173 kepala daerah tersangkut korupsi sejak 2004-2012
A
A
A
Sindonews.com - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat, sejak tahun 2004-2012, sebanyak 173 kepala daerah tersangkut kasus korupsi saat perhelatan Pemilihan Umum Kepada Daerah (Pemilukada). Untuk itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada menjadi penting.
Hal itu diungkapkan Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Menurut Titi, persoalan Pilkada yang paling utama adalah biaya politik yang tinggi dan bermuara pada korupsi.
"Hampir di setiap pemilihan kepala daerah, banyak ditemukan berbagai kasus pelanggaran hukum terkait dengan pembiayaan dan dana kampanye. Data dari Kemendagri menyebutkan, dari tahun 2004-2012, ada 173 kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi (depdagri.go.id, 20/04)," ujar Titi dalam rilis yang diterima Sindonews, Rabu 27 Juni 2012.
Tingginya biaya politik dalam Pilkada, merupakan akibat dari politik pencitraan yang dibangun oleh masing-masing kandidat. Politik pencitraan itu dilakukan semata-mata untuk mendapatkan suara rakyat. Namun dalam praktiknya tidak semua modal besar sanggup membeli suara rakyat dan memenangkan Pilkada.
"Popularitas ini dibangun dengan pendekatan secara tidak langsung dengan pemilih. Biasanya media yang digunakan melalui iklan kampanye, baliho, spanduk, leaflet dan sarana kampanye yang tidak menyentuh pendekatan kepada pemilih yang justru berbiaya tinggi," terangnya.
Ditambahkan dia, jalan pintas dengan uang sebagai satu-satunya alat pemenangan merupakan mekanisme yang keliru. Dalam sistem pemilihan langsung seperti Pilkada didesain untuk melakukan mendekatkan pemilih dengan kandidat.
"Mestinya kandidat membuat visi-misi yang jelas dan program kerja dengan sosialisasi kepada pemilih yang baik. Mekanisme sosialisasi harus dilakukan secara adil untuk menjamin hak bagi seluruh pihak untuk menyampaikan informasi kepada pemilih," jelasnya.
Namun faktanya, sambung dia, penggunaan uang dalam kampanye dan pemenangan tidak bisa dibendung. Aturan yang selama ini berlaku hanya membatasi sumbangan yang masuk. Akibatnya semakin besar sumbangan kepada kandidat maka semakin besar sosialisasi dan biaya kampanye yang dikeluarkan.
Kondisi ini justru tidak memberikan keadilan bagi seluruh pihak untuk bisa memberikan informasi yang berimbang kepada pemilih. Penting untuk diingat, dalam kampanye tidak semata-mata terdapat hak bagi kandidat untuk memberikan informasi. Ada hak bagi pemilih yang mesti dijamin untuk memperoleh informasi yang seimbang. (san)
Hal itu diungkapkan Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Menurut Titi, persoalan Pilkada yang paling utama adalah biaya politik yang tinggi dan bermuara pada korupsi.
"Hampir di setiap pemilihan kepala daerah, banyak ditemukan berbagai kasus pelanggaran hukum terkait dengan pembiayaan dan dana kampanye. Data dari Kemendagri menyebutkan, dari tahun 2004-2012, ada 173 kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi (depdagri.go.id, 20/04)," ujar Titi dalam rilis yang diterima Sindonews, Rabu 27 Juni 2012.
Tingginya biaya politik dalam Pilkada, merupakan akibat dari politik pencitraan yang dibangun oleh masing-masing kandidat. Politik pencitraan itu dilakukan semata-mata untuk mendapatkan suara rakyat. Namun dalam praktiknya tidak semua modal besar sanggup membeli suara rakyat dan memenangkan Pilkada.
"Popularitas ini dibangun dengan pendekatan secara tidak langsung dengan pemilih. Biasanya media yang digunakan melalui iklan kampanye, baliho, spanduk, leaflet dan sarana kampanye yang tidak menyentuh pendekatan kepada pemilih yang justru berbiaya tinggi," terangnya.
Ditambahkan dia, jalan pintas dengan uang sebagai satu-satunya alat pemenangan merupakan mekanisme yang keliru. Dalam sistem pemilihan langsung seperti Pilkada didesain untuk melakukan mendekatkan pemilih dengan kandidat.
"Mestinya kandidat membuat visi-misi yang jelas dan program kerja dengan sosialisasi kepada pemilih yang baik. Mekanisme sosialisasi harus dilakukan secara adil untuk menjamin hak bagi seluruh pihak untuk menyampaikan informasi kepada pemilih," jelasnya.
Namun faktanya, sambung dia, penggunaan uang dalam kampanye dan pemenangan tidak bisa dibendung. Aturan yang selama ini berlaku hanya membatasi sumbangan yang masuk. Akibatnya semakin besar sumbangan kepada kandidat maka semakin besar sosialisasi dan biaya kampanye yang dikeluarkan.
Kondisi ini justru tidak memberikan keadilan bagi seluruh pihak untuk bisa memberikan informasi yang berimbang kepada pemilih. Penting untuk diingat, dalam kampanye tidak semata-mata terdapat hak bagi kandidat untuk memberikan informasi. Ada hak bagi pemilih yang mesti dijamin untuk memperoleh informasi yang seimbang. (san)
()