DKI Sindir Kebijakan Pusat soal Penanganan Ojek Online
A
A
A
JAKARTA - Penanganan ojek berbasis aplikasi online hingga kini masih dilematis bagi pemerintah daerah. Di satu sisi muncul anggapan bahwa setelah putusan Mahkamah Agung keluar penanganan ojek online tidak maksimal dan seakan dibiarkan liar tanpa aturan.
Di sisi lain ojek online dianggap memberikan keuntungan bagi masyarakat. Penghasilan masyarakat bertambah dengan menyambil sebagai jasa angkutan online. Sementara tanpa aturan mengikat, menjamurnya ojek online menimbulkan kontroversi.
Akibatnya, gesekan dengan pengemudi ojek konvensional kerap terjadi. Imbasnya, banyak pengemudi ojek online akhirnya ketakutan sehingga pengangguran kembali semakin bertambah.
Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi (Kadishubtrans) DKI Jakarta, Andriansah, mengatakan, dibandingkan dengan daerah lain aturan ojek online di Jakarta jauh lebih bijak. Sebab, ojek online beroperasi tanpa adanya kouta maupun syarat tertentu, terkecuali KIR maupun perizinan.
"Ini merupakan imbas dari perkembangan teknologi yang tidak bisa dihalangin," tutur Andriansyah saat menghadiri diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (17/10/2017).
Andriansyah mengakui pihaknya belum bisa menangani ojek online. Sebab, pemerintah pusat melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) juga belum bisa berbuat banyak. Tindakan keras dengan mensuspend aplikasi maupun provider yang membandel tak kunjung dilakukan oleh Kementerian Kominfo.
"Inilah yang membuat aturan apapun menjadi sia sia. Seharusnya tegakkan dulu aturannya, baru bikin aturan lainnya. Ini mah aturan lama tidak tegas, malah buat aturan baru," kata Andriansyah seakan menyindir Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 26/2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Andriansyah menyebutkan, dalam aturannya aplikasi ojek online harus memiliki badan hukum dan merujuk undang-undang penyedian jasa transportasi. Di Jakarta, aturan demikian tak diterapkan oleh Kemenhub maupun Kementerian Kominfo.
Mestinya, selain memiliki badan hukum, armadanya juga harus mempunyai penyelenggara jasa transportasi (provider), harus memeliki kir, setelah itu barulah pengemudi bekerjasama. "Di sini perekrutan driver harus melalui badan hukum," tuturnya.
Akibat aturan transportasi online belum diberlakukan, keberadaan ojek online belum memberikan keuntungan bagi DKI, terutama dari sisi pajak. Dari ribuan kendaraan online yang beredar di Jakarta, belum satupun yang membayar pajak jasa.
Padahal dalam pelaksanaannya penerapan pajak jasa cukup mudah. Cukup dengan menambah persentase jasa antarsetiap transaksi online. "Sayangnya pelaksanaan ini belum ada aturannya, jadi kami belum bisa menarik pajak," tutupnya.
Di sisi lain ojek online dianggap memberikan keuntungan bagi masyarakat. Penghasilan masyarakat bertambah dengan menyambil sebagai jasa angkutan online. Sementara tanpa aturan mengikat, menjamurnya ojek online menimbulkan kontroversi.
Akibatnya, gesekan dengan pengemudi ojek konvensional kerap terjadi. Imbasnya, banyak pengemudi ojek online akhirnya ketakutan sehingga pengangguran kembali semakin bertambah.
Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi (Kadishubtrans) DKI Jakarta, Andriansah, mengatakan, dibandingkan dengan daerah lain aturan ojek online di Jakarta jauh lebih bijak. Sebab, ojek online beroperasi tanpa adanya kouta maupun syarat tertentu, terkecuali KIR maupun perizinan.
"Ini merupakan imbas dari perkembangan teknologi yang tidak bisa dihalangin," tutur Andriansyah saat menghadiri diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (17/10/2017).
Andriansyah mengakui pihaknya belum bisa menangani ojek online. Sebab, pemerintah pusat melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) juga belum bisa berbuat banyak. Tindakan keras dengan mensuspend aplikasi maupun provider yang membandel tak kunjung dilakukan oleh Kementerian Kominfo.
"Inilah yang membuat aturan apapun menjadi sia sia. Seharusnya tegakkan dulu aturannya, baru bikin aturan lainnya. Ini mah aturan lama tidak tegas, malah buat aturan baru," kata Andriansyah seakan menyindir Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 26/2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Andriansyah menyebutkan, dalam aturannya aplikasi ojek online harus memiliki badan hukum dan merujuk undang-undang penyedian jasa transportasi. Di Jakarta, aturan demikian tak diterapkan oleh Kemenhub maupun Kementerian Kominfo.
Mestinya, selain memiliki badan hukum, armadanya juga harus mempunyai penyelenggara jasa transportasi (provider), harus memeliki kir, setelah itu barulah pengemudi bekerjasama. "Di sini perekrutan driver harus melalui badan hukum," tuturnya.
Akibat aturan transportasi online belum diberlakukan, keberadaan ojek online belum memberikan keuntungan bagi DKI, terutama dari sisi pajak. Dari ribuan kendaraan online yang beredar di Jakarta, belum satupun yang membayar pajak jasa.
Padahal dalam pelaksanaannya penerapan pajak jasa cukup mudah. Cukup dengan menambah persentase jasa antarsetiap transaksi online. "Sayangnya pelaksanaan ini belum ada aturannya, jadi kami belum bisa menarik pajak," tutupnya.
(thm)