Gara-gara Mutilasi, Kapolres Jakarta Barat Raih Gelar Doktor
A
A
A
DEPOK - Mutilasi merupakan hasil pertimbangan pelaku yang sederhana dan tidak rumit. Pertimbangan tersebut sangat dipengaruhi oleh keterbatasan informasi, individu serta waktu yang dimiliki pelaku.
Bahkan, pelaku juga tidak pernah mempertimbangkan resiko perbuatannya jika tertangkap aparat penegak hukum serta beratnya ancaman hukuman.
Hal ini diungkapkan Kapolres Jakarta Barat Kombes Pol Mohammad Fadil Imran, dalam disertasinya berjudul "Studi Kejahatan Mutilasi di Jakarta (Perspektif Pilihan Rasional dari Lima Pelaku)" di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI Depok.
Sidang ini dipimpin promotor Kriminolog UI Adrianus Meliala dan Co Promotor Muhammad Kemal Darmawan di hadapan dewan penguji yang terdiri dari Guru Besar FISIP UI salah satunya Bambang Shergi Laksmono.
Menurut Fadil, sejumlah kasus mutilasi fenomenal yang dilakukan oleh Very Idham Henyansyah alias Ryan dan Baequni alias Babe merupakan salah satu contoh dimana pelaku memiliki kesadaran dan kesenjangan serta adanya tujuan khusus ketika memutilasi korbannya. Ia menjelaskan fenomena tersebut menggunakan Rational choice Theory dan Routine Activity Theory sebagai kerangka berpikir.
"Ada faktor pencetus dan faktor pendukung yang versifat situasional dan kondisional yang memungkinkaan melakukan tindakan mutilasi," jelasnya dalam sidang promosi doktor di FISIP UI, Rabu (2/7/2014).
Fadhil menambahkan, guna mendapatkan data valid, ia menggunakan sumber data primer berdasarkan keterangan para pelaku, keluarga pelaku, keluarga korban, dan petugas penyidik kepolisian. Selain itu beberapa data sekunder seperti data kriminal kepolisian, artikel dan beberapa jurnal penelitian terkait mutilasi jug digunakan untuk mendukung selesainya disertasi tersebut.
"Saya memanfaatkan Focus Group Discussion (FGD) untuk melengkapi studi kasus dan juga studi pusaka. FGD dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang peneliti terhadap fokus masalah yang sedang menjadi objek penelitian," paparnya.
Fadil berharap, ada beberapa implikasi kebijakan yang bermanfaat dalam strategi kebijakan kriminal di masa yang akan datang. Dia juga berharap, pemerintah menciptakan sebuah standar sistem pencegahan kejahatan di lingkungan masyarakat untuk mereduksi potensi kejahatan mutilasi dalam bentuk peraturan daerah (Perda).
"Hal ini mendesak dilakukan karena wilayah Jakarta menjadi lokasi penelitian, memiliki kekhasan, dimana pranata sosial, lembaga pemerintah serta mekanismenya menjadi uncapable guardian yang dipahami benar oleh pelaku dan potential offenders, dan perlu ada pasal khusus tentang kejahatan mutilasi dalam RUU KUHP, sehingga pelaku dapat dihukum lebih berat," tegasnya.
Bahkan, pelaku juga tidak pernah mempertimbangkan resiko perbuatannya jika tertangkap aparat penegak hukum serta beratnya ancaman hukuman.
Hal ini diungkapkan Kapolres Jakarta Barat Kombes Pol Mohammad Fadil Imran, dalam disertasinya berjudul "Studi Kejahatan Mutilasi di Jakarta (Perspektif Pilihan Rasional dari Lima Pelaku)" di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI Depok.
Sidang ini dipimpin promotor Kriminolog UI Adrianus Meliala dan Co Promotor Muhammad Kemal Darmawan di hadapan dewan penguji yang terdiri dari Guru Besar FISIP UI salah satunya Bambang Shergi Laksmono.
Menurut Fadil, sejumlah kasus mutilasi fenomenal yang dilakukan oleh Very Idham Henyansyah alias Ryan dan Baequni alias Babe merupakan salah satu contoh dimana pelaku memiliki kesadaran dan kesenjangan serta adanya tujuan khusus ketika memutilasi korbannya. Ia menjelaskan fenomena tersebut menggunakan Rational choice Theory dan Routine Activity Theory sebagai kerangka berpikir.
"Ada faktor pencetus dan faktor pendukung yang versifat situasional dan kondisional yang memungkinkaan melakukan tindakan mutilasi," jelasnya dalam sidang promosi doktor di FISIP UI, Rabu (2/7/2014).
Fadhil menambahkan, guna mendapatkan data valid, ia menggunakan sumber data primer berdasarkan keterangan para pelaku, keluarga pelaku, keluarga korban, dan petugas penyidik kepolisian. Selain itu beberapa data sekunder seperti data kriminal kepolisian, artikel dan beberapa jurnal penelitian terkait mutilasi jug digunakan untuk mendukung selesainya disertasi tersebut.
"Saya memanfaatkan Focus Group Discussion (FGD) untuk melengkapi studi kasus dan juga studi pusaka. FGD dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang peneliti terhadap fokus masalah yang sedang menjadi objek penelitian," paparnya.
Fadil berharap, ada beberapa implikasi kebijakan yang bermanfaat dalam strategi kebijakan kriminal di masa yang akan datang. Dia juga berharap, pemerintah menciptakan sebuah standar sistem pencegahan kejahatan di lingkungan masyarakat untuk mereduksi potensi kejahatan mutilasi dalam bentuk peraturan daerah (Perda).
"Hal ini mendesak dilakukan karena wilayah Jakarta menjadi lokasi penelitian, memiliki kekhasan, dimana pranata sosial, lembaga pemerintah serta mekanismenya menjadi uncapable guardian yang dipahami benar oleh pelaku dan potential offenders, dan perlu ada pasal khusus tentang kejahatan mutilasi dalam RUU KUHP, sehingga pelaku dapat dihukum lebih berat," tegasnya.
(mhd)