Kasus Gizi Buruk di Tangsel Butuh Penanganan Terpadu
A
A
A
TANGERANG SELATAN - Kasus gizi buruk di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) memerlukan penanganan secara terpadu, baik dari berbagai dinas di daerah hingga pemerintahan pusat. Jika upaya itu dilakukan secara konsisten, maka harapan untuk memotong mata rantai penyebab munculnya kasus tersebut semakin nyata.
Secara teritori, keberadaan Kota Tangsel menjadi salah satu kota penyangga Ibu Kota Jakarta. Didalamnya, nyaris semua distribusi pembangunan dan kebijakan berjalan linear dengan apa yang dilakukan Jakarta, termasuk untuk soal kesejahteraan sekalipun.
Namun rupanya, jumlah penduduk Kota Tangsel yang kini mencapai sekira 1,6 juta jiwa memberikan tantangan tersendiri bagi pemerintahan daerah. Mengingat sepanjang awal tahun 2018 saja, setidaknya ada 59 Balita yang terdiagnosa mengidap gizi buruk.
Data itu diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Tangsel. Dijelaskan disana, dari 59 kasus gizi buruk, sebanyak 26 Balita dinyatakan sembuh. Sementara 33 kasus lainnya masih dalam penanganan, dengan rincian 10 kasus akibat penyakit penyerta, dan 23 kasus akibat salah pola asuh.
Anggota Komisi II DPRD Kota Tangsel yang membidangi kesehatan, Ratu Chumairoh Noor, mengatakan, kasus gizi buruk harus ditangani secara komprehensif. Dimana turut melibatkan semua stake holder, instansi dan lintas sektoral, dengan berkontribusi sesuai perannya masing-masing.
"Diperlukan kerjasama dan dukungan dari stakeholder (lintas sektor) dalam pemberdayaan masyarakat, ini sangat perlu, agar tuntaa dan tak muncul kembali. Khususnya bagi Dinas Kesehatan Tangsel dan juga Puskesmas, harus mempunyai perencanaan program dan intervensi tepat sasaran mengenai kasus itu," katanya, Minggu 1 April 2018.
Faktor pendidikan keluarga yang tak memadai, turut memengaruhi kesadaran dalam menjaga pola hidup sehat. Semua itu, tentu berkorelasi dengan faktor lainnya, terutama kondisi ekonomi penderita.
Hal itulah yang mengharuskan penanganannya juga melibatkan dinas sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DPMPPPAKB ), Dinas Ketenagakerjaan, dan instansi lainnya.
Disamping itu, dijelaskan Chumairoh, dibutuhkan pula pelatihan dan penyuluhan kepada tenaga kesehatan di tingkat Puskesmas agar rutin memantau pertumbuhan Balita di Posyandu, memberikan konseling pentingnya menyusui dan pemberian Makanan Pendamping ASI (MP ASI), serta Pemberian Makanan Tambahan (PMT).
"Dan juga perlunya pendidikan serta pelatihan secara khusus bagi petugas kesehatan dan kader posyandu dalam melakukan pengukuran Antropometri secara benar, sehingga didapatkan Prevalensi status gizi Balita yang valid dan Reliable," jelasnya.
Sebelumnya, kasus gizi buruk di Kota Tangsel telah merenggut 1 korban jiwa, yakni bayi berumur 17 bulan yang meninggal dunia pada Agustus 2017 lalu di daerah Pondok Benda, Pamulang. Meski diketahui, kejadian yang menimpa bayi malang itu disertai pula dengan penyakit penyerta sejak dalam usia kandungan.
Secara teritori, keberadaan Kota Tangsel menjadi salah satu kota penyangga Ibu Kota Jakarta. Didalamnya, nyaris semua distribusi pembangunan dan kebijakan berjalan linear dengan apa yang dilakukan Jakarta, termasuk untuk soal kesejahteraan sekalipun.
Namun rupanya, jumlah penduduk Kota Tangsel yang kini mencapai sekira 1,6 juta jiwa memberikan tantangan tersendiri bagi pemerintahan daerah. Mengingat sepanjang awal tahun 2018 saja, setidaknya ada 59 Balita yang terdiagnosa mengidap gizi buruk.
Data itu diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Tangsel. Dijelaskan disana, dari 59 kasus gizi buruk, sebanyak 26 Balita dinyatakan sembuh. Sementara 33 kasus lainnya masih dalam penanganan, dengan rincian 10 kasus akibat penyakit penyerta, dan 23 kasus akibat salah pola asuh.
Anggota Komisi II DPRD Kota Tangsel yang membidangi kesehatan, Ratu Chumairoh Noor, mengatakan, kasus gizi buruk harus ditangani secara komprehensif. Dimana turut melibatkan semua stake holder, instansi dan lintas sektoral, dengan berkontribusi sesuai perannya masing-masing.
"Diperlukan kerjasama dan dukungan dari stakeholder (lintas sektor) dalam pemberdayaan masyarakat, ini sangat perlu, agar tuntaa dan tak muncul kembali. Khususnya bagi Dinas Kesehatan Tangsel dan juga Puskesmas, harus mempunyai perencanaan program dan intervensi tepat sasaran mengenai kasus itu," katanya, Minggu 1 April 2018.
Faktor pendidikan keluarga yang tak memadai, turut memengaruhi kesadaran dalam menjaga pola hidup sehat. Semua itu, tentu berkorelasi dengan faktor lainnya, terutama kondisi ekonomi penderita.
Hal itulah yang mengharuskan penanganannya juga melibatkan dinas sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DPMPPPAKB ), Dinas Ketenagakerjaan, dan instansi lainnya.
Disamping itu, dijelaskan Chumairoh, dibutuhkan pula pelatihan dan penyuluhan kepada tenaga kesehatan di tingkat Puskesmas agar rutin memantau pertumbuhan Balita di Posyandu, memberikan konseling pentingnya menyusui dan pemberian Makanan Pendamping ASI (MP ASI), serta Pemberian Makanan Tambahan (PMT).
"Dan juga perlunya pendidikan serta pelatihan secara khusus bagi petugas kesehatan dan kader posyandu dalam melakukan pengukuran Antropometri secara benar, sehingga didapatkan Prevalensi status gizi Balita yang valid dan Reliable," jelasnya.
Sebelumnya, kasus gizi buruk di Kota Tangsel telah merenggut 1 korban jiwa, yakni bayi berumur 17 bulan yang meninggal dunia pada Agustus 2017 lalu di daerah Pondok Benda, Pamulang. Meski diketahui, kejadian yang menimpa bayi malang itu disertai pula dengan penyakit penyerta sejak dalam usia kandungan.
(mhd)