Dilema Pembukaan Bioskop pada Masa Pandemi Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masih bertambahnya kasus Covid-19 dan rendahnya kesadaran masyarakat menjalani protokol kesehatan membuat pemerintah urung membuka operasional bioskop pada pertengahan bulan ini.
Tidak kunjung dibukanya bioskop memberikan dampak yang cukup signifikan bagi pelaku film Tanah Air. Salah satunya membuat ratusan judul film nasional tidak dapat diputar.
Demikian pula distributor film impor yang terpaksa menghentikan kegiatan. Sebagai dampaknya, perekonomian di lingkaran perfilman Indonesia mati suri, termasuk UMKM yang melekat pada usaha bioskop, menyebabkan kerugian materi yang sangat besar. (Baca: Gugus Tugas Waspadai Klaster Pilkada Serentak di Jabar)
Sejak ditutupnya bioskop pada 23 Maret silam, sineas film Tanah Air pun terpaksa harus menghentikan kegiatan syuting yang membuat ratusan artis dan kru film terpaksa kehilangan pekerjaan. Demikian pula karyawan bioskop terpaksa menerima surat PHK atau dirumahkan. Belum lagi, perawatan bioskop seperti perawatan proyektor membutuhkan biaya yang tinggi.
Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafruddin mengatakan, pihaknya tentu akan mengikuti ketentuan pemerintah. Namun, dia mengakui, pengusaha bioskop merasa lelah sendiri karena izin pembukaan yang diberikan selalu berakhir dibatalkan sehingga dia pun meminta pemerintah daerah, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta, untuk segera memberikan izin beroperasinya kembali bioskop yang ada di Indonesia.
"Dari dulu juga kami berharap (agar bioskop bisa dibuka lagi). Sudah lima bulan bioskop ditutup. Sudah capek kami berharap terus, padahal dampak penutupan bioskop luar biasa untuk perputaran ekonomi dan ekosistem yang ada di industri film," ujarnya kepada KORAN SINDO dalam diskusi bertajuk "Recovery Industri Hiburan pada Era New Normal" yang digelar PWI Jaya Seksi Musik, Film, dan Lifestyle di Jambuluwuk Resort, Ciawi, Bogor, beberapa waktu lalu.
Dalam pemaparannya, Djony ingin pemerintah segera memberikan izin agar bioskop bisa beroperasi kembali. Sebab, dengan dibukanya bioskop, tidak hanya masyarakat bisa menonton kembali film di bioskop, tetapi juga menghidupkan kembali UMKM yang melekat pada usaha bioskop.
”Intinya kami ingin agar pemerintah daerah segera mengizinkan bioskop dibuka dan beroperasi kembali, kalau yang lain bisa, kenapa bioskop gak bisa?" kata Djonny. (Baca juga: Berat, ternyata Banyak Masalah yang Menghadang UMKM)
Kerugian akibat penutupan bioskop ini bukan hanya dirasakan pengusaha bioskop, tetapi juga produser film dan UMKM lainnya. Karena itu, Djonny meminta para pemangku kepentingan melibatkan GPBSI dalam mengambil keputusan kebijakan perizinan operasional bioskop.
“Ajak kami ikut bicara, karena kami melihat pemerintah ragu dalam mengambil keputusan," tambah Ketua GPBSI ini. Jika dihitung, paling tidak sejak Idul Fitri lalu sampai sekarang, ada ratusan judul film yang tidak bisa tayang di bioskop.
Tercatat sejak bioskop ditutup hingga Lebaran Idul Fitri lalu, 110 judul film tidak jadi beredar, film impor juga turut menyetop kirimannya. Akibatnya, kerugian yang dialami pengusaha bioskop selama pandemi sangat besar.
"Dampak penutupan bioskop ini hampir semua karyawan kelompok usaha 21/XXI dan CGV banyak yang di-PHK dan dirumahkan. Sementara bioskop tetap membutuhkan perawatan, sedangkan biaya perawatan proyektor digital sangat mahal, bisa di angka Rp80 juta-Rp100 juta," tutur Djonny.
Djonny menambahkan, tidak boleh ada diskriminasi dalam menentukan kebijakan. "Saat ini penerbangan, kereta api, stasiun, pasar, mal, angkutan umum diperbolehkan, mengapa bioskop yang secara infrastruktur jauh lebih aman belum boleh, ada apa ini?” ucap Djonny.
Dia menekankan, berdasarkan sebuah penelitian di beberapa negara yang membolehkan bioskop dibuka, seperti Jerman, Inggris, dan Singapura, persentase penularan di bioskop cuma 0,3%, relatif kecil.
Djonny Syafruddin menyatakan, pemilik film ingin melihat respons masyarakat, apakah pembukaan tempat hiburan itu mendapat respons positif atau malah sebaliknya. Sebab, bila di pusat kegiatan perekonomian saja sepi, kemungkinan besar daerah lain akan bernasib serupa.
"Jadi yang terbaik Jakarta dulu buka supaya di daerah bisa bergerak. Buat jadi contoh. Yang punya film juga enggak mau edaran kalau cuma di daerah-daerah saja. Karena market terbesar Jakarta. Daerah pusat ekonomi," kata Djonny. (Baca juga: Mengenal Penyakit Batu Empedu Sejak Dini)
Saat ini sudah ada 65% kota atau kabupaten di Indonesia yang diizinkan membuka bioskop. Daerah-daerah itu menyebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Kalimantan.
Selain itu, dia ingin agar pajak tontonan diseragamkan menjadi 10%. “Jangan dipungut dulu selama setahun ini, sepanjang pandemi dan new normal masih berlangsung,” ungkapnya.
Manoj Punjabi sebagai produser film mengaku hal ini sangat merugikan. "Kalau saya sebagai produser jelas, ini kan merugikan dan mengganggu ekosistem industri film Tanah Air," kata Manoj. M
eski begitu, dia memahami keputusan pemerintah terkait ditundanya pembukaan bioskop. Dia maklum jika alasannya untuk keselamatan masyarakat di tengah pandemi Covid-19. "Tapi Kalau memang itu (pembukaan bioskop ditunda) solusi yang terbaik, ya oke," tuturnya. (Lihat videonya: Kesultanan Buton yang Tidak Pernah Dijajah Negara Eropa)
Melihat nasib bioskop saat ini, Manoj sebagai pendiri rumah produksi sudah mempersiapkan strategi dengan memanfaatkan platform digital untuk distribusi film. Terkait beberapa film milik MD Pictures yang hanya tayang di platform Disney+ Hotstar, Manoj Punjabi senang dan menyambut baik. (Thomas Manggalla)
Tidak kunjung dibukanya bioskop memberikan dampak yang cukup signifikan bagi pelaku film Tanah Air. Salah satunya membuat ratusan judul film nasional tidak dapat diputar.
Demikian pula distributor film impor yang terpaksa menghentikan kegiatan. Sebagai dampaknya, perekonomian di lingkaran perfilman Indonesia mati suri, termasuk UMKM yang melekat pada usaha bioskop, menyebabkan kerugian materi yang sangat besar. (Baca: Gugus Tugas Waspadai Klaster Pilkada Serentak di Jabar)
Sejak ditutupnya bioskop pada 23 Maret silam, sineas film Tanah Air pun terpaksa harus menghentikan kegiatan syuting yang membuat ratusan artis dan kru film terpaksa kehilangan pekerjaan. Demikian pula karyawan bioskop terpaksa menerima surat PHK atau dirumahkan. Belum lagi, perawatan bioskop seperti perawatan proyektor membutuhkan biaya yang tinggi.
Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafruddin mengatakan, pihaknya tentu akan mengikuti ketentuan pemerintah. Namun, dia mengakui, pengusaha bioskop merasa lelah sendiri karena izin pembukaan yang diberikan selalu berakhir dibatalkan sehingga dia pun meminta pemerintah daerah, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta, untuk segera memberikan izin beroperasinya kembali bioskop yang ada di Indonesia.
"Dari dulu juga kami berharap (agar bioskop bisa dibuka lagi). Sudah lima bulan bioskop ditutup. Sudah capek kami berharap terus, padahal dampak penutupan bioskop luar biasa untuk perputaran ekonomi dan ekosistem yang ada di industri film," ujarnya kepada KORAN SINDO dalam diskusi bertajuk "Recovery Industri Hiburan pada Era New Normal" yang digelar PWI Jaya Seksi Musik, Film, dan Lifestyle di Jambuluwuk Resort, Ciawi, Bogor, beberapa waktu lalu.
Dalam pemaparannya, Djony ingin pemerintah segera memberikan izin agar bioskop bisa beroperasi kembali. Sebab, dengan dibukanya bioskop, tidak hanya masyarakat bisa menonton kembali film di bioskop, tetapi juga menghidupkan kembali UMKM yang melekat pada usaha bioskop.
”Intinya kami ingin agar pemerintah daerah segera mengizinkan bioskop dibuka dan beroperasi kembali, kalau yang lain bisa, kenapa bioskop gak bisa?" kata Djonny. (Baca juga: Berat, ternyata Banyak Masalah yang Menghadang UMKM)
Kerugian akibat penutupan bioskop ini bukan hanya dirasakan pengusaha bioskop, tetapi juga produser film dan UMKM lainnya. Karena itu, Djonny meminta para pemangku kepentingan melibatkan GPBSI dalam mengambil keputusan kebijakan perizinan operasional bioskop.
“Ajak kami ikut bicara, karena kami melihat pemerintah ragu dalam mengambil keputusan," tambah Ketua GPBSI ini. Jika dihitung, paling tidak sejak Idul Fitri lalu sampai sekarang, ada ratusan judul film yang tidak bisa tayang di bioskop.
Tercatat sejak bioskop ditutup hingga Lebaran Idul Fitri lalu, 110 judul film tidak jadi beredar, film impor juga turut menyetop kirimannya. Akibatnya, kerugian yang dialami pengusaha bioskop selama pandemi sangat besar.
"Dampak penutupan bioskop ini hampir semua karyawan kelompok usaha 21/XXI dan CGV banyak yang di-PHK dan dirumahkan. Sementara bioskop tetap membutuhkan perawatan, sedangkan biaya perawatan proyektor digital sangat mahal, bisa di angka Rp80 juta-Rp100 juta," tutur Djonny.
Djonny menambahkan, tidak boleh ada diskriminasi dalam menentukan kebijakan. "Saat ini penerbangan, kereta api, stasiun, pasar, mal, angkutan umum diperbolehkan, mengapa bioskop yang secara infrastruktur jauh lebih aman belum boleh, ada apa ini?” ucap Djonny.
Dia menekankan, berdasarkan sebuah penelitian di beberapa negara yang membolehkan bioskop dibuka, seperti Jerman, Inggris, dan Singapura, persentase penularan di bioskop cuma 0,3%, relatif kecil.
Djonny Syafruddin menyatakan, pemilik film ingin melihat respons masyarakat, apakah pembukaan tempat hiburan itu mendapat respons positif atau malah sebaliknya. Sebab, bila di pusat kegiatan perekonomian saja sepi, kemungkinan besar daerah lain akan bernasib serupa.
"Jadi yang terbaik Jakarta dulu buka supaya di daerah bisa bergerak. Buat jadi contoh. Yang punya film juga enggak mau edaran kalau cuma di daerah-daerah saja. Karena market terbesar Jakarta. Daerah pusat ekonomi," kata Djonny. (Baca juga: Mengenal Penyakit Batu Empedu Sejak Dini)
Saat ini sudah ada 65% kota atau kabupaten di Indonesia yang diizinkan membuka bioskop. Daerah-daerah itu menyebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Kalimantan.
Selain itu, dia ingin agar pajak tontonan diseragamkan menjadi 10%. “Jangan dipungut dulu selama setahun ini, sepanjang pandemi dan new normal masih berlangsung,” ungkapnya.
Manoj Punjabi sebagai produser film mengaku hal ini sangat merugikan. "Kalau saya sebagai produser jelas, ini kan merugikan dan mengganggu ekosistem industri film Tanah Air," kata Manoj. M
eski begitu, dia memahami keputusan pemerintah terkait ditundanya pembukaan bioskop. Dia maklum jika alasannya untuk keselamatan masyarakat di tengah pandemi Covid-19. "Tapi Kalau memang itu (pembukaan bioskop ditunda) solusi yang terbaik, ya oke," tuturnya. (Lihat videonya: Kesultanan Buton yang Tidak Pernah Dijajah Negara Eropa)
Melihat nasib bioskop saat ini, Manoj sebagai pendiri rumah produksi sudah mempersiapkan strategi dengan memanfaatkan platform digital untuk distribusi film. Terkait beberapa film milik MD Pictures yang hanya tayang di platform Disney+ Hotstar, Manoj Punjabi senang dan menyambut baik. (Thomas Manggalla)
(ysw)