Kebijakan Tarif Atas dan Bawah Taksi Online Dinilai Bukan Solusi
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan pemerintah menetapkan tarif atas dan bawah pada angkutan taksi online dinilai bukan menjadi solusi menjaga persaingan bisnis dengan taksi konvensional. Penegakan hukum persyaratan taksi online yang harus dikedepankan untuk menjaga kompetisi taksi online dan konvensional.
Ketua Penelitian dan Pengembangan (litbang) Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ, Leksmono Suryo Putranto mengatakan, kebijakan penetapan tarif atas dan bawah pada 1 April mendatang itu menambah bukti bila pemerintah tidak memiliki pembinaan terhadap angkutan umum baik itu angkutan online ataupun konvensional. Sebab, tarif atas dan bawah yang sudah diterapkan pada taksi konvensional saja akhirnya membuat taksi konvensional memberlakukan tarif bawah meski tidak menguntungkan jika dibandingkan dengan opersional sesuai peraturan yang berlaku.
"Pemerintah enggak jelas, dasar hitunganya apa menetapkan tarif atas dan bawah?. Angkutan dalam trayek saja masih ada trayek gemuk dan kurus. Apalagi angkutan nontrayek seperti taksi. Intinya adalah pemerintah tidak memiliki pembinaan terhadap angkutan umum," kata Leksmono Suryo Putranto saat dihubungi, Kamis (16/3/2017).
Pengamat transportasi Universitas Tarumanegara itu menjelaskan, kebijakan penetapan tarif atas dan bawah itu merupakan mekanisme pasar, bukan mekanisme flurry regulated. Kebijakan penetapan tarif atas dan bawah tidak memerlukan regulasi.
Sehingga, kalau dibebaskan regulasi seperti itu, pastinya ada pelanggaran hukum. Leksmono pun meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan berkordinasi dengan pihak kepolisian dalam pengawasan pelanggaran hukumnya apabila benar kebijakan tarif diberlakukan pada 1 April mendatang dengan begitu, keselamatan penumpang bisa dijamin.
"Aturan tarif atas dan bawah itu merugikan konsumen karena polisi hanya bisa menindak pelanggaran lalu lintas, bukan pelanggaran aturan keselamatan. Konflik taksi online dan konvensional juga akan tetap terjadi. Kan taksi konvensional itu mengikuti regulasi, jadi tarifnya sesuai operasional yang disesuaikan dengan regulasi itu," ungkapnya.
Satu-satunya solusi untuk mensetarakan persiangan taksi online dan konvensional, Leksmono adalah menjalankan mekanisme flurry regulateg. Di mana, regulasi taksi konvensional seperti aturan berbadan hukum, memiliki mobil minimal lima unit, uji KIR, pengemudi wajib SIM A umum dan sebagainya itu harus dipatuhi oleh pebisnis taksi online.
Apalagi regulasi tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No 32/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
"Kalau penegakan hukum soal regulasi itu ditegakkan dan ditambah adanya studi yang menjelaskan tidak benar pangsa pasar konvensional diambil oleh taksi online, pastinya tidak akan ada konflik antara taksi online dan konvensional," ungkapnya.
Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta Shafruhan Sinungan sepakat dengan Leksmono bila pemerintah tidak bisa membina angkutan umum. Bahkan Shafruhan menuturkan, bila pemerintah tengah membinasakan angkutan umum yang telah membantunya selama puluhan tahun dalam membilisiasi masyarakat.
Tidak adanya penegakan hukum terhadap produk hukum yang diciptakanya sendiri sejak delapan bulan lalu, lanjut Shafruhan, Kementerian Perhubungan tidak bisa mengendalikan pertumbuhan taksi online.
"Pertumbuhan taksi online yang hanya menekankan pada tarif atas dan bawah pastinya membuat masih angkutan online. Dengan kondisi tersebut, berimbas dengan ambruknya bisnis angkutan darat di tahun 2016. Penurunan omzet seluruh moda transportasi seperti taksi konvensional, bajaj, mikrolet, turun 30-50%," ujarnya.
Ketua Penelitian dan Pengembangan (litbang) Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ, Leksmono Suryo Putranto mengatakan, kebijakan penetapan tarif atas dan bawah pada 1 April mendatang itu menambah bukti bila pemerintah tidak memiliki pembinaan terhadap angkutan umum baik itu angkutan online ataupun konvensional. Sebab, tarif atas dan bawah yang sudah diterapkan pada taksi konvensional saja akhirnya membuat taksi konvensional memberlakukan tarif bawah meski tidak menguntungkan jika dibandingkan dengan opersional sesuai peraturan yang berlaku.
"Pemerintah enggak jelas, dasar hitunganya apa menetapkan tarif atas dan bawah?. Angkutan dalam trayek saja masih ada trayek gemuk dan kurus. Apalagi angkutan nontrayek seperti taksi. Intinya adalah pemerintah tidak memiliki pembinaan terhadap angkutan umum," kata Leksmono Suryo Putranto saat dihubungi, Kamis (16/3/2017).
Pengamat transportasi Universitas Tarumanegara itu menjelaskan, kebijakan penetapan tarif atas dan bawah itu merupakan mekanisme pasar, bukan mekanisme flurry regulated. Kebijakan penetapan tarif atas dan bawah tidak memerlukan regulasi.
Sehingga, kalau dibebaskan regulasi seperti itu, pastinya ada pelanggaran hukum. Leksmono pun meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan berkordinasi dengan pihak kepolisian dalam pengawasan pelanggaran hukumnya apabila benar kebijakan tarif diberlakukan pada 1 April mendatang dengan begitu, keselamatan penumpang bisa dijamin.
"Aturan tarif atas dan bawah itu merugikan konsumen karena polisi hanya bisa menindak pelanggaran lalu lintas, bukan pelanggaran aturan keselamatan. Konflik taksi online dan konvensional juga akan tetap terjadi. Kan taksi konvensional itu mengikuti regulasi, jadi tarifnya sesuai operasional yang disesuaikan dengan regulasi itu," ungkapnya.
Satu-satunya solusi untuk mensetarakan persiangan taksi online dan konvensional, Leksmono adalah menjalankan mekanisme flurry regulateg. Di mana, regulasi taksi konvensional seperti aturan berbadan hukum, memiliki mobil minimal lima unit, uji KIR, pengemudi wajib SIM A umum dan sebagainya itu harus dipatuhi oleh pebisnis taksi online.
Apalagi regulasi tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No 32/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
"Kalau penegakan hukum soal regulasi itu ditegakkan dan ditambah adanya studi yang menjelaskan tidak benar pangsa pasar konvensional diambil oleh taksi online, pastinya tidak akan ada konflik antara taksi online dan konvensional," ungkapnya.
Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta Shafruhan Sinungan sepakat dengan Leksmono bila pemerintah tidak bisa membina angkutan umum. Bahkan Shafruhan menuturkan, bila pemerintah tengah membinasakan angkutan umum yang telah membantunya selama puluhan tahun dalam membilisiasi masyarakat.
Tidak adanya penegakan hukum terhadap produk hukum yang diciptakanya sendiri sejak delapan bulan lalu, lanjut Shafruhan, Kementerian Perhubungan tidak bisa mengendalikan pertumbuhan taksi online.
"Pertumbuhan taksi online yang hanya menekankan pada tarif atas dan bawah pastinya membuat masih angkutan online. Dengan kondisi tersebut, berimbas dengan ambruknya bisnis angkutan darat di tahun 2016. Penurunan omzet seluruh moda transportasi seperti taksi konvensional, bajaj, mikrolet, turun 30-50%," ujarnya.
(whb)