Pengamat: Publik harus kritisi hasil survei
A
A
A
Sindonews.com - Menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta, semakin banyak lembaga survei yang merilis penelitiannya. Namun, tidak semua hasil survei itu memuaskan semua pihak.
Yang merasa dirugikan hasil survei itu pasti akan melempar kecamannya. Kemudian muncul dugaan lembaga survei sengaja dipesan sebagai strategi politik demi memenangkan pilgub.
Demikian pula disampaikan Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto ini. Menurut dia, seharusnya publik harus lebih kritis terhadap sejumlah hasil survei soal elektabilitas pasangan kandidat.
"Di sini, kekritisan publik sangat dibutuhkan untuk menilai hasil survei itu," ujarnya kepada Sindonews melalui pesan singkatnya, Rabu (18/4/2012) malam.
Kritis penting, sebab tak semuanya hasil survei akurat, atau murni dilakukan tanpa memihak salah satu pasangan kandidat calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub).
Menurutnya, ada dua kategori survei, survei yang dilakukan konsultan politik dan survei yang dilakukan oleh lembaga non partisan.
"Kalau survey dilakukan konsultan politik memang sejak awal disain risetnya merupakan rangkaian panjang dari proses treatment 'Marketing of Politic', meski menggunakan pendekatan metodologi ilmiah dengan standar-standar yang bisa diverifikasi hasil reflikasinya, tetapi formulanya adalah mengkonstruksi pencitraan di pasangan kandidat yang menjadi klien-nya," jelasnya.
Hasil riset dari survei ini lebih tendensius, meski secara artifisial terkesan ilmiah.
Sedangkan survei lembaga non partisan biasanya tidak menerima pesanan dari kandidat. Sehingga lebih bebas mengeksplorasi metodologi sekaligus temuan hasil-hasil penelitian.
Kedua jenis survei itu kini berkompetisi di tengah pasar bebas demokrasi elektoral. Dan sudah bukan rahasia lagi, sambung dia, kelompok survei kategori pertama atau survei oleh konsultan politik itu lebih dominan mendapatkan 'tempat' di media massa, terutama media mainstream.
"Nah, seharusnya memang regulasi seputar publikasi hasil riset opini publik ini diperjelas. Aturan main harus jelas mengatur hal ini. Bagi saya, seharusnya hasil riset yang dilakukan konsultan itu hanya untuk konsumsi klien sebagai input dalam pemetaan kandidat hingga tahap pemenangan dan tidak dipublikasikan lewat media massa," ujarnya.
Padahal survei yang boleh dipubikasikan itu hasil riset sejumlah institusi non partisan. "Tapi terlepas dari apapun 'kepentingannya' survei-survei tersebut, selama masih berbasis metodologi ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik, bisa diapresiasi sebagai referensi-referensi untuk para pasangan kandidat," tandasnya.(lin)
Yang merasa dirugikan hasil survei itu pasti akan melempar kecamannya. Kemudian muncul dugaan lembaga survei sengaja dipesan sebagai strategi politik demi memenangkan pilgub.
Demikian pula disampaikan Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto ini. Menurut dia, seharusnya publik harus lebih kritis terhadap sejumlah hasil survei soal elektabilitas pasangan kandidat.
"Di sini, kekritisan publik sangat dibutuhkan untuk menilai hasil survei itu," ujarnya kepada Sindonews melalui pesan singkatnya, Rabu (18/4/2012) malam.
Kritis penting, sebab tak semuanya hasil survei akurat, atau murni dilakukan tanpa memihak salah satu pasangan kandidat calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub).
Menurutnya, ada dua kategori survei, survei yang dilakukan konsultan politik dan survei yang dilakukan oleh lembaga non partisan.
"Kalau survey dilakukan konsultan politik memang sejak awal disain risetnya merupakan rangkaian panjang dari proses treatment 'Marketing of Politic', meski menggunakan pendekatan metodologi ilmiah dengan standar-standar yang bisa diverifikasi hasil reflikasinya, tetapi formulanya adalah mengkonstruksi pencitraan di pasangan kandidat yang menjadi klien-nya," jelasnya.
Hasil riset dari survei ini lebih tendensius, meski secara artifisial terkesan ilmiah.
Sedangkan survei lembaga non partisan biasanya tidak menerima pesanan dari kandidat. Sehingga lebih bebas mengeksplorasi metodologi sekaligus temuan hasil-hasil penelitian.
Kedua jenis survei itu kini berkompetisi di tengah pasar bebas demokrasi elektoral. Dan sudah bukan rahasia lagi, sambung dia, kelompok survei kategori pertama atau survei oleh konsultan politik itu lebih dominan mendapatkan 'tempat' di media massa, terutama media mainstream.
"Nah, seharusnya memang regulasi seputar publikasi hasil riset opini publik ini diperjelas. Aturan main harus jelas mengatur hal ini. Bagi saya, seharusnya hasil riset yang dilakukan konsultan itu hanya untuk konsumsi klien sebagai input dalam pemetaan kandidat hingga tahap pemenangan dan tidak dipublikasikan lewat media massa," ujarnya.
Padahal survei yang boleh dipubikasikan itu hasil riset sejumlah institusi non partisan. "Tapi terlepas dari apapun 'kepentingannya' survei-survei tersebut, selama masih berbasis metodologi ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik, bisa diapresiasi sebagai referensi-referensi untuk para pasangan kandidat," tandasnya.(lin)
()