Meroketnya Gaji dan Tunjangan Anggota DPRD DKI Dikritisi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) DKI Jakarta 2021 telah disahkan sebesar Rp82,5 triliun. Dalam KUA-PPAS itu terdapat kenaikan anggaran untuk Rencana Kerja Tahunan (RKT) DPRD DKI Jakarta yang mencapai Rp888.681.846.000.
Bila dibagi dengan 106 anggota DPRD DKI, maka total anggaran yang diajukan untuk tahun 2021 mencapai Rp8.383.791.000 per anggota DPRD. Jumlah itu melonjak drastis dibandingkan APBD DKI 2020 yang hanya Rp152.329.612.000 per tahun. Salah satu pos anggaran yang membuat anggaran pegawai DPRD DKI 2021 melambung adalah meroketnya gaji dan tunjangan anggota DPRD.
Pada tahun ini, sebanyak 101 anggota DPRD DKI mendapatkan total gaji dan tunjangan sebesar Rp129 juta. Setelah dipotong pajak penghasilan (PPh) Rp18 juta, gaji bersih mereka mencapai Rp111 juta. Sedangkan, dalam RKT DPRD DKI 2021, setiap anggota akan mendapatkan gaji bulanan Rp173.249.250 sebelum dipotong pajak penghasilan (PPh). (Baca juga: DPRD DKI Jakarta Minta Masyarakat Tingkatkan Disiplin Protokol kesehatan COVID-19)
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengaku tak kaget dengan meroketnya anggaran DPRD dalam KUA-PPAS 2021.
Menurut dia, kenaikan anggaran kegiatan DPRD memang bukan hal baru. "Setiap pembicaraan anggaran di DPRD, isu kenaikan anggaran untuk DPRD selaku pembahas selalu muncul. Hal yang sama juga terjadi dalam pembahasan RAPBN di DPR," ujar Lucius dalam siaran tertulisnya, Sabtu (28/11/2020).
Namun, kenaikan anggaran untuk kegiatan DPRD di tengah pandemi merupakan sesuatu yang tak masuk akal. Harusnya kelebihan anggaran itu dialokasikan untuk membantu rakyat yang kesulitan di tengah pandemi.
Lucius menduga ada semacam kompromi antara Pemprov dan DPRD DKI dalam menjaga anggaran yang tak wajar. “Pemprov nampaknya tak berdaya di hadapan DPRD demi dukungan politik setiap kebijakan pemprov,“ ungkapnya. (Baca juga: Gaji Satu Anggota DPRD DKI Capai Rp8 Miliar Per Tahun)
Hal senada diungkapkan Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah. Menurutnya, kenaikan anggaran DPRD tak tepat karena kondisi ekonomi saat ini sedang menurun akibat pandemi.
Dia sepakat dengan Lucius. Dia menduga salah satu penyebabnya karena Pemprov DKI tidak transparan. Karena itu, dia meminta Pemprov DKI bersikap transparan terkait APBD 2021. “Pemprov harus membuka diri, harus dijelaskan angka-angka (APBD) itu kepada publik,” ucapnya.
Hal tersebut sempat dikeluhkan anggota DPRD DKI dari Fraksi Demokrat Neneng Hasanah saat rapat paripurna di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jumat (27/11/2020). Dia menilai dokumen RKPD dan rancangan KUA-PPAS belum ditampilkan pada portal https.apbd.jakarta.go.id.
Saat ini, warga DKI tak lagi bebas mengakses situs APBD DKI Jakarta. Sebab, Pemprov DKI menerapkan sistem baru bernama Smart Budgeting di tautan smartapbddev.jakarta.go.id.
Sistem itu mewajibkan pengunjung situs untuk melakukan registrasi terlebih dahulu sebelum bisa mengakses laman APBD DKI. Adapun cara registrasinya yaitu dengan memasukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan nomor Kartu Keluarga (KK).
Hal itu pun dikritik oleh Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD DKI. Anggota DPRD DKI dari Fraksi PSI Eneng Malianasari mengatakan, Pemprov DKI telah merintangi hak warga Jakarta untuk mengawal dan mengawasi penggunaan uang rakyat.
Bila dibagi dengan 106 anggota DPRD DKI, maka total anggaran yang diajukan untuk tahun 2021 mencapai Rp8.383.791.000 per anggota DPRD. Jumlah itu melonjak drastis dibandingkan APBD DKI 2020 yang hanya Rp152.329.612.000 per tahun. Salah satu pos anggaran yang membuat anggaran pegawai DPRD DKI 2021 melambung adalah meroketnya gaji dan tunjangan anggota DPRD.
Pada tahun ini, sebanyak 101 anggota DPRD DKI mendapatkan total gaji dan tunjangan sebesar Rp129 juta. Setelah dipotong pajak penghasilan (PPh) Rp18 juta, gaji bersih mereka mencapai Rp111 juta. Sedangkan, dalam RKT DPRD DKI 2021, setiap anggota akan mendapatkan gaji bulanan Rp173.249.250 sebelum dipotong pajak penghasilan (PPh). (Baca juga: DPRD DKI Jakarta Minta Masyarakat Tingkatkan Disiplin Protokol kesehatan COVID-19)
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengaku tak kaget dengan meroketnya anggaran DPRD dalam KUA-PPAS 2021.
Menurut dia, kenaikan anggaran kegiatan DPRD memang bukan hal baru. "Setiap pembicaraan anggaran di DPRD, isu kenaikan anggaran untuk DPRD selaku pembahas selalu muncul. Hal yang sama juga terjadi dalam pembahasan RAPBN di DPR," ujar Lucius dalam siaran tertulisnya, Sabtu (28/11/2020).
Namun, kenaikan anggaran untuk kegiatan DPRD di tengah pandemi merupakan sesuatu yang tak masuk akal. Harusnya kelebihan anggaran itu dialokasikan untuk membantu rakyat yang kesulitan di tengah pandemi.
Lucius menduga ada semacam kompromi antara Pemprov dan DPRD DKI dalam menjaga anggaran yang tak wajar. “Pemprov nampaknya tak berdaya di hadapan DPRD demi dukungan politik setiap kebijakan pemprov,“ ungkapnya. (Baca juga: Gaji Satu Anggota DPRD DKI Capai Rp8 Miliar Per Tahun)
Hal senada diungkapkan Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah. Menurutnya, kenaikan anggaran DPRD tak tepat karena kondisi ekonomi saat ini sedang menurun akibat pandemi.
Dia sepakat dengan Lucius. Dia menduga salah satu penyebabnya karena Pemprov DKI tidak transparan. Karena itu, dia meminta Pemprov DKI bersikap transparan terkait APBD 2021. “Pemprov harus membuka diri, harus dijelaskan angka-angka (APBD) itu kepada publik,” ucapnya.
Hal tersebut sempat dikeluhkan anggota DPRD DKI dari Fraksi Demokrat Neneng Hasanah saat rapat paripurna di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jumat (27/11/2020). Dia menilai dokumen RKPD dan rancangan KUA-PPAS belum ditampilkan pada portal https.apbd.jakarta.go.id.
Saat ini, warga DKI tak lagi bebas mengakses situs APBD DKI Jakarta. Sebab, Pemprov DKI menerapkan sistem baru bernama Smart Budgeting di tautan smartapbddev.jakarta.go.id.
Sistem itu mewajibkan pengunjung situs untuk melakukan registrasi terlebih dahulu sebelum bisa mengakses laman APBD DKI. Adapun cara registrasinya yaitu dengan memasukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan nomor Kartu Keluarga (KK).
Hal itu pun dikritik oleh Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD DKI. Anggota DPRD DKI dari Fraksi PSI Eneng Malianasari mengatakan, Pemprov DKI telah merintangi hak warga Jakarta untuk mengawal dan mengawasi penggunaan uang rakyat.
(jon)