PKL Padati Kolong Jembatan Flyover Slipi
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah pedagang kaki lima (PKL) mulai memadati kolong jembatan (flyover) Slipi, Palmerah, Jakarta Barat. Jalan penghubung Jalan Brigjend Katamso dengan KS Tubun itu seharusnya dijadikan taman atau lahan terbuka hijau.
Amel (45), salah seorang pedagang mainan di kawasan itu mengaku sudah lima tahun berdagang. Dipilihnya kawasan itu menjadi tempat berdagang karena murahnya pajak bila dibandingkan berdagang di pasar resmi.
"Yah namanya dagang kadang untung kadang tidak. Tapi yah lumayan lah dagang di sini," ujar pedagang dengan keuntungan Rp100 ribu per hari itu saat ditemui SINDO di lokasi, Selasa 5 Mei 2015.
Dia juga mengakui, setiap harinya harus membayar Rp10 ribu kepada salah satu ormas yang mengelola kawasan itu. Walaupun itu dikelola ormas, kata dia, lokasi berdagangnya itu cukup nyaman dan terawat.
Senada dengan Amel, PKL lainnya Lina (45), mengatakan, sejak dirinya berdagang di bawah kolong itu keuntungan yang diperoleh dari pegawai swasta yang ada di kawasan itu. Dalam setiap harinya, pedagang mi ayam ini mengaku, mampu menjual sedikitnya 50 mangkok dengan harga Rp10 ribu untuk satu mangkok.
Janda dua anak ini mengaku bersyukur bisa berjualan di kawasan itu selama dua tahun terakhir. Menurutnya, saat ini banyak pedagang yang ingin berjualan di kawasan ini.
"Di sini saja ada tiga pedagang mi ayam, dua ada di luar. Kalau kami enggak dekat-dekat banget sama pengelola, yah mana mungkin kami (berjualan) di sini," tuturnya.
Demi menjaga kenyaman para konsumen, pihak pengelola pun membuatkan sebuah tempat ibadah (musalah) yang cukup nyaman di kawasan itu. Apabila waktu salat tiba, musala itu ramai buat warga melakukan ibadah di situ. "Tempatnya teduh jadi enak buat salat," ujar Febri (29), salah seorang pegawai swasta.
Terpisah, Ipang Yudistira (19), karyawan outsourching BCA mengku, sudah seringkali makan di kawasan itu. Murahnya harga dibandingkan dengan kantin kantornya menjadi alasan dirinya memilih mencari makan di wilayah itu.
"Beda hampir setengah mas, misalnya harga soto mi saja, di sini (kolong jembatan) cuma Rp10 ribu, kalau di kantin kantor bisa sampai Rp20 ribu," jelasnya.
Sementara itu, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol) PP Jakarta Barat Kadiman Sitinjak mengaku sudah mengetahui soal banyak PKL di bawah fly over itu. Menurutnya, sudah sering pihaknya melakukan penertiban dikawasan itu, namun berulang kali ditertibkan PKL kembali berdagang di kawasan itu.
"Sebenanya solusinya di relokasi ke Pasar Slipi, coba tanya camat (Palmerah) penanganannya PKL disitu oleh beliau," tutupnya.
Berdasarkan pantauan SINDO, di bawah jalan fly over yang membelah Jalan S Parman itu seharusnya dijadikan taman atau lahan terbuka hijau itu mulai di penuhi oleh puluhan pedagang baik makanan, aksesoris, hingga mainan anak. Konsumen di kawasan itu, kebanyakan karyawan swasta yang bekerja di sekitar lokasi tampak memenuhi saat jam makan siang.
Para PKL di kawasan itu terorganisir dengan baik, tatanan meja tampak serasi dengan gerobak para PKL. Di pinggirannya terdapat sejumlah tanaman setinggi dua hingga tiga meter, membuat suasana menjadi sejuk.
Untuk kerapihan dan kebersihan, sekelompok ormas Betawi mengkoordinir kawasan itu hingga menjadi tertata.
Amel (45), salah seorang pedagang mainan di kawasan itu mengaku sudah lima tahun berdagang. Dipilihnya kawasan itu menjadi tempat berdagang karena murahnya pajak bila dibandingkan berdagang di pasar resmi.
"Yah namanya dagang kadang untung kadang tidak. Tapi yah lumayan lah dagang di sini," ujar pedagang dengan keuntungan Rp100 ribu per hari itu saat ditemui SINDO di lokasi, Selasa 5 Mei 2015.
Dia juga mengakui, setiap harinya harus membayar Rp10 ribu kepada salah satu ormas yang mengelola kawasan itu. Walaupun itu dikelola ormas, kata dia, lokasi berdagangnya itu cukup nyaman dan terawat.
Senada dengan Amel, PKL lainnya Lina (45), mengatakan, sejak dirinya berdagang di bawah kolong itu keuntungan yang diperoleh dari pegawai swasta yang ada di kawasan itu. Dalam setiap harinya, pedagang mi ayam ini mengaku, mampu menjual sedikitnya 50 mangkok dengan harga Rp10 ribu untuk satu mangkok.
Janda dua anak ini mengaku bersyukur bisa berjualan di kawasan itu selama dua tahun terakhir. Menurutnya, saat ini banyak pedagang yang ingin berjualan di kawasan ini.
"Di sini saja ada tiga pedagang mi ayam, dua ada di luar. Kalau kami enggak dekat-dekat banget sama pengelola, yah mana mungkin kami (berjualan) di sini," tuturnya.
Demi menjaga kenyaman para konsumen, pihak pengelola pun membuatkan sebuah tempat ibadah (musalah) yang cukup nyaman di kawasan itu. Apabila waktu salat tiba, musala itu ramai buat warga melakukan ibadah di situ. "Tempatnya teduh jadi enak buat salat," ujar Febri (29), salah seorang pegawai swasta.
Terpisah, Ipang Yudistira (19), karyawan outsourching BCA mengku, sudah seringkali makan di kawasan itu. Murahnya harga dibandingkan dengan kantin kantornya menjadi alasan dirinya memilih mencari makan di wilayah itu.
"Beda hampir setengah mas, misalnya harga soto mi saja, di sini (kolong jembatan) cuma Rp10 ribu, kalau di kantin kantor bisa sampai Rp20 ribu," jelasnya.
Sementara itu, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol) PP Jakarta Barat Kadiman Sitinjak mengaku sudah mengetahui soal banyak PKL di bawah fly over itu. Menurutnya, sudah sering pihaknya melakukan penertiban dikawasan itu, namun berulang kali ditertibkan PKL kembali berdagang di kawasan itu.
"Sebenanya solusinya di relokasi ke Pasar Slipi, coba tanya camat (Palmerah) penanganannya PKL disitu oleh beliau," tutupnya.
Berdasarkan pantauan SINDO, di bawah jalan fly over yang membelah Jalan S Parman itu seharusnya dijadikan taman atau lahan terbuka hijau itu mulai di penuhi oleh puluhan pedagang baik makanan, aksesoris, hingga mainan anak. Konsumen di kawasan itu, kebanyakan karyawan swasta yang bekerja di sekitar lokasi tampak memenuhi saat jam makan siang.
Para PKL di kawasan itu terorganisir dengan baik, tatanan meja tampak serasi dengan gerobak para PKL. Di pinggirannya terdapat sejumlah tanaman setinggi dua hingga tiga meter, membuat suasana menjadi sejuk.
Untuk kerapihan dan kebersihan, sekelompok ormas Betawi mengkoordinir kawasan itu hingga menjadi tertata.
(mhd)