Fogging tak efektif tekan kasus DBD
A
A
A
Sindonews.com - Pengamat epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, kurang efektifnya fogging dikarenakan belum diperhatikaanya dosis dalam penyemprotan.
Padahal, fogging berfungsi untuk memutus mara rantai penyebab kasus DBD. Selain itu, fogging yang dilakukan saat ini baru dilakukan setelah ada laporan.
"Bukan dilakukan untuk preventif. Efeknya sangat kecil. Fogging hanya dilakukan setelah ada kasus," kata Pengamat epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono, Rabu (16/1/2013).
Dosen di FKM UI itu menambahkan, kurang tepatnya wilayah sasaran fogging dan jumlah nyamuk yang berkembang juga dianggap sebagai kurang berhasilnya fogging.
"Permasalahannya sekarang adalah, penggunaan insektisida itu mahal. Sehingga hanya 1,3 persen penduduk saja yang melakukan," tambahnya.
Untuk itu, dia meminta agar pemerintah melalkukan komunikasi dengan industri agar harga penggunaan insektisida tidak tinggi.
"Saat ini masalahnya ya di harga. Obat nyamuk baik semprot atau elektrik kan harganya mahal jadi yang melakukan insektisida hanya sedikit," paparnya.
Untuk menekan kasus penderita DBD di Indonesia, sambung Miko, perlu dilakukan promosi penggunaan insektisida, terutama di wilayahj dengan tingkat pendidikan rendan dan kepadatan penduduk tinggi.
Melakukan penyuluhan massal kepada masyarakat, terutama di daerah endemis DBD dengan tingkat pendidikan rwndah dan wilayah dengan kepadatan penduduk lebih dari 500.000 per KM2.
Penggunaan larvasida secara massal dapat dilakukan dengan memperhatikan house index atau hasil pemeriksaan jentik berkala.
"Fogging tidak efektif menurunkan kejadian DBD di Indonesia," tegasnya.
Padahal, fogging berfungsi untuk memutus mara rantai penyebab kasus DBD. Selain itu, fogging yang dilakukan saat ini baru dilakukan setelah ada laporan.
"Bukan dilakukan untuk preventif. Efeknya sangat kecil. Fogging hanya dilakukan setelah ada kasus," kata Pengamat epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono, Rabu (16/1/2013).
Dosen di FKM UI itu menambahkan, kurang tepatnya wilayah sasaran fogging dan jumlah nyamuk yang berkembang juga dianggap sebagai kurang berhasilnya fogging.
"Permasalahannya sekarang adalah, penggunaan insektisida itu mahal. Sehingga hanya 1,3 persen penduduk saja yang melakukan," tambahnya.
Untuk itu, dia meminta agar pemerintah melalkukan komunikasi dengan industri agar harga penggunaan insektisida tidak tinggi.
"Saat ini masalahnya ya di harga. Obat nyamuk baik semprot atau elektrik kan harganya mahal jadi yang melakukan insektisida hanya sedikit," paparnya.
Untuk menekan kasus penderita DBD di Indonesia, sambung Miko, perlu dilakukan promosi penggunaan insektisida, terutama di wilayahj dengan tingkat pendidikan rendan dan kepadatan penduduk tinggi.
Melakukan penyuluhan massal kepada masyarakat, terutama di daerah endemis DBD dengan tingkat pendidikan rwndah dan wilayah dengan kepadatan penduduk lebih dari 500.000 per KM2.
Penggunaan larvasida secara massal dapat dilakukan dengan memperhatikan house index atau hasil pemeriksaan jentik berkala.
"Fogging tidak efektif menurunkan kejadian DBD di Indonesia," tegasnya.
(stb)