Pengguna narkotik harus direhabilitasi, bukan di penjara
A
A
A
Sindonews.com - Hukuman bagi pengguna narkotik hingga kini masih menjadi perdebatan. Ada yang menilai, pengguna narkotik cukup dijerat dengan hukuman rehabilitasi, ada pula yang dengan keras meminta penggunanya dihukum penjara.
Menurut penegak hukum, seharusnya pengguna narkotik cukup dikenakan hukuman rehabilitasi saja. Karena mereka adalah korban yang dalam bahasa hukum pemakai disebut sebagai penyalahguna.
"Kalau memang dia pengguna dan korban serta tertangkap tangan kedapatan (narkotik) dalam jumlah tidak besar, maka yang tepat adalah direhabilitasi daripada di penjara. Karena penjara tidak ada manfaatnya," kata Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Chudry sitompul di Kampus UI Depok, Selasa (6/2/2013).
Dalam undang-undang, sambung Chudry, sudah diatur hal itu. Tinggal bagaimana keberanian penegak hukum mengimplementasikannya. Diingatkan dia, sambil diikuti dengan moral hazart dari penegak hukum. Jangan sampai terjadi jual beli hukuman ini (rehab).
"Misalnya, berani berapa untuk putusan hukuman ini. Rehabilitasi itu hukuman juga, jadi jangan salah menilai bahwa rehabilitasi bukan sebagai hukuman," tegas Chudry.
Yang mestinya dikejar adalah pengedarnya. Bahkan, ancaman hukuman minimal empat tahun bagi pengedar dinilai sangat ringan. Diceritakan dia, mulanya pengedar narkotik membuat komunitas dan membagikan barang-barang itu. "Setelah itu (kecanduan) barulah mereka mulai cari (membeli) sendiri," ungkap Ketua Jurusan Praktek Hukum UI itu.
Dia setuju dengan pendapat yang mencuat bahwa pengedar harus ditembak mati. Bahkan di Singapura juga dilakukan hal yang sama. "Tapi harus benar-benar terbukti bahwa dia adalah pengedar," tegas Chudry.
Jaksa dari Kejaksaan Agung Narendra Jatna menambahkan, mulai saat ini masyarakat dan penegak hukum harus merubah mindset. Jangan selalu menghakimi pengguna narkoba. "Pengguna nggak harus dihukum (pidana) tetapi harus direhab. Tapi masyarakat maunya mereka dihukum," katanya.
Dosen Luar Biasa FHUI itu menuturkan, dengan mindset lama itu, membuat pengguna takut mendatangi pusat rehabilitasi secara sukarela. Pasalnya, mereka takut justru menjadi pesakitan. "Untuk itu perlu dirubah mindsetnya," tutup Narendra.
Menurut penegak hukum, seharusnya pengguna narkotik cukup dikenakan hukuman rehabilitasi saja. Karena mereka adalah korban yang dalam bahasa hukum pemakai disebut sebagai penyalahguna.
"Kalau memang dia pengguna dan korban serta tertangkap tangan kedapatan (narkotik) dalam jumlah tidak besar, maka yang tepat adalah direhabilitasi daripada di penjara. Karena penjara tidak ada manfaatnya," kata Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Chudry sitompul di Kampus UI Depok, Selasa (6/2/2013).
Dalam undang-undang, sambung Chudry, sudah diatur hal itu. Tinggal bagaimana keberanian penegak hukum mengimplementasikannya. Diingatkan dia, sambil diikuti dengan moral hazart dari penegak hukum. Jangan sampai terjadi jual beli hukuman ini (rehab).
"Misalnya, berani berapa untuk putusan hukuman ini. Rehabilitasi itu hukuman juga, jadi jangan salah menilai bahwa rehabilitasi bukan sebagai hukuman," tegas Chudry.
Yang mestinya dikejar adalah pengedarnya. Bahkan, ancaman hukuman minimal empat tahun bagi pengedar dinilai sangat ringan. Diceritakan dia, mulanya pengedar narkotik membuat komunitas dan membagikan barang-barang itu. "Setelah itu (kecanduan) barulah mereka mulai cari (membeli) sendiri," ungkap Ketua Jurusan Praktek Hukum UI itu.
Dia setuju dengan pendapat yang mencuat bahwa pengedar harus ditembak mati. Bahkan di Singapura juga dilakukan hal yang sama. "Tapi harus benar-benar terbukti bahwa dia adalah pengedar," tegas Chudry.
Jaksa dari Kejaksaan Agung Narendra Jatna menambahkan, mulai saat ini masyarakat dan penegak hukum harus merubah mindset. Jangan selalu menghakimi pengguna narkoba. "Pengguna nggak harus dihukum (pidana) tetapi harus direhab. Tapi masyarakat maunya mereka dihukum," katanya.
Dosen Luar Biasa FHUI itu menuturkan, dengan mindset lama itu, membuat pengguna takut mendatangi pusat rehabilitasi secara sukarela. Pasalnya, mereka takut justru menjadi pesakitan. "Untuk itu perlu dirubah mindsetnya," tutup Narendra.
(san)