Ini Penjelasan Tentang UU DKI yang Akan Direvisi
A
A
A
JAKARTA - Rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tengah diperbincangkan hangat.
Pasalnya dalam undang-undang tersebut mengatur kewenangan Pemprov sebagai Ibu Kota yaitu tata ruang, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; pengendalian penduduk dan permukiman; transportasi; industri dan perdagangan; dan pariwisata.
"Itu sebetulnya tanpa disebut di UU No 29 sudah ada di UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga itu mubazir aja. Kecuali dalam UU 29 itu disebut lebih detail lagi. Baru judul-judulnya aja pelaksanaan enggak disebut. Sehingga percuma saja," ujar Asisten Sekda Bidang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, Mara Oloan Siregar di Jakarta, Selasa (22/7/2014).
Menurut Oloan, definisi mengenai undang-undang harus lebih khususkan lagi. Terlebih lagi yang diatur adalah kewenangan yang seharusnya bisa dikerjakan juga selain kementerian.
"Jadi banyak yang kurang itu, jadi definisi kekhususan Jakarta sebagai Ibu Kota selain sebagai tempat pemerintahan nasional. Ada istana, MPR/DPR terus selain itu apa? Apa implikasinya ke dalam norma-norma. Itu yang perlu diatur lebih lanjut dalam UU itu. Itu belum ada. Itu tadi diidentifikasi apa aja yang kurang," tukasnya.
Menurutnya undang-undang ini harusnya memberi peluang bagi Jakarta sebagai Ibu Kota Negara untuk berbeda dengan daerah lain tetapi dalam rangka fungsi sebagai Ibu Kota Negara itu.
"Contohnya disini kan kantor pemerintah nasional dan kantor negara sahabat. Jadi logikanya Jakarta harus kita amankan tidak boleh banjir dan macet. Harusnya Pemprov DKI punya kewenangan untuk itu dan punya sumber untuk itu. Jalan Gatsu (Gatot Subroto) misalnya, itu kan jalan negara, DKI tidak bisa bikin ERP disana. Itu jalannya yang kelola pusat. DKI enggak bisa baikin itu karena punya pusat ," terangnya.
Lanjutnya, UU ini dirasakan banyak kekurangan, sehingga diajukan ke dialog bagaimanan revisi. "Udah sering dibicarakan tapi enggak ada tindak lanjut. Kawan-kawan pusat ingatkan kalau mau revisi liat norma-norma ini. Ternyata yang ada normanya pun kurang dimuat dalam UU itu. Harusnya banyak dimuat aturan mainnya. Jadi masih kurang luas dan kurang detail UU ini," tukasnya.
Mengenai implementasi, menurut Oloan belum dapat dipastikan kapan akan dilakukan UU ini karena masih jauh. "Ya belum bisa dilaksanakan. Yang diatur soal Deputi Gubernur. Baru sebatas itu saja," tukasnya.
Pasalnya dalam undang-undang tersebut mengatur kewenangan Pemprov sebagai Ibu Kota yaitu tata ruang, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; pengendalian penduduk dan permukiman; transportasi; industri dan perdagangan; dan pariwisata.
"Itu sebetulnya tanpa disebut di UU No 29 sudah ada di UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga itu mubazir aja. Kecuali dalam UU 29 itu disebut lebih detail lagi. Baru judul-judulnya aja pelaksanaan enggak disebut. Sehingga percuma saja," ujar Asisten Sekda Bidang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, Mara Oloan Siregar di Jakarta, Selasa (22/7/2014).
Menurut Oloan, definisi mengenai undang-undang harus lebih khususkan lagi. Terlebih lagi yang diatur adalah kewenangan yang seharusnya bisa dikerjakan juga selain kementerian.
"Jadi banyak yang kurang itu, jadi definisi kekhususan Jakarta sebagai Ibu Kota selain sebagai tempat pemerintahan nasional. Ada istana, MPR/DPR terus selain itu apa? Apa implikasinya ke dalam norma-norma. Itu yang perlu diatur lebih lanjut dalam UU itu. Itu belum ada. Itu tadi diidentifikasi apa aja yang kurang," tukasnya.
Menurutnya undang-undang ini harusnya memberi peluang bagi Jakarta sebagai Ibu Kota Negara untuk berbeda dengan daerah lain tetapi dalam rangka fungsi sebagai Ibu Kota Negara itu.
"Contohnya disini kan kantor pemerintah nasional dan kantor negara sahabat. Jadi logikanya Jakarta harus kita amankan tidak boleh banjir dan macet. Harusnya Pemprov DKI punya kewenangan untuk itu dan punya sumber untuk itu. Jalan Gatsu (Gatot Subroto) misalnya, itu kan jalan negara, DKI tidak bisa bikin ERP disana. Itu jalannya yang kelola pusat. DKI enggak bisa baikin itu karena punya pusat ," terangnya.
Lanjutnya, UU ini dirasakan banyak kekurangan, sehingga diajukan ke dialog bagaimanan revisi. "Udah sering dibicarakan tapi enggak ada tindak lanjut. Kawan-kawan pusat ingatkan kalau mau revisi liat norma-norma ini. Ternyata yang ada normanya pun kurang dimuat dalam UU itu. Harusnya banyak dimuat aturan mainnya. Jadi masih kurang luas dan kurang detail UU ini," tukasnya.
Mengenai implementasi, menurut Oloan belum dapat dipastikan kapan akan dilakukan UU ini karena masih jauh. "Ya belum bisa dilaksanakan. Yang diatur soal Deputi Gubernur. Baru sebatas itu saja," tukasnya.
(whb)