Ribuan pemilih terbukti ganda
A
A
A
Sindonews.com – Kisruh dugaan pemilih fiktif dalam daftar pemilih sementara (DPS) mulai terkuak. Di Jakarta Barat ditemukan sebanyak 6.000 nomor induk kependudukan (NIK) ganda.
KPU DKI Jakarta mengembalikan ribuan pemilih ganda tersebut kepada KPU Kota Jakarta Barat untuk diverifikasi ulang.NIK ganda tersebut bersumber dari daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang diserahkan Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta.Ketua Pokja Pemutakhiran Data Pemilih KPU Kota Jakarta Barat Junaedi mengatakan, DPT yang sudah disusun dikembalikan karena ditemukan pemilih ganda.
“Ada sekitar 6.000 NIK ganda, jadi dikembalikan lagi kepada kami untuk diverifikasi ulang,” kata Junaedi kepada wartawan kemarin. Kisruh pemilih ganda bermula dari temuan Pusat Pergerakan Pemuda Indonesia (P3I). Dari penelitian P3I, setidaknya 15–20% dari daftar pemilih sementara (DPS) terdapat pemilih fiktif. Junaedi mengungkapkan,awalnya DPS yang lolos verifikasi ditemukan angka sebanyak 1.514.114 pemilih yang kemudian ditambah 692 dari DPS,hingga akhirnya berjumlah 1.514.806 pemilih.
Namun,setelah ditemukan NIK ganda, jumlah DPT di Jakarta Barat hanya sebanyak 1.508.806 pemilih. “Setelah diverifikasi ulang di 56 kelurahan, jumlahnya sekarang menjadi 1.508.806.”terangnya. Di bagian lain,lembaga survei diminta menjaga kaidah etika akademik dalam melakukan survei Pilkada DKI Jakarta. Alasannya, hasil dari survei ini menjadi salah referensi pendidikan politik bagi publik.
Pengamat politik Universitas Nasional (Unas) Firdaus Syam mengatakan,banyaknya survei tentang tingkat keterpilihan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta akhir-akhir ini menghasilkan opini beragam.Kalaupun ada kesamaan, hasilnya tidak terlalu signifikan. “Setiap survei menggunakan metodologi, sampling responden dan kaidah-kaidah ilmiah.
Maka wajar ada perbedaan hasil.Semua itu tergantung dari cara kerja lembaga survei itu sendiri,”kata Firdaus Syam di sela-sela diskusi “Karut-Marut Hasil Survei di DKI Jakarta” di Wisma Kodel,Jakarta Selatan, kemarin. Menurutnya, hasil survei pilkada yang sering disampaikan oleh penggiat survei belum tentu sama dengan saat pemilihan nanti, sebab survei dilakukan pada beberapa bulan sebelum hari pemilihan.
Menjelang hari pemilihan apa pun dapat berubah,bergantung dengan dinamika politik dan resepsi publik. Bila perbedaan hasil itu terlalu jauh,cara kerja dari survei dipertanyakan. “Ada kesalahan apa atau errornya seperti apa,” sambung Deputi Ilmu-Ilmu Sosial Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unas ini.
Dia menyarankan,lembaga survei itu menjaga modal, kaidah penelitian dengan metodologi secara ilmiah, agar kredibilitas lembaga survei tetap dijadikan sumber referensi pembelajaran politik bagi publik. Peneliti Senior The Jakarta Institute Ubaidillah berpendapat, sejatinya survei bertujuan untuk mengevaluasi kinerja pihak yang diteliti.Tugas lembaga survei ini mencerdaskan publik untuk melakukan quality control.Sayang hasil survei ini dijadikan untuk membangun opini publik.
Masyarakat diyakinkan bahwa pihak disurvei, terutama kandidat dinilai menang mengklaim kinerjanya telah terbukti.Warga diarahkan untuk meyakini hasil survei sebagai pilihan terbaik. Dia menyebutkan hasil kerja penggiat survei yang jauh berbeda dengan hasil pemilihan telah pernah terjadi di Pilkada Jawa Barat dan Pilkada Aceh.“Ada dua lembaga survei mengalami kesalahan ini. Mereka melakukan perhitungan salah,”sebut Ubaidillah. (wbs)
KPU DKI Jakarta mengembalikan ribuan pemilih ganda tersebut kepada KPU Kota Jakarta Barat untuk diverifikasi ulang.NIK ganda tersebut bersumber dari daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang diserahkan Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta.Ketua Pokja Pemutakhiran Data Pemilih KPU Kota Jakarta Barat Junaedi mengatakan, DPT yang sudah disusun dikembalikan karena ditemukan pemilih ganda.
“Ada sekitar 6.000 NIK ganda, jadi dikembalikan lagi kepada kami untuk diverifikasi ulang,” kata Junaedi kepada wartawan kemarin. Kisruh pemilih ganda bermula dari temuan Pusat Pergerakan Pemuda Indonesia (P3I). Dari penelitian P3I, setidaknya 15–20% dari daftar pemilih sementara (DPS) terdapat pemilih fiktif. Junaedi mengungkapkan,awalnya DPS yang lolos verifikasi ditemukan angka sebanyak 1.514.114 pemilih yang kemudian ditambah 692 dari DPS,hingga akhirnya berjumlah 1.514.806 pemilih.
Namun,setelah ditemukan NIK ganda, jumlah DPT di Jakarta Barat hanya sebanyak 1.508.806 pemilih. “Setelah diverifikasi ulang di 56 kelurahan, jumlahnya sekarang menjadi 1.508.806.”terangnya. Di bagian lain,lembaga survei diminta menjaga kaidah etika akademik dalam melakukan survei Pilkada DKI Jakarta. Alasannya, hasil dari survei ini menjadi salah referensi pendidikan politik bagi publik.
Pengamat politik Universitas Nasional (Unas) Firdaus Syam mengatakan,banyaknya survei tentang tingkat keterpilihan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta akhir-akhir ini menghasilkan opini beragam.Kalaupun ada kesamaan, hasilnya tidak terlalu signifikan. “Setiap survei menggunakan metodologi, sampling responden dan kaidah-kaidah ilmiah.
Maka wajar ada perbedaan hasil.Semua itu tergantung dari cara kerja lembaga survei itu sendiri,”kata Firdaus Syam di sela-sela diskusi “Karut-Marut Hasil Survei di DKI Jakarta” di Wisma Kodel,Jakarta Selatan, kemarin. Menurutnya, hasil survei pilkada yang sering disampaikan oleh penggiat survei belum tentu sama dengan saat pemilihan nanti, sebab survei dilakukan pada beberapa bulan sebelum hari pemilihan.
Menjelang hari pemilihan apa pun dapat berubah,bergantung dengan dinamika politik dan resepsi publik. Bila perbedaan hasil itu terlalu jauh,cara kerja dari survei dipertanyakan. “Ada kesalahan apa atau errornya seperti apa,” sambung Deputi Ilmu-Ilmu Sosial Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unas ini.
Dia menyarankan,lembaga survei itu menjaga modal, kaidah penelitian dengan metodologi secara ilmiah, agar kredibilitas lembaga survei tetap dijadikan sumber referensi pembelajaran politik bagi publik. Peneliti Senior The Jakarta Institute Ubaidillah berpendapat, sejatinya survei bertujuan untuk mengevaluasi kinerja pihak yang diteliti.Tugas lembaga survei ini mencerdaskan publik untuk melakukan quality control.Sayang hasil survei ini dijadikan untuk membangun opini publik.
Masyarakat diyakinkan bahwa pihak disurvei, terutama kandidat dinilai menang mengklaim kinerjanya telah terbukti.Warga diarahkan untuk meyakini hasil survei sebagai pilihan terbaik. Dia menyebutkan hasil kerja penggiat survei yang jauh berbeda dengan hasil pemilihan telah pernah terjadi di Pilkada Jawa Barat dan Pilkada Aceh.“Ada dua lembaga survei mengalami kesalahan ini. Mereka melakukan perhitungan salah,”sebut Ubaidillah. (wbs)
()