Kriminolog: Pecandu miras miliki adrenalin yang tinggi
A
A
A
Sindonews.com - Maraknya penjualan minuman keras (miras) oplosan disebabkan tingginya permintaan dari konsumen. Pelanggan miras oplosan adalah kalangan ekonomi menengah kebawah yang tak mampu membeli miras murni lantaran harganya yang tinggi.
Dampak dari maraknya miras oplosan itu kerap menelan korban jiwa. Pasalnya, mereka menenggak minuman yang telah dioplos tanpa tahu racikan campurannya.
Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Muhammad Mustofa menilai, miras cenderung membuat peminumnya merasa kecanduan atau alkoholik. Dan bagi kalangan kelas bawah yang tidak mampu membeli cenderung membeli miras yang telah dioplos.
Padahal, kata dia, mereka tidak tahu bahan apa saja yang dimasukkan dalam oplosan tersebut. Bahkan yang lebih ekstrim, kata Mustofa, pernah terjadi kasus miras yang dioplos dengan obat serangga.
"Miras oplosan itu kan dicampuk dengan bahan yang sembarangan. Tidak ada kadar khusus untu meraciknya. Artinya campuran yang dimasukkan itu cenderung asal-asalan," kata Mustofa, Kamis (22/8/2013).
Dia mengatakan, dalam kasus miras racikan itu ada unsur bahaya yang diabaikan. Misalnya, mencampurkan bahan kimia tertentu yang tidak banyak diketahui efek sampingnya.
Namun, pelanggannya hanya meminum ketika miras oplosan itu sudah dalam kondisi siap minum. Selain itu, orang yang sudah kecanduan tidak lagi menggunakan nalarnya.
Terkadang mereka juga merasa tertantang untuk mencampur aneka jenis bahan dalam racikan. "Seperti ada adrenalin yang tertantang. Logikanya sudah tidak berjalan lagi. Nalarnya berkurang jika sudah kecanduan," paparnya.
Yang perlu ditindak juga adalah distributor yang menyalurkan miras tersebut. Dia menuding ada sejumlah distributor yang tidak memiliki izin namun tetap menjadi distributor.
Dampak dari maraknya miras oplosan itu kerap menelan korban jiwa. Pasalnya, mereka menenggak minuman yang telah dioplos tanpa tahu racikan campurannya.
Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Muhammad Mustofa menilai, miras cenderung membuat peminumnya merasa kecanduan atau alkoholik. Dan bagi kalangan kelas bawah yang tidak mampu membeli cenderung membeli miras yang telah dioplos.
Padahal, kata dia, mereka tidak tahu bahan apa saja yang dimasukkan dalam oplosan tersebut. Bahkan yang lebih ekstrim, kata Mustofa, pernah terjadi kasus miras yang dioplos dengan obat serangga.
"Miras oplosan itu kan dicampuk dengan bahan yang sembarangan. Tidak ada kadar khusus untu meraciknya. Artinya campuran yang dimasukkan itu cenderung asal-asalan," kata Mustofa, Kamis (22/8/2013).
Dia mengatakan, dalam kasus miras racikan itu ada unsur bahaya yang diabaikan. Misalnya, mencampurkan bahan kimia tertentu yang tidak banyak diketahui efek sampingnya.
Namun, pelanggannya hanya meminum ketika miras oplosan itu sudah dalam kondisi siap minum. Selain itu, orang yang sudah kecanduan tidak lagi menggunakan nalarnya.
Terkadang mereka juga merasa tertantang untuk mencampur aneka jenis bahan dalam racikan. "Seperti ada adrenalin yang tertantang. Logikanya sudah tidak berjalan lagi. Nalarnya berkurang jika sudah kecanduan," paparnya.
Yang perlu ditindak juga adalah distributor yang menyalurkan miras tersebut. Dia menuding ada sejumlah distributor yang tidak memiliki izin namun tetap menjadi distributor.
(mhd)