Pengoperasian Angkot Modern Bogor Akan Menambah Kemacetan
A
A
A
BOGOR - Rencana Pemkot Bogor yang mengoperasikan 25 unit angkutan kota (angkot) modern pada akhir September nanti terus menuai polemik. Pasalnya, tak sedikit sejumlah kalangan masyarakat mempertanyakan komitmen dan risiko jika angkot modern tersebut dioperasikan dengan tujuan mengurai kemacetan.
Dosen Universitas Pakuan Bogor, Trifty Qurrota Aini mengaku tak setuju dengan adanya angkot modern. Pasalnya, keberadaan angkot konvensional (biasa) saja sebagai salah satu biang kemacetan belum teratasi sekarang malah ditambah.
"Permasalahan transportasi di Kota Bogor adalah jumlah angkot yang lebih banyak dibanding penumpangnya. Bahkan saat kemacetan terjadi, lihat saja angkot malah banyak yang kosong penumpangnya," kata Aini pada wartawan Selasa (19/9/2018).
Menurut Aini, masalah kemacetan di Kota Bogor akibat terlalu banyaknya angkot sudah seharusnya dikurangi bukan ditambah. Tak hanya itu, dioperasikannya angkot modern juga diprediksi bakal menimbulkan gesekan akibat persaingan usaha transportasi.
"Keberadaan ojek online saja sempat terjadi konflik antara sopir angkot dan dengan pengemudi transportasi online. Sekarang malah ditambah, saya rasa akan menambah persaingan dan sangat tidak efektif," ujarnya.
Hal senada diungkapkan Plt Direktur Utama Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) Bambang Budianto. Bambang mempertanyakan komitmen Pemkot Bogor terkait konversi atau mengganti tiga angkot menjadi satu bus (3:1).
"Saya kira itu (pengoperasian angkot modern) sama saja, dan bertolak belakang dengan program konversi tiga angkot menjadi satu bus atau 3:1, kalau seperti itu tidak ada bedanya dengan angkot biasa, yang membedakannya kapasitas angkot itu hanya nambah satu orang dan fasilitasnya saja," ujarnya.
Bahkan, lanjut Bambang, pengoperasian angkot modern itu berseberangan dengan regulasi baik Peraturan Wali Kota (Perwali) dan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Transportasi Massal yang dimaksud adalah bus.
"Harusnya mereka bekerja sama dengan PDJT, saya kaget juga saat Pemkot dan Koperasi Angkot itu meluncurkan 25 unit angkot modern pada pekan lalu. Meski koridor yang digunakan angkot modern itu Transpakuan, tapi itu tak sesuai dengan prinsip angkutan massal. Angkot itu bukan angkutan massal. Bunyi peraturannya kan jelas angkutan massal itu adalah bus bukan Suzuki APV," ujarnya.
Sementara itu, kepala Dinas Perhubungan Kota Bogor, Rakhmawati menambahkan, skema 3:2 muncul atas permintaan badan hukum angkot yang belum sanggup langsung berubah menjadi bus."Karena untuk mengganti angkot menjadi bus membutuhkan biaya yang sangat besar dibanding mengganti angkot modern," katanya.
Dia menambahkan yang dimaksud dengan angkot modern adalah angkot yang memiliki standar pelayanan minimal perhubungan (SPMP) yakni memiliki pendingin ruangan, CCTV, dan televisi."Maka itu ada skema alternatif yakni, tiga angkot menjadi dua angkut modern, setelah tujuh tahun operasionalnya semua akan berganti menjadi bus," ucapnya.
Dosen Universitas Pakuan Bogor, Trifty Qurrota Aini mengaku tak setuju dengan adanya angkot modern. Pasalnya, keberadaan angkot konvensional (biasa) saja sebagai salah satu biang kemacetan belum teratasi sekarang malah ditambah.
"Permasalahan transportasi di Kota Bogor adalah jumlah angkot yang lebih banyak dibanding penumpangnya. Bahkan saat kemacetan terjadi, lihat saja angkot malah banyak yang kosong penumpangnya," kata Aini pada wartawan Selasa (19/9/2018).
Menurut Aini, masalah kemacetan di Kota Bogor akibat terlalu banyaknya angkot sudah seharusnya dikurangi bukan ditambah. Tak hanya itu, dioperasikannya angkot modern juga diprediksi bakal menimbulkan gesekan akibat persaingan usaha transportasi.
"Keberadaan ojek online saja sempat terjadi konflik antara sopir angkot dan dengan pengemudi transportasi online. Sekarang malah ditambah, saya rasa akan menambah persaingan dan sangat tidak efektif," ujarnya.
Hal senada diungkapkan Plt Direktur Utama Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) Bambang Budianto. Bambang mempertanyakan komitmen Pemkot Bogor terkait konversi atau mengganti tiga angkot menjadi satu bus (3:1).
"Saya kira itu (pengoperasian angkot modern) sama saja, dan bertolak belakang dengan program konversi tiga angkot menjadi satu bus atau 3:1, kalau seperti itu tidak ada bedanya dengan angkot biasa, yang membedakannya kapasitas angkot itu hanya nambah satu orang dan fasilitasnya saja," ujarnya.
Bahkan, lanjut Bambang, pengoperasian angkot modern itu berseberangan dengan regulasi baik Peraturan Wali Kota (Perwali) dan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Transportasi Massal yang dimaksud adalah bus.
"Harusnya mereka bekerja sama dengan PDJT, saya kaget juga saat Pemkot dan Koperasi Angkot itu meluncurkan 25 unit angkot modern pada pekan lalu. Meski koridor yang digunakan angkot modern itu Transpakuan, tapi itu tak sesuai dengan prinsip angkutan massal. Angkot itu bukan angkutan massal. Bunyi peraturannya kan jelas angkutan massal itu adalah bus bukan Suzuki APV," ujarnya.
Sementara itu, kepala Dinas Perhubungan Kota Bogor, Rakhmawati menambahkan, skema 3:2 muncul atas permintaan badan hukum angkot yang belum sanggup langsung berubah menjadi bus."Karena untuk mengganti angkot menjadi bus membutuhkan biaya yang sangat besar dibanding mengganti angkot modern," katanya.
Dia menambahkan yang dimaksud dengan angkot modern adalah angkot yang memiliki standar pelayanan minimal perhubungan (SPMP) yakni memiliki pendingin ruangan, CCTV, dan televisi."Maka itu ada skema alternatif yakni, tiga angkot menjadi dua angkut modern, setelah tujuh tahun operasionalnya semua akan berganti menjadi bus," ucapnya.
(whb)