Pajak Restoran di Jakarta Belum Tergarap Optimal
A
A
A
JAKARTA - Jakarta Budgeting Watch (JBW) menduga banyak pelaku usaha restoran di Ibu Kota yang enggan membayar pajak. Akibatnya potensi pendapatan asli daerah (PAD) DKI Jakarta tidak maksimal.
Koordintor JBW S Andyka menuturkan, saat ini diduga banyak usaha di tengah kota tidak membayar pajak terutama dari sektor restoran.
"Di sini terjadi berbagai macam modus untuk mengurangi kewajiban membayar pajak ke negara atau daerah," kata Andyka kepada wartawan di Balai Kota, Rabu (29/10/2014).
Andyka menuturkan, ada beberapa hal yang menyebabkan tak terpungutnya pajak restoran. Di antaranya, karena belum adanya validasi wajib pajak di tengah masyarakat.
Sehingga PAD tidak terlalu banyak. Padahal dunia usaha mengalami pertumbuhan.
Tentunya perlu unit usaha yang pantas dikenakan pajak dan ada pula yang dibebaskan, karena kondisi siklus usahanya.
Selain itu ditenggarai ada data wajib pajak yang belum divalidasi itu, tapi dalam taksiran memenuhi syarat membayar pajak.
"Saya curiga ada negosiasi antara petugas dengan wajib pajak untuk tidak membayar ke negara," ungkapnya.
Andyka menambahkan, tidak terpungutnya pajak, karena belum ada standarisasi struk tanda bukti pembayaran yang standar dari pemerintah.
Mestinya ada format resmi yang mencantumkan ada komponen pajak. Sehingga tidak ada lagi peluang dari restoran tidak membayar pajak.
Fakta seperti ini diperkirakan membuat taksiran pajak tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
"Kuncinya di validasi data dan kesungguhan petugas di lapangan," tandasnya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengungkapkan, adanya potensi pajak tidak terpungut jangan serta merta disalahkan ke wajib pajak atau masyarakat.
Ada beberapa potensi yang tidak tergali, karena tidak pernah dilihat secara langsung kondisi di lapangan, daerah mana saja yang terdapat potensi pajak restoran.
Dia menduga pajak restoran yang tidak terpungut itu yakni usaha restoran yang dulu baru skala kecil dan belum masuk kategori terkena pajak.
Namun, di 2014 usaha mereka telah mengalami peningkatan. Sayang usaha makanan dan minuman itu tidak mendapatkan bimbingan dan pengawasan dari Pemprov DKI Jakarta sehingga menimbulkan kebocoran potensi pajak.
"Kalau ada masyarakat sudah menjadi bagian dari wajib pajak restoran, tapi tidak membayar pajak, karena upaya melakukan permainan, Pemprov DKI harus tegas. Berikan sanksi yang sesuai pada aturan perundang-undangan. Jangan menjadikan mereka sapi perahan," tandasnya.
Sebagaimana diketahui, penerimaan pajak DKI Jakarta ditargetkan dalam APBD 2014 Rp32,5 triliun. Sektor pajak itu meliputi 13 bagian, salah satunya pajak restoran dengan targetnya Rp2 triliun.
Koordintor JBW S Andyka menuturkan, saat ini diduga banyak usaha di tengah kota tidak membayar pajak terutama dari sektor restoran.
"Di sini terjadi berbagai macam modus untuk mengurangi kewajiban membayar pajak ke negara atau daerah," kata Andyka kepada wartawan di Balai Kota, Rabu (29/10/2014).
Andyka menuturkan, ada beberapa hal yang menyebabkan tak terpungutnya pajak restoran. Di antaranya, karena belum adanya validasi wajib pajak di tengah masyarakat.
Sehingga PAD tidak terlalu banyak. Padahal dunia usaha mengalami pertumbuhan.
Tentunya perlu unit usaha yang pantas dikenakan pajak dan ada pula yang dibebaskan, karena kondisi siklus usahanya.
Selain itu ditenggarai ada data wajib pajak yang belum divalidasi itu, tapi dalam taksiran memenuhi syarat membayar pajak.
"Saya curiga ada negosiasi antara petugas dengan wajib pajak untuk tidak membayar ke negara," ungkapnya.
Andyka menambahkan, tidak terpungutnya pajak, karena belum ada standarisasi struk tanda bukti pembayaran yang standar dari pemerintah.
Mestinya ada format resmi yang mencantumkan ada komponen pajak. Sehingga tidak ada lagi peluang dari restoran tidak membayar pajak.
Fakta seperti ini diperkirakan membuat taksiran pajak tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
"Kuncinya di validasi data dan kesungguhan petugas di lapangan," tandasnya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengungkapkan, adanya potensi pajak tidak terpungut jangan serta merta disalahkan ke wajib pajak atau masyarakat.
Ada beberapa potensi yang tidak tergali, karena tidak pernah dilihat secara langsung kondisi di lapangan, daerah mana saja yang terdapat potensi pajak restoran.
Dia menduga pajak restoran yang tidak terpungut itu yakni usaha restoran yang dulu baru skala kecil dan belum masuk kategori terkena pajak.
Namun, di 2014 usaha mereka telah mengalami peningkatan. Sayang usaha makanan dan minuman itu tidak mendapatkan bimbingan dan pengawasan dari Pemprov DKI Jakarta sehingga menimbulkan kebocoran potensi pajak.
"Kalau ada masyarakat sudah menjadi bagian dari wajib pajak restoran, tapi tidak membayar pajak, karena upaya melakukan permainan, Pemprov DKI harus tegas. Berikan sanksi yang sesuai pada aturan perundang-undangan. Jangan menjadikan mereka sapi perahan," tandasnya.
Sebagaimana diketahui, penerimaan pajak DKI Jakarta ditargetkan dalam APBD 2014 Rp32,5 triliun. Sektor pajak itu meliputi 13 bagian, salah satunya pajak restoran dengan targetnya Rp2 triliun.
(whb)