Gaya Tawar Menawar di Pasar Tradisional Ditakuti Bangsa Eropa
A
A
A
MUNGKIN sudah lazim jika perempuan akan melakukan tawar menawar dengan pedagang di pasar tradisional. Ternyata, hal ini sangat ditakuti bangsa Eropa pada zaman dahulu.
Seiring perkembangan zaman, keberadaan pasar tradisional sudah langka di Jakarta. Lambat laun, keberadaan pasar tradisional berganti rupa pasar modern yang megah.
Ada yang hilang dalam tradisi pasar tradisional ini, yakni aksi tawar menawar antara pembeli dan penjual. Biasanya, pembeli yang kebanyakan kaum wanita akan berjuang keras menawar harga semurah mungkin. Sedangkan pedagang, akan bertahan untuk mendapatkan untung yang lumayan.
Ternyata, tawar menawar di pasar tradisional ini sudah ada sejak zaman kerajaan di nusantara. Kondisi ini sangat ditakuti bangsa Eropa karena mereka memang tidak dibekali ilmu tersebut ketika sedang bertransaksi membeli rempah-rempah dari pedagang.
Seperti ditulis Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia Jilid 2. Sedikit satir, Lombard menyebut praktik tawar-menawar sebagai “ciri kekunoan yang ada di mana-mana.” di Jawa dan sejumlah negara Asia lainnya.
Tidak seperti pasar modern, di pasar tradisional tidak terdapat daftar harga dan segala transaksi hanya terjadi setelah ada perdebatan yang relatif panjang. Dalam kesempatan itu, masing-masing pihak dapat menunjukkan bakatnya secara terang-terangan.
“Bangsa Eropa sering kali jengkel menghadapi permainan ini, karena mereka tidak dibekali keterampilan itu dan seringkali mereka menjadi korban. Secara umum, mereka menolak cara penilaian ‘menurut pandangan klien’, yang mereka anggap barbar dan menakutkan,” tulis Lombard.
Berdasarkan catatan sejumlah orang Eropa yang sempat singgah di nusantara, diketahui kalau perempuan paling berperan dalam melakukan transaksi keuangan dan perniagaan.
Antonio Galvao, seorang panglima armada Portugis yang menjadi gubernur ketujuh Portugis di Maluku (1536-1540), mencatat peran perempuan Maluku dalam perniagaan. “Wanitalah yang melakukan tawar-menawar, membuka usaha, membeli dan menjual,” tulis Galvao, dikutip sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680.
Di Sumatera, menurut Anthony Reid, sebuah puisi Minangkabau terkenal yang ditulis pada 1820-an, menganjurkan agar kaum ibu mengajarkan anak-anak gadisnya mengamati turun-naiknya harga. Ini menjadi bekal bagi si gadis ketika berbelanja ke pasar.
Seperti halnya perempuan Maluku dan Sumatra, perempuan Jawa juga berperan penting di pasar. Menurut Thomas Stanford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1811-1816), sudah lazim bagi suami mempercayakan seluruh urusan keuangan kepada istrinya.
“Hanya perempuan yang pergi ke pasar dan melakukan seluruh urusan jual-beli. Sudah umum diketahui bahwa kaum lelaki Jawa sangat bodoh dalam mengurus uang,” tulis Raffles dalam The History of Java.
(Sumber: Diolah dari website historia)
Seiring perkembangan zaman, keberadaan pasar tradisional sudah langka di Jakarta. Lambat laun, keberadaan pasar tradisional berganti rupa pasar modern yang megah.
Ada yang hilang dalam tradisi pasar tradisional ini, yakni aksi tawar menawar antara pembeli dan penjual. Biasanya, pembeli yang kebanyakan kaum wanita akan berjuang keras menawar harga semurah mungkin. Sedangkan pedagang, akan bertahan untuk mendapatkan untung yang lumayan.
Ternyata, tawar menawar di pasar tradisional ini sudah ada sejak zaman kerajaan di nusantara. Kondisi ini sangat ditakuti bangsa Eropa karena mereka memang tidak dibekali ilmu tersebut ketika sedang bertransaksi membeli rempah-rempah dari pedagang.
Seperti ditulis Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia Jilid 2. Sedikit satir, Lombard menyebut praktik tawar-menawar sebagai “ciri kekunoan yang ada di mana-mana.” di Jawa dan sejumlah negara Asia lainnya.
Tidak seperti pasar modern, di pasar tradisional tidak terdapat daftar harga dan segala transaksi hanya terjadi setelah ada perdebatan yang relatif panjang. Dalam kesempatan itu, masing-masing pihak dapat menunjukkan bakatnya secara terang-terangan.
“Bangsa Eropa sering kali jengkel menghadapi permainan ini, karena mereka tidak dibekali keterampilan itu dan seringkali mereka menjadi korban. Secara umum, mereka menolak cara penilaian ‘menurut pandangan klien’, yang mereka anggap barbar dan menakutkan,” tulis Lombard.
Berdasarkan catatan sejumlah orang Eropa yang sempat singgah di nusantara, diketahui kalau perempuan paling berperan dalam melakukan transaksi keuangan dan perniagaan.
Antonio Galvao, seorang panglima armada Portugis yang menjadi gubernur ketujuh Portugis di Maluku (1536-1540), mencatat peran perempuan Maluku dalam perniagaan. “Wanitalah yang melakukan tawar-menawar, membuka usaha, membeli dan menjual,” tulis Galvao, dikutip sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680.
Di Sumatera, menurut Anthony Reid, sebuah puisi Minangkabau terkenal yang ditulis pada 1820-an, menganjurkan agar kaum ibu mengajarkan anak-anak gadisnya mengamati turun-naiknya harga. Ini menjadi bekal bagi si gadis ketika berbelanja ke pasar.
Seperti halnya perempuan Maluku dan Sumatra, perempuan Jawa juga berperan penting di pasar. Menurut Thomas Stanford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1811-1816), sudah lazim bagi suami mempercayakan seluruh urusan keuangan kepada istrinya.
“Hanya perempuan yang pergi ke pasar dan melakukan seluruh urusan jual-beli. Sudah umum diketahui bahwa kaum lelaki Jawa sangat bodoh dalam mengurus uang,” tulis Raffles dalam The History of Java.
(Sumber: Diolah dari website historia)
(ysw)