Perdagangan manusia penegakan hukum terlalu lemah
A
A
A
Sindonews.com – Maraknya kasus trafficking (perdagangan manusia) di Indonesia akibat lemahnya penegakan hukum.Penerapan UU Nomor 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) masih sangat lemah.
Anggota Komnas Perempuan Ninik Rahayu mengatakan, selama ini aparat penegak hukum lebih banyak menggunakan KUHP untuk menjerat pelaku trafficking dibandingkan dengan UU PTPPO. Menurut dia,fakta di lapangan sering ditemukan kasus yang memenuhi unsur trafficking,tapi lolos dari jeratan hukum.
“Kalau dilihat dari proses dan caranya, banyak kasus yang masuk kategori trafficking. Namun, aparat hukum kita lebih sering terpaku pada tujuan dari sebuah kasus, sehingga selalu terkendala dengan bukti materiil,” kata Ninik dalam Dialog Nasional “Keadilan Ekonomi dan Pendidikan Upaya Pencegahan Trafficking di Indonesia” di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan,kemarin.
Dialog yang digelar HMI Komisariat Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dengan BEM Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi tersebut dihadiri anggota KPAI Apong Herlina, pengamat sosial UIN Syarif Hidayatullah Siti Napsiyah Ariefuzzaman, dan Redaktur Harian SINDO Ahmad Baidowi. Ninik melanjutkan, UU PTPPO sudah lima tahun lalu disahkan, namun implementasi di lapangan masih lemah.
Untuk itulah, pihaknya berharap UU PPTPPO diterapkan dengan tetap mengedepankan pendekatan HAM. Dia me-lanjutkan, kasus trafficking di Indonesia terus bertambah dan pelakunya banyak dari orangorang sekitar korban. “Pelaku trafficking ternyata ada yang masih tetangga, bahkan famili korban. Ada juga pelaku adalah orang yang baru dikenal,”ungkapnya.
Menurut dia, modus operandi trafficking terus berkembang. Belakangan ini marak menggunakan media sosial seperti Facebook dan Twitter. “Ternyata perkembangan teknologi informasi sudah disalahgunakan,” tandasnya. Ninik menegaskan, mayoritas korban trafficking adalah perempuan dan anak. Namun, ada juga laki-laki yang menjadi korban. Anggota KPAI Apong Herlina menambahkan, kasus perdagangan anak menggunakan berbagai macam modus.
Sebagian besar diiming-imingi pekerjaan, tapi akhirnya justru dijadikan penjaja seks komersial (PSK).“Banyak anak di bawahumuryangmenjadikorban. Ini harus dihentikan, ”pintanya. Faktor trafficking umumnya akibat himpitan ekonomi, pengangguran dan rendahnya pendidikan.Terbukti, korban trafficking mayoritas hanya mengenyam pendidikan tingkat SD dan paling tinggi SMP.
Pengamat sosial UIN Syarif Hidayatullah Siti Napsiyah Ariefuzzaman mengungkapkan, peningkatan kualitas pendidikan merupakan salah satu solusi untuk memerangi kasus trafficking.Dia optimistis semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, kemungkinan untuk menjadi korban trafficking lebih kecil.
“Itu hanya salah satu sarana, semua bergantung pada masing-masing.Tapi saya yakin pendidikan akan banyak membantu,” tutur alumnus McGill University,Kanada ini. (wbs)
Anggota Komnas Perempuan Ninik Rahayu mengatakan, selama ini aparat penegak hukum lebih banyak menggunakan KUHP untuk menjerat pelaku trafficking dibandingkan dengan UU PTPPO. Menurut dia,fakta di lapangan sering ditemukan kasus yang memenuhi unsur trafficking,tapi lolos dari jeratan hukum.
“Kalau dilihat dari proses dan caranya, banyak kasus yang masuk kategori trafficking. Namun, aparat hukum kita lebih sering terpaku pada tujuan dari sebuah kasus, sehingga selalu terkendala dengan bukti materiil,” kata Ninik dalam Dialog Nasional “Keadilan Ekonomi dan Pendidikan Upaya Pencegahan Trafficking di Indonesia” di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan,kemarin.
Dialog yang digelar HMI Komisariat Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dengan BEM Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi tersebut dihadiri anggota KPAI Apong Herlina, pengamat sosial UIN Syarif Hidayatullah Siti Napsiyah Ariefuzzaman, dan Redaktur Harian SINDO Ahmad Baidowi. Ninik melanjutkan, UU PTPPO sudah lima tahun lalu disahkan, namun implementasi di lapangan masih lemah.
Untuk itulah, pihaknya berharap UU PPTPPO diterapkan dengan tetap mengedepankan pendekatan HAM. Dia me-lanjutkan, kasus trafficking di Indonesia terus bertambah dan pelakunya banyak dari orangorang sekitar korban. “Pelaku trafficking ternyata ada yang masih tetangga, bahkan famili korban. Ada juga pelaku adalah orang yang baru dikenal,”ungkapnya.
Menurut dia, modus operandi trafficking terus berkembang. Belakangan ini marak menggunakan media sosial seperti Facebook dan Twitter. “Ternyata perkembangan teknologi informasi sudah disalahgunakan,” tandasnya. Ninik menegaskan, mayoritas korban trafficking adalah perempuan dan anak. Namun, ada juga laki-laki yang menjadi korban. Anggota KPAI Apong Herlina menambahkan, kasus perdagangan anak menggunakan berbagai macam modus.
Sebagian besar diiming-imingi pekerjaan, tapi akhirnya justru dijadikan penjaja seks komersial (PSK).“Banyak anak di bawahumuryangmenjadikorban. Ini harus dihentikan, ”pintanya. Faktor trafficking umumnya akibat himpitan ekonomi, pengangguran dan rendahnya pendidikan.Terbukti, korban trafficking mayoritas hanya mengenyam pendidikan tingkat SD dan paling tinggi SMP.
Pengamat sosial UIN Syarif Hidayatullah Siti Napsiyah Ariefuzzaman mengungkapkan, peningkatan kualitas pendidikan merupakan salah satu solusi untuk memerangi kasus trafficking.Dia optimistis semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, kemungkinan untuk menjadi korban trafficking lebih kecil.
“Itu hanya salah satu sarana, semua bergantung pada masing-masing.Tapi saya yakin pendidikan akan banyak membantu,” tutur alumnus McGill University,Kanada ini. (wbs)
()