Menjadi guru ngaji di penjara Mekkah
A
A
A
Sindonews.com - Tidak selamanya kehidupan di penjara itu suram. Malah ada pesakitan yang menemukan hidayah dan menjadi ulama di hotel prodeo itu. Itulah yang terjadi pada Hafiz bin Kholil Sulam, TKI asal Desa Kodak, Kecamatan Torjun, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur yang mendekam di penjara selama 13 tahun di penjara Sijin Al-Aam, Mekkah.
Hafiz yang kemarin siang baru saja mendarat di Bandara Soekarno-Hatta menyatakan, dia sangat merasa bersalah karena telah membunuh pamannya sendiri bernama Mohammad Husin Ali Mukalim karena disulut api cemburu.
Dengan gelap mata, Hafiz membunuh pamannya dengan tusukan pisau di bagian leher serta belakang kepala. Perasaan bersalah pun berubah menjadi ketakutan ketika ia akan dijebloskan di penjara Sijin Al-Aam yang sipir penjaranya diisukan sadis.
Hafiz pun sudah merasa tidak punya harapan hidup lagi ketika keluarga pamannya ingin hukum Islam ditegakkan yakni nyawa dibalas nyawa. Hukuman pancung atau qishash pun menunggu lulusan SD yang mencari nafkah di Misfalah, kota Mekkah sebagai sopir ini.
"Saya cuma bisa pasrah. Karena saya tahu kemungkinan dimaafkan itu sangat kecil," ujar Hafiz yang murah senyum ini.
Hafiz mengaku pasrah akan hukuman yang akan dihadapi. Namun di dalam sel yang satu bloknya itu dihuni 300 orang, Hafiz selalu tahajjud dan memanjatkan doa untuk mencari ketenangan hati dan pikirannya.
Karena tidak ada kegiatan yang berarti Hafiz pun meminta Alquran oleh sipir penjara. Aktivitas di penjara yang monoton membuat Hafiz tekun membaca kitab suci agama Islam tersebut.
Tak disangka, suara indah Hafiz ketika membaca ayat suci menarik napi lain untuk meminta diajari mengaji. Awalnya hanya satu dua orang yang berguru kepadanya. Namun seiring waktu Hafiz pun kebanjiran order.
Hebatnya tidak hanya napi asal Indonesia yang memintanya, namun juga napi asal tanah Arab pun banyak yang ingin dipandunya. Sipir penjara yang awalnya mengacuhkannnya pun berbalik kagum kepada pria berusia 46 tahun ini.
"Biasanya saya mengajar pagi hari di madrasah yang disediakan penjara," terang ayah satu anak ini.
Menjadi guru mengaji pun menjadi kesibukan Hafiz selain berolahraga. Dia mengaku tidak memungut bayaran atas jasanya mengajar mengaji. Namun ada saja muridnya yang seiklasnya memberinya uang berkisar 50-500 Real. Uang tersebut pun dikumpulkannya untuk dikirim ke kampung.
Selain upah mengajar, penjara pun memberikan ke setiap napi semacam uang saku 150 real per bulannya. Hafiz pun tak henti-hentinya bersyukur karena meskipun dipenjara dia dapat menyekolahkan anaknya hingga SMA kelas 3.
Keihlasannya dipenjara pun berbuah manis. Pada 24 November 2008, KJRI memperoleh pemaafan (tanazul) dari ahli waris korban yang tinggal di Surabaya yaitu Muawwanah dan Rahmat Nurholis, masing-masing sebagai istri dan anak korban.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat menjelaskan, tanazul ahli waris menyepakati besarnya uang pengganti darah (diyat) sebesar 400.000 Real atau setara Rp1 miliar.
"Uang disampaikan pada November 2011 untuk diserahkan ke ahli waris melalui lembaga peradilan di negara tersebut. Usai diyat dibayar, KJRI memproses pemulangan Hafidz ke Indonesia," terang Jumhur.
Hafidz mengaku pelajaran mahal yang dia dapat dipenjara ialah berhenti melakukan perbuatan maksiat dan bertaubat. Hanya rasa syukur yang dia panjatkan karena bisa terbebas dari hukum pancung, pulang ke tanah air dan akan bertemu dengan anak yang selama ini ditinggalkannya.
Pria yang kangen makan nasi bebek inipun mengaku belum tahu apa yang akan dikerjakannya di kampung. Mengajar mengaji? Hafidz pun mengucap insya Allah ia akan mengumandangkan suara indahnya itu di kampung halamannya sendiri.
Hafiz yang kemarin siang baru saja mendarat di Bandara Soekarno-Hatta menyatakan, dia sangat merasa bersalah karena telah membunuh pamannya sendiri bernama Mohammad Husin Ali Mukalim karena disulut api cemburu.
Dengan gelap mata, Hafiz membunuh pamannya dengan tusukan pisau di bagian leher serta belakang kepala. Perasaan bersalah pun berubah menjadi ketakutan ketika ia akan dijebloskan di penjara Sijin Al-Aam yang sipir penjaranya diisukan sadis.
Hafiz pun sudah merasa tidak punya harapan hidup lagi ketika keluarga pamannya ingin hukum Islam ditegakkan yakni nyawa dibalas nyawa. Hukuman pancung atau qishash pun menunggu lulusan SD yang mencari nafkah di Misfalah, kota Mekkah sebagai sopir ini.
"Saya cuma bisa pasrah. Karena saya tahu kemungkinan dimaafkan itu sangat kecil," ujar Hafiz yang murah senyum ini.
Hafiz mengaku pasrah akan hukuman yang akan dihadapi. Namun di dalam sel yang satu bloknya itu dihuni 300 orang, Hafiz selalu tahajjud dan memanjatkan doa untuk mencari ketenangan hati dan pikirannya.
Karena tidak ada kegiatan yang berarti Hafiz pun meminta Alquran oleh sipir penjara. Aktivitas di penjara yang monoton membuat Hafiz tekun membaca kitab suci agama Islam tersebut.
Tak disangka, suara indah Hafiz ketika membaca ayat suci menarik napi lain untuk meminta diajari mengaji. Awalnya hanya satu dua orang yang berguru kepadanya. Namun seiring waktu Hafiz pun kebanjiran order.
Hebatnya tidak hanya napi asal Indonesia yang memintanya, namun juga napi asal tanah Arab pun banyak yang ingin dipandunya. Sipir penjara yang awalnya mengacuhkannnya pun berbalik kagum kepada pria berusia 46 tahun ini.
"Biasanya saya mengajar pagi hari di madrasah yang disediakan penjara," terang ayah satu anak ini.
Menjadi guru mengaji pun menjadi kesibukan Hafiz selain berolahraga. Dia mengaku tidak memungut bayaran atas jasanya mengajar mengaji. Namun ada saja muridnya yang seiklasnya memberinya uang berkisar 50-500 Real. Uang tersebut pun dikumpulkannya untuk dikirim ke kampung.
Selain upah mengajar, penjara pun memberikan ke setiap napi semacam uang saku 150 real per bulannya. Hafiz pun tak henti-hentinya bersyukur karena meskipun dipenjara dia dapat menyekolahkan anaknya hingga SMA kelas 3.
Keihlasannya dipenjara pun berbuah manis. Pada 24 November 2008, KJRI memperoleh pemaafan (tanazul) dari ahli waris korban yang tinggal di Surabaya yaitu Muawwanah dan Rahmat Nurholis, masing-masing sebagai istri dan anak korban.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat menjelaskan, tanazul ahli waris menyepakati besarnya uang pengganti darah (diyat) sebesar 400.000 Real atau setara Rp1 miliar.
"Uang disampaikan pada November 2011 untuk diserahkan ke ahli waris melalui lembaga peradilan di negara tersebut. Usai diyat dibayar, KJRI memproses pemulangan Hafidz ke Indonesia," terang Jumhur.
Hafidz mengaku pelajaran mahal yang dia dapat dipenjara ialah berhenti melakukan perbuatan maksiat dan bertaubat. Hanya rasa syukur yang dia panjatkan karena bisa terbebas dari hukum pancung, pulang ke tanah air dan akan bertemu dengan anak yang selama ini ditinggalkannya.
Pria yang kangen makan nasi bebek inipun mengaku belum tahu apa yang akan dikerjakannya di kampung. Mengajar mengaji? Hafidz pun mengucap insya Allah ia akan mengumandangkan suara indahnya itu di kampung halamannya sendiri.
()