Duel ala Gladiator Antarpelajar Kembali Terulang, Ini Kata Psikolog

Minggu, 26 November 2017 - 20:28 WIB
Duel ala Gladiator Antarpelajar...
Duel ala Gladiator Antarpelajar Kembali Terulang, Ini Kata Psikolog
A A A
DEPOK - Duel ala gladiator antarpelajar kembali terulang di Bogor. Duel yang melibatkan enam siswa SMP ini menyebabkan seorang pelajar tewas mengenaskan atas nama AR (16). Menanggapi terulangnya kembali duel ala gladiator antarpelajar ini, psikolog meminta pendampingan maupun pengawasan dari orang tua, pihak sekolah, maupun masyarakat, semakin ditingkatkan.

Psikolog dari Universitas Pancasila Aully Grashinta mengatakan, masih adanya pelajar yang terlibat adu jotos hingga menyebabkan kematian menandakan labilnya mereka secara kejiwaan. Karena pada dasarnya, remaja berada pada proses pencarian identitas.

Sebagian remaja berusaha menemukan identitasnya dengan kegiatan positif, seperti berorganisasi (OSIS), berprestasi di berbagai ekstra kurikuler, baik olahraga, seni, sosial kemasyarakatan, ilmiah dan sebagainya.

Namun tidak semua siswa berkesampatan untuk mengarahkan energinya dalam mencari identitas dengan positif. "Yang sebagian ini lebih mencari identitas diri dengan cara yang kadang tidak masuk akal bagi orang dewasa, seperti tawuran," ujar Aully Grashinta kepada KORAN SINDO, Minggu (26/11/2017).

Tawuran sebenarnya adalah ajang menunjukkan eksistensi. Begitu juga duel maut ala gladiator yang menyebabkan seorang pelajar tewas di Bogor. Mereka bertindak demikian karena pemikiran mereka tidak panjang.

"Mereka hanya memikirkan yang penting tampil dan menemukan ‘kebanggaan’ diri. Mereka tidak berpikir lebih jauh atas konsekuensi yang mungkin terjadi. Mulai luka, patah tulang, hingga kematian," tukasnya. (Baca: Kondisi Pelajar Korban Duel ala Gladiator Sangat Mengenaskan)

Mereka juga lebih mengedepankan prinsip trial and error. Artinya kalau belum merasakan sendiri konsekuensinya mereka tidak lansung percaya. Ini juga salah satu bentuk ‘rebel’ pada usia remaja.

Karenanya, kata dia, pada usia ini pendampingan dan pengawasan dari orang tua, sekolah, maupun lingkungan masyarakat yang lebih luas, tetap tidak boleh dikurangi dibandingkan masa anak-anak sebelumnya. "Hanya saja cara pengawasannya yang bisa berbeda," ungkapnya.

Ia menjelaskan, kenakalan anak pada usia remaja disebut juvenille deliquence. Hal ini terjadi di mana dorongan emosi belum dapat dikendalikan dengan baik. Selain itu kemampuan berpikir abstrak akan konsekuensi logis juga belum berkembang optimal.

"Dampaknya, keputusan yang diambil menjadi seringkali kurang tepat dan membahayakan baik untuk diri sendiri maupun orang lain," pungkasnya.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0865 seconds (0.1#10.140)