-undang spesifik yang mengatur hal ini, yaitu UU Nomor 27/2007 jo UU Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. "Kenapa undang-undang tersebut tidak dijadikan dasar oleh Anies?” Susan menggugat.
Selain itu, pemberian izin reklamasi untuk perluasan kawasan rekreasi di Ancol, hanya akan memperkuat praktik komersialisasi kawasan pesisir di Teluk Jakarta yang tidak sejalan dengan UU Nomor 27/2007 jo UU Nomor 1/2014 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 bertahun 2010.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono malah mengapresiasi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan izin perluasan kawasan rekreasi Dufan dan Ancol Timur. Sebab, hal itu sesuai dengan aturan pemerintah pusat yang memperbolehkan kembali reklamasi di teluk Jakarta. "Itu memang harus dikeluarkan izinnya. Pemerintah pusat kan sudah mengizinkan kembali reklamasi," katanya. (Baca juga: Hilangkan Kesan Angker, Makan Nguwot Dicat Warna Warni)
Menurut Gembong, pemberian izin reklamasi Ancol karena mencermati kekalahan Pemprov DKI Jakarta terhadap gugatan pengembang pulau reklamasi. Pulau-pulau reklamasi yang dicabut izin oleh Pemprov DKI nantinya akan mengadopsi pemberian izin pemerintah pusat terhadap kelanjutan reklamasi. "Semuanya juga akan diizinkan kembali nantinya. Kan pemberhentian reklamasi hanya janji kampanye saja," ungkapnya.
Hal terpenting, kajian terhadap lingkungan sebagai dampak reklamasi harus dikaji ulang. Jangan sampai merusak lingkungan dan biota laut. "Yang paling penting itu soal lingkungan. Perlu ada rekayasa kembali agar tidak merusak biota laut," kata Gembong. (Bima Setiyadi)
Izin ini tercantum dalam surat Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237/2020 tentang Izin Pelaksanaan Perluasan Kawasan Rekreasi Dufan seluas lebih kurang 35 hektare (ha) dan kawasan rekreasi Taman Impian Jaya Ancol seluas 120 hektare. Kepgub tersebut diteken pada 24 Februari 2020.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai izin perluasan Ancol bentuk inkonsistensi kebijakan reklamasi yang sebelumnya dihentikan. Dia menjelaskan, pemberian izin perluasan kawasan reklamasi teluk Jakarta memang masuk dalam rencana Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60/2020 tentang Rencana Tata Ruang dan Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (Jabodetabek-Punjur), di mana ada sisi positif penataan kota dari hulu hingga hilirnya. “Gubernur Anies harus bisa menjelaskan alasannya. Kalau tidak ini merupakan inkonsistensi kebijakan,” katanya kemarin.
Menuut Trubus, Gubernur Anies harus menjelaskan kajian pemberian izin, termasuk analisis dampak lingkungannya. Jangan sampai, nelayan yang sudah bersenang hati karena reklamasi dihentikan kembali kecewa dengan izin perluasan Ancol. "Pemberian izin lebih baik ditunda sampai semua kajian selesai dan masyarakat bisa menerima," ungkapnya. (Baca: F-PDIP DKI: Izin Perluasan Ancol Sesuai Kebijakan Pusat)
Pemprov DKI Jakarta resmi mengizinkan PT Pembangunan Jaya Ancol memperluas kawasan rekreasi Dufan selus 35 hektare dan kawasan rekreasi Taman Impian Jaya Ancol Timur seluas 120 hektare. Sejumlah kewajiban sarana prasarana, transportasi dan infrastruktur pengendalian banjir menjadi syarat perluasan kawasan rekreasi tersebut.
Perluasan ini berdasarkan perjanjian kerja sama (PKS) antara pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT Pembangunan Jaya Ancol pada 13 April 2009. Ada sejumlah kewajiban yang harus dilakukan oleh PT Pembangunan Jaya Ancol.
Kewajiban tersebut adalah menyediakan prasarana, sarana, dan utilitas dasar yang dibutuhkan dalam pengembangan kawasan rekreasi Dufan dan kawasan rekreasi Taman Impian Jaya Ancol Timur, antara lain jaringan jalan di dalam kawasan, angkutan umum massal. "Menyediakan jaringan utilitas, infrastruktur pengendali banjir, ruang terbuka biru, ruang terbuka hijau, serta sarana pengelolaan limbah cair dan padat," tulis Anies dalam Kepgub tersebut.
Kemudian PT Pembangunan Jaya Ancol diharuskan mengeruk sedimentasi sungai sekitar perluasan kawasan. Mereka juga harus berkontribusi mengeruk sedimentasi sungai di daratan. Selanjutnya, untuk lahan hasil perluasan kawasan sebesar 5% dari luas kotor daerah yang berhasil diperluas lebih kurang 35 hektare dan 120 hektare wajib diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dituangkan dalam berita acara serah terima. (Baca juga: Fraksi PKS Kecam Keras Rencama Israel Caplok Tepi Barat)
Pelaksanaan kewajiban dan kontribusi ditindaklanjuti dengan akta perjanjian yang dibuat secara notarial akta antara PT Pembangunan Jaya Ancol dan Pemprov DKI Jakarta sudah harus diselesaikan paling lama enam bulan, terhitung sejak ditetapkannya keputusan gubernur ini. Artinya, kewajiban dan kontribusi ini harus diselesaikan pada Agustus 2020 nanti.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengecam terbitnya izin reklamasi tersebut. Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menilai izin perluasan reklamasi Ancol merupakan ironi kebijakan Gubernur Anies yang pernah berjanji akan menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Susan menuturkan, Anies pernah berjanji akan menghentikan reklamasi, tetapi faktanya malah memberikan izin kepada PT Pembangunan Jaya Ancol. “Sebelumnya juga mengeluarkan lebih dari 900 IMB untuk bangunan di Pulau D yang konsesinya dimiliki oleh PT Kapuk Niaga Indah, " ungkapnya.
Menurut dia, keputusan gubernur itu memiliki kecacatan hukum karena hanya mendasarkan pada tiga undang-undang yang terlihat dipilih-pilih. Undang-Undang Nomor 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia; Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah; dan Undang-Undang Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. “Ketiga Undang-Undang tersebut terlihat dipilih oleh Anies karena sesuai dengan kepentingannya sebagai gubernur DKI Jakarta," ujarnya. (Baca juga: RUU HIP Harusnya Perkuat Ideologi Bangsa, Bukan Buat Tafsir Baru)
Padahal, kata Susan, di dalam pengaturan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, ada undang-undang spesifik yang mengatur hal ini, yaitu UU Nomor 27/2007 jo UU Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. "Kenapa undang-undang tersebut tidak dijadikan dasar oleh Anies?” Susan menggugat.
Selain itu, pemberian izin reklamasi untuk perluasan kawasan rekreasi di Ancol, hanya akan memperkuat praktik komersialisasi kawasan pesisir di Teluk Jakarta yang tidak sejalan dengan UU Nomor 27/2007 jo UU Nomor 1/2014 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 bertahun 2010.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono malah mengapresiasi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan izin perluasan kawasan rekreasi Dufan dan Ancol Timur. Sebab, hal itu sesuai dengan aturan pemerintah pusat yang memperbolehkan kembali reklamasi di teluk Jakarta. "Itu memang harus dikeluarkan izinnya. Pemerintah pusat kan sudah mengizinkan kembali reklamasi," katanya. (Baca juga: Hilangkan Kesan Angker, Makan Nguwot Dicat Warna Warni)
Menurut Gembong, pemberian izin reklamasi Ancol karena mencermati kekalahan Pemprov DKI Jakarta terhadap gugatan pengembang pulau reklamasi. Pulau-pulau reklamasi yang dicabut izin oleh Pemprov DKI nantinya akan mengadopsi pemberian izin pemerintah pusat terhadap kelanjutan reklamasi. "Semuanya juga akan diizinkan kembali nantinya. Kan pemberhentian reklamasi hanya janji kampanye saja," ungkapnya.
Hal terpenting, kajian terhadap lingkungan sebagai dampak reklamasi harus dikaji ulang. Jangan sampai merusak lingkungan dan biota laut. "Yang paling penting itu soal lingkungan. Perlu ada rekayasa kembali agar tidak merusak biota laut," kata Gembong. (Bima Setiyadi)
(ysw)