Polisi akui tidak mudah berantas senpi ilegal
A
A
A
Sindonews. com - Kasus penjualan senjata api (senpi) ilegal terus terungkap. Dari berbagai kasus, senpi berjenis rakitan yang diperoleh dari pasar gelap.
Tidak mudah bagi polisi untuk mengungkap penjual senpi ilegal itu. Biasanya pelaku kejahatan mendapatkan senpi oleh kurir penjual sehingga menyulitkan penyelidikan.
"Kebanyakan sistemnya beli putus. Untuk mengungkap penjualnya memang agak sulit," tutur Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Rikwanto, Rabu (23/4/2014).
Rikwanto mengungkap, pelaku lkejahatan mendapatkannya dari beberapa daerah yang diduga sebagai tempat pemasok senpi rakitan. Walaupun begitu, pihaknya sudah memengungkap pabrik pembuatan senpi ilegal di kawasan Jawa Barat beberapa waktu lalu.
"Kami sudah pantau daerah-daerah itu, dan sudah banyak juga yang (penjual) tertangkap," katanya.
Rikwanto menuturkan, berdasarkan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 82/2004 orang-orang yang bisa mendapatkan izin memiliki senjata api bela diri tersebut di antaranya pejabat DPR/MPR/legislatif, pejabat eksekutif, pejabat pemerintah, pejabat swasta, pengusaha, pengacara dan dokter.
Kendati begitu tidak semua bisa menenteng senjata api tersebut sembarangan terutama ditempat umum. "Kalau senjata api bela diri yang bisa diperoleh ada tiga jenis yakni senjata api dengan peluru tajam, senjata api dengan peluru karet, senjata api dengan peluru gas atau hampa," katanya.
Adapun syarat untuk mendapatkan senpi, yakni berusia 24-65 tahun, minimal mengikuti kelas menembak selama tiga tahun, lulus tes psikologi, lulus tes kesehatan, dilengkapi surat keterangan dari instansi atau kantor orang yang ingin mendapatkan izin memiliki senjata api.
Rikwanto memisalkan dokter yang ingin menggunakan senpi harus memiliki surat izin dari Ikatan Dokter Indonesia. Sementara itu, pemilik juga harus lulus uji keterampilan mengamankan dan merawat senjata api dan digunakan apabila dalam situasi dan kondisi yang mengganggu keselamatan jiwanya. "Jadi ketentuannya sangat ketat, dan tidak sembarangan," ujarnya.
Dia mengatakan, sejak tahun 2006 hingga saat ini sudah ada beberapa senjata api bela diri yang sudah ditarik dari peredaran karena beberapa hal. Dari 5.000 senjata sudah 3.500 senjata yang ditarik.
"Misalnya si pengguna senjata api bela diri sudah tidak menjabat lagi sebagai direktur utama atau sudah tidak sesuai lagi dengan profesi pekerjaannya. Bisa juga tidak memperpanjang batas tempo surat izin kepemilikan senjata api bela diri," tuturnya.
Menurut Rikwanto, sekira 70 persen senpi yang dimiliki oleh orang-orang yang telah mendapat izin tersebut kebanyakan senpi jenis peluru karet, 25 persen peluru hampa, dan 5 persen peluru tajam.
Sementara untuk senjata api yang diperuntukkan olahraga seperti yakni senjata air softgun, senjata berburu hanya sekitar 3 persen. "Senjata api untuk olahraga ini digunakan apabila pengguna ingin memakainya. Setelah dipakai, senjata api tersebut disimpan ke gudang di Perbakin dan tidak boleh dibawa setiap hari," tuturnya.
Menurut dia, keberadaan senpi di tengah masyarakat sudah sepenuhnya ditarik. Izin kepemilikannya sudah dicabut dan tidak diperpanjang. "Kalau masih ada warga sipil yang memiliki senjata api berarti ilegal," tuturnya.
Kriminolog dari Universitas Indonesia Ikraq Sulhin mengatakan, ada dua macam sumber senjata yang digunakan para pelaku kejahatan. Ada yang didapat dari sewaan dan membeli dari pasar gelap. "Pasti polisi akan kesulitan melakukan pelacakan," katanya.
Dia meminta polisi untuk memperketat pengamanan beberapa titik yang dinyatakan rawan. Pengawasan peredaran senjata juga harus melibatkan beberapa elemen masyarakat.
Menurut Ikraq, polisi harus bisa melakukan pengawasan peredaran senjata api di masyarakat untuk mempersempit akses jual beli senpi. "Kalau senjata dari luar negeri tidak terdaftar atau susah dideteksi. Tapi kalau pengawasannya diperketat maka segalanya menjadi lebih mudah untuk diawasi," tuturnya.
Tidak mudah bagi polisi untuk mengungkap penjual senpi ilegal itu. Biasanya pelaku kejahatan mendapatkan senpi oleh kurir penjual sehingga menyulitkan penyelidikan.
"Kebanyakan sistemnya beli putus. Untuk mengungkap penjualnya memang agak sulit," tutur Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Rikwanto, Rabu (23/4/2014).
Rikwanto mengungkap, pelaku lkejahatan mendapatkannya dari beberapa daerah yang diduga sebagai tempat pemasok senpi rakitan. Walaupun begitu, pihaknya sudah memengungkap pabrik pembuatan senpi ilegal di kawasan Jawa Barat beberapa waktu lalu.
"Kami sudah pantau daerah-daerah itu, dan sudah banyak juga yang (penjual) tertangkap," katanya.
Rikwanto menuturkan, berdasarkan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 82/2004 orang-orang yang bisa mendapatkan izin memiliki senjata api bela diri tersebut di antaranya pejabat DPR/MPR/legislatif, pejabat eksekutif, pejabat pemerintah, pejabat swasta, pengusaha, pengacara dan dokter.
Kendati begitu tidak semua bisa menenteng senjata api tersebut sembarangan terutama ditempat umum. "Kalau senjata api bela diri yang bisa diperoleh ada tiga jenis yakni senjata api dengan peluru tajam, senjata api dengan peluru karet, senjata api dengan peluru gas atau hampa," katanya.
Adapun syarat untuk mendapatkan senpi, yakni berusia 24-65 tahun, minimal mengikuti kelas menembak selama tiga tahun, lulus tes psikologi, lulus tes kesehatan, dilengkapi surat keterangan dari instansi atau kantor orang yang ingin mendapatkan izin memiliki senjata api.
Rikwanto memisalkan dokter yang ingin menggunakan senpi harus memiliki surat izin dari Ikatan Dokter Indonesia. Sementara itu, pemilik juga harus lulus uji keterampilan mengamankan dan merawat senjata api dan digunakan apabila dalam situasi dan kondisi yang mengganggu keselamatan jiwanya. "Jadi ketentuannya sangat ketat, dan tidak sembarangan," ujarnya.
Dia mengatakan, sejak tahun 2006 hingga saat ini sudah ada beberapa senjata api bela diri yang sudah ditarik dari peredaran karena beberapa hal. Dari 5.000 senjata sudah 3.500 senjata yang ditarik.
"Misalnya si pengguna senjata api bela diri sudah tidak menjabat lagi sebagai direktur utama atau sudah tidak sesuai lagi dengan profesi pekerjaannya. Bisa juga tidak memperpanjang batas tempo surat izin kepemilikan senjata api bela diri," tuturnya.
Menurut Rikwanto, sekira 70 persen senpi yang dimiliki oleh orang-orang yang telah mendapat izin tersebut kebanyakan senpi jenis peluru karet, 25 persen peluru hampa, dan 5 persen peluru tajam.
Sementara untuk senjata api yang diperuntukkan olahraga seperti yakni senjata air softgun, senjata berburu hanya sekitar 3 persen. "Senjata api untuk olahraga ini digunakan apabila pengguna ingin memakainya. Setelah dipakai, senjata api tersebut disimpan ke gudang di Perbakin dan tidak boleh dibawa setiap hari," tuturnya.
Menurut dia, keberadaan senpi di tengah masyarakat sudah sepenuhnya ditarik. Izin kepemilikannya sudah dicabut dan tidak diperpanjang. "Kalau masih ada warga sipil yang memiliki senjata api berarti ilegal," tuturnya.
Kriminolog dari Universitas Indonesia Ikraq Sulhin mengatakan, ada dua macam sumber senjata yang digunakan para pelaku kejahatan. Ada yang didapat dari sewaan dan membeli dari pasar gelap. "Pasti polisi akan kesulitan melakukan pelacakan," katanya.
Dia meminta polisi untuk memperketat pengamanan beberapa titik yang dinyatakan rawan. Pengawasan peredaran senjata juga harus melibatkan beberapa elemen masyarakat.
Menurut Ikraq, polisi harus bisa melakukan pengawasan peredaran senjata api di masyarakat untuk mempersempit akses jual beli senpi. "Kalau senjata dari luar negeri tidak terdaftar atau susah dideteksi. Tapi kalau pengawasannya diperketat maka segalanya menjadi lebih mudah untuk diawasi," tuturnya.
(dam)