Ogah Rumah Dikontrakkan dan Dijual ala Mafia Tanah Santoso Halim? Pelajari Modusnya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mafia tanah dengan berbagai modus mengintai berbagai lapisan masyarakat. Salah satu korbannya mantan diplomat Djohan Effendi juga menjadi korban sindikat mafia tanah Husin Ali Muhammad dan Santoso Halim.
Kuasa hukum Djohan Effendi, Arlon Sitinjak mengatakan, peristiwa yang menimpa kliennya dimulai pada Juni 2016 ketika pelaku bernama Husin Ali Muhammad menyewa rumah Djohan.
"Setelah pensiun dia sewakan rumahnya kepada Husin Ali Muhammad. Untuk meyakinkan pemilik rumah, sering dia membuat pengajian. Pak Djohan Effendi juga diundang dalam pengajian-pengajian itu," ujar Arlon, belum lama ini.
Setelah mendapat kepercayaan, pelaku Husin meminjam fotokopi dua SHM dari Djohan dengan modus menurunkan daya listrik dari 23.000 watt ke 6.000 watt. Setelah dipinjamkan, Husin menghubungi Djohan kembali dengan dalih bahwa untuk menurunkan daya listrik harus menggunakan SHM asli dengan membawa petugas PLN palsu untuk meyakinkan Djohan.
"Pada mulanya, korban tidak percaya, namun pelaku Husin membawa petugas berseragam PLN palsu yakni Fauzi (DPO) untuk meyakinkan korban," katanya.
Kemudian, pada 12 Juli 2016 korban dengan terpaksa bersedia meminjamkan 2 sertifikat asli yang diminta pelaku dan menunggu di teras rumahnya. Setelah satu jam kemudian pelaku mengembalikan kedua SHM milik korban yang ternyata telah dipalsukan.
"Di bawalah sertifikat yang asli ini ke dalam rumah tapi ditukar dengan sertifikat yang sudah dipalsukan sebelumnya. Karena sebelumnya sudah minjam yang fotokopian. Sampai di rumah dilihat-lihat kok ada yang tidak sesuai kemudian dibawa ke BPN. Setelah dicek ternyata palsu," ujarnya.
Kemudian, korban menghubungi Husin namun selalu menghindar. Husin berkelit dengan berbagai alasan mulai mengaku suratnya telah dibawa oleh orang dan berbagai alasan lain. "Akhirnya dilaporkan kepada pihak kepolisian," ucapnya.
Selang beberapa waktu kemudian, pelaku yang telah memegang sertifikat asli korban menjual kepada Santoso Halim dengan harga sebesar Rp10 miliar. Saat menjual rumah, Halim mengaku sebagai Djohan Effendi.
Pada 12 Agustus 2016 dibuat Akta Pengikatan Jual Beli No 08 dan No 09 antara Djohan Effendi, figur yang diperankan Halim (DPO) selaku penjual dengan Santoso Halim selaku pembeli di hadapan Notaris/PPAT Lusi Indriani.
Pada 22 Agustus 2016 dibuat Akta Jual Beli No 376 dan Akta Jual Beli No 377 di hadapan Notaris/PPAT Vivi Novita Ranadireksa.
“Dalam jual beli tersebut anehnya Santoso Halim tidak melakukan pembayaran atas jual beli tanah dan bangunan tersebut kepada Djohan Effendi, figur yang diperankan Halim (DPO) selaku penjual," kata Arlon.
Namun, Santoso Halim justru melakukan transfer ke rekening dengan atas nama pelaku Husin Ali Muhammad sebesar Rp8 miliar berdasarkan kesaksian Santoso Halim dalam Putusan Pidana No 1073/Pid.B/2018/PN.Jkt.Sel halaman 33.
Dengan kejadian tersebut, korban mengajukan permohonan blokir SHM kepada BPN. Setelah dilakukan pemblokiran Santoso Halim tidak dapat melakukan transaksi sehingga meminta pihak penjual yaitu pelaku Husin Ali Muhammad untuk membuka blokir. Kemudian, Djohan Effendi, figur yang diperankan Halim (DPO) memerintahkan Lilis Lisnawati membuka blokir kedua SHM.
“Anehnya, BPN membuka blokir tanpa melakukan cross check terhadap data Djohan Effendi asli dan Djohan Effendi, figur yang diperankan Halim (DPO). BPN juga tidak melakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada Djohan Effendi,” ungkapnya.
Akibat perbuatan persekongkolan jahat para pelaku mafia tanah, pada 6 Februari 2017 Djohan membuat laporan polisi No LP/176/K/II/PMJ/Restro JakSel. Atas laporan tersebut, pelaku Husin Ali Muhammad sudah divonis hukuman pidana selama 5 tahun.
Berdasarkan Kasasi Pidana No 562 K/Pid/2019 (Inkracht van gewijsde) karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Pemalsuan Akta Autentik dan Pemalsuan Surat sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP bersama-sama dengan Halim (DPO).
Reporter SINDOnews mencoba menghubungi Santoso Halim selaku pembeli, namun hingga berita ini dimuat yang bersangkutan tak merespons.
Seperti diberitakan, pada 16 Maret 2018 Santoso Halim menggugat Djohan Effendi perihal gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) dengan Register Perkara No 240/PDT.G/2018/PN.Jkt. Sel, dengan putusan majelis hakim menyatakan bahwa gugatan Santoso Halim tidak dapat diterima karena kurang pihak (N.O).
Majelis hakim berpendapat demikian. Santoso Halim tidak menggugat pihak yang seharusnya digugat yaitu Husin Ali Muhammad, Halim (DPO), Notaris/PPAT Lusi Indriani, serta Notaris/PPAT Vivi Novita Ranadireksa.
“Santoso Halim mengajukan banding dengan perkara No 317/Pdt/2020.PT.DKI dengan hasil putusan yang menyatakan Santoso Halim sebagai pembeli beriktikad baik, sedangkan hakim tingkat banding malah menyatakan korban Djohan Effendi telah melanggar hukum," ujar Arlon.
Tidak berhenti di situ, Djohan juga mengajukan kasasi dengan perkara No 2721 K/Pdt/2021, namun hakim kasasi menyatakan bahwa Santoso Halim adalah pembeli beriktikad baik, sehingga Djohan Effendi kalah dalam upaya hukum kasasi.
“Djohan Effendi mengajukan gugatan perdata dengan register perkara No 251/Pdt.G/2020/PN JKT.SEL sebagai respons terhadap putusan No 240/PDT.G/2018/PN.Jkt. Sel, yang menyatakan bahwa gugatan Santoso Halim tidak dapat diterima karena kurang pihak.
Namun, majelis hakim yang menangani perkara a quo menjatuhkan putusan Ne bis in Idem, karena memiliki objek perkara yang sama dengan perkara No 240/PDT.G/2018/PN.Jakarta Selatan.
Dalam putusan itu, Santoso Halim malah menarik Djohan Effendi sebagai tergugat, padahal merupakan bentuk kekeliruan dalam menarik tergugat (gemis aanhoeda nigheid). Perlu diketahui ne bis in idem hanya melekat dalam putusan yang bersifat positif.
"Karena itu, pada prinsipnya dalam putusan negatif tidak melekat ne bis in idem. Putusan No.240/PDT.G/2018/PN.Jkt. Sel., dapat disimpulkan sebagai putusan yang bersifat negatif. Karena, belum memutus mengenai pokok perkara, sehingga korban mengajukan banding dan sedang berproses di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta,” kata Arlon.
M Luthfi Adrian dan Siti Sarita sebagai ahli waris Djohan Effendi yang merupakan korban mafia tanah mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas Putusan Kasasi No. 2721 K/Pdt/2021. Pada 26 Desember 2022, berdasarkan Surat No. W10.U3/18834/HK.02/12/2022, berkas PK dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah diserahkan kepada Ketua Mahkamah Agung (MA).
Pada 15 Desember 2022, Santoso Halim dalam putusan kasasi dinyatakan pembeli beriktikad baik, Notaris/PPAT Lusi Indriani, dan Notaris/PPAT Vivi Novita Ranadireksa telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polda Metro Jaya berdasarkan Surat Penetapan Tersangka No B/18529/XII/RES.1.9/2022/Ditreskrimum atas Laporan Polisi No.LP/B/3397/VII/2021/SPKT/POLDA METRO JAYA tanggal 8 Juli 2021, yang diduga melanggar Pasal 266 KUHP dan atau Pasal 264 KUHP.
Namun, mereka tidak datang karena dalih positif Covid-19, kemudian dijadwalkan kembali pada 25 Januari 2023, serta meminta diundur lagi tanggal 6 Februari 2023.
"Terhadap tersangka Santoso Halim, tersangka Notaris/PPAT Lusi Indriani, dan tersangka Notaris/PPAT Vivi Novita Ranadireksa, sudah dilakukan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersangka," ujar Arlon.
Kuasa hukum Djohan Effendi, Arlon Sitinjak mengatakan, peristiwa yang menimpa kliennya dimulai pada Juni 2016 ketika pelaku bernama Husin Ali Muhammad menyewa rumah Djohan.
"Setelah pensiun dia sewakan rumahnya kepada Husin Ali Muhammad. Untuk meyakinkan pemilik rumah, sering dia membuat pengajian. Pak Djohan Effendi juga diundang dalam pengajian-pengajian itu," ujar Arlon, belum lama ini.
Setelah mendapat kepercayaan, pelaku Husin meminjam fotokopi dua SHM dari Djohan dengan modus menurunkan daya listrik dari 23.000 watt ke 6.000 watt. Setelah dipinjamkan, Husin menghubungi Djohan kembali dengan dalih bahwa untuk menurunkan daya listrik harus menggunakan SHM asli dengan membawa petugas PLN palsu untuk meyakinkan Djohan.
"Pada mulanya, korban tidak percaya, namun pelaku Husin membawa petugas berseragam PLN palsu yakni Fauzi (DPO) untuk meyakinkan korban," katanya.
Kemudian, pada 12 Juli 2016 korban dengan terpaksa bersedia meminjamkan 2 sertifikat asli yang diminta pelaku dan menunggu di teras rumahnya. Setelah satu jam kemudian pelaku mengembalikan kedua SHM milik korban yang ternyata telah dipalsukan.
"Di bawalah sertifikat yang asli ini ke dalam rumah tapi ditukar dengan sertifikat yang sudah dipalsukan sebelumnya. Karena sebelumnya sudah minjam yang fotokopian. Sampai di rumah dilihat-lihat kok ada yang tidak sesuai kemudian dibawa ke BPN. Setelah dicek ternyata palsu," ujarnya.
Kemudian, korban menghubungi Husin namun selalu menghindar. Husin berkelit dengan berbagai alasan mulai mengaku suratnya telah dibawa oleh orang dan berbagai alasan lain. "Akhirnya dilaporkan kepada pihak kepolisian," ucapnya.
Selang beberapa waktu kemudian, pelaku yang telah memegang sertifikat asli korban menjual kepada Santoso Halim dengan harga sebesar Rp10 miliar. Saat menjual rumah, Halim mengaku sebagai Djohan Effendi.
Pada 12 Agustus 2016 dibuat Akta Pengikatan Jual Beli No 08 dan No 09 antara Djohan Effendi, figur yang diperankan Halim (DPO) selaku penjual dengan Santoso Halim selaku pembeli di hadapan Notaris/PPAT Lusi Indriani.
Pada 22 Agustus 2016 dibuat Akta Jual Beli No 376 dan Akta Jual Beli No 377 di hadapan Notaris/PPAT Vivi Novita Ranadireksa.
“Dalam jual beli tersebut anehnya Santoso Halim tidak melakukan pembayaran atas jual beli tanah dan bangunan tersebut kepada Djohan Effendi, figur yang diperankan Halim (DPO) selaku penjual," kata Arlon.
Namun, Santoso Halim justru melakukan transfer ke rekening dengan atas nama pelaku Husin Ali Muhammad sebesar Rp8 miliar berdasarkan kesaksian Santoso Halim dalam Putusan Pidana No 1073/Pid.B/2018/PN.Jkt.Sel halaman 33.
Dengan kejadian tersebut, korban mengajukan permohonan blokir SHM kepada BPN. Setelah dilakukan pemblokiran Santoso Halim tidak dapat melakukan transaksi sehingga meminta pihak penjual yaitu pelaku Husin Ali Muhammad untuk membuka blokir. Kemudian, Djohan Effendi, figur yang diperankan Halim (DPO) memerintahkan Lilis Lisnawati membuka blokir kedua SHM.
“Anehnya, BPN membuka blokir tanpa melakukan cross check terhadap data Djohan Effendi asli dan Djohan Effendi, figur yang diperankan Halim (DPO). BPN juga tidak melakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada Djohan Effendi,” ungkapnya.
Akibat perbuatan persekongkolan jahat para pelaku mafia tanah, pada 6 Februari 2017 Djohan membuat laporan polisi No LP/176/K/II/PMJ/Restro JakSel. Atas laporan tersebut, pelaku Husin Ali Muhammad sudah divonis hukuman pidana selama 5 tahun.
Berdasarkan Kasasi Pidana No 562 K/Pid/2019 (Inkracht van gewijsde) karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Pemalsuan Akta Autentik dan Pemalsuan Surat sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP bersama-sama dengan Halim (DPO).
Reporter SINDOnews mencoba menghubungi Santoso Halim selaku pembeli, namun hingga berita ini dimuat yang bersangkutan tak merespons.
Seperti diberitakan, pada 16 Maret 2018 Santoso Halim menggugat Djohan Effendi perihal gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) dengan Register Perkara No 240/PDT.G/2018/PN.Jkt. Sel, dengan putusan majelis hakim menyatakan bahwa gugatan Santoso Halim tidak dapat diterima karena kurang pihak (N.O).
Majelis hakim berpendapat demikian. Santoso Halim tidak menggugat pihak yang seharusnya digugat yaitu Husin Ali Muhammad, Halim (DPO), Notaris/PPAT Lusi Indriani, serta Notaris/PPAT Vivi Novita Ranadireksa.
“Santoso Halim mengajukan banding dengan perkara No 317/Pdt/2020.PT.DKI dengan hasil putusan yang menyatakan Santoso Halim sebagai pembeli beriktikad baik, sedangkan hakim tingkat banding malah menyatakan korban Djohan Effendi telah melanggar hukum," ujar Arlon.
Tidak berhenti di situ, Djohan juga mengajukan kasasi dengan perkara No 2721 K/Pdt/2021, namun hakim kasasi menyatakan bahwa Santoso Halim adalah pembeli beriktikad baik, sehingga Djohan Effendi kalah dalam upaya hukum kasasi.
“Djohan Effendi mengajukan gugatan perdata dengan register perkara No 251/Pdt.G/2020/PN JKT.SEL sebagai respons terhadap putusan No 240/PDT.G/2018/PN.Jkt. Sel, yang menyatakan bahwa gugatan Santoso Halim tidak dapat diterima karena kurang pihak.
Namun, majelis hakim yang menangani perkara a quo menjatuhkan putusan Ne bis in Idem, karena memiliki objek perkara yang sama dengan perkara No 240/PDT.G/2018/PN.Jakarta Selatan.
Dalam putusan itu, Santoso Halim malah menarik Djohan Effendi sebagai tergugat, padahal merupakan bentuk kekeliruan dalam menarik tergugat (gemis aanhoeda nigheid). Perlu diketahui ne bis in idem hanya melekat dalam putusan yang bersifat positif.
"Karena itu, pada prinsipnya dalam putusan negatif tidak melekat ne bis in idem. Putusan No.240/PDT.G/2018/PN.Jkt. Sel., dapat disimpulkan sebagai putusan yang bersifat negatif. Karena, belum memutus mengenai pokok perkara, sehingga korban mengajukan banding dan sedang berproses di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta,” kata Arlon.
M Luthfi Adrian dan Siti Sarita sebagai ahli waris Djohan Effendi yang merupakan korban mafia tanah mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas Putusan Kasasi No. 2721 K/Pdt/2021. Pada 26 Desember 2022, berdasarkan Surat No. W10.U3/18834/HK.02/12/2022, berkas PK dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah diserahkan kepada Ketua Mahkamah Agung (MA).
Pada 15 Desember 2022, Santoso Halim dalam putusan kasasi dinyatakan pembeli beriktikad baik, Notaris/PPAT Lusi Indriani, dan Notaris/PPAT Vivi Novita Ranadireksa telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polda Metro Jaya berdasarkan Surat Penetapan Tersangka No B/18529/XII/RES.1.9/2022/Ditreskrimum atas Laporan Polisi No.LP/B/3397/VII/2021/SPKT/POLDA METRO JAYA tanggal 8 Juli 2021, yang diduga melanggar Pasal 266 KUHP dan atau Pasal 264 KUHP.
Namun, mereka tidak datang karena dalih positif Covid-19, kemudian dijadwalkan kembali pada 25 Januari 2023, serta meminta diundur lagi tanggal 6 Februari 2023.
"Terhadap tersangka Santoso Halim, tersangka Notaris/PPAT Lusi Indriani, dan tersangka Notaris/PPAT Vivi Novita Ranadireksa, sudah dilakukan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersangka," ujar Arlon.
(jon)