Demokrasi Indonesia bersifat anarkis
A
A
A
Sindonews.com – Peneliti Kajian Budaya Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan, bentrok yang terjadi di kalangan ormas menjadikan keprihatinan bagi sistem demokrasi yang tumbuh di Indonesia. Demokrasi di Indonesia, menurutnya bersifat anarkis.
“Ini bentuk demokrasi anarkis, kita belum terlatih untuk bisa membentuk demokrasi ala Indonesia. Perjalanan budaya tiap kontur negara berbeda, dan Indonesia masih terlalu bayi butuh pembelajaran,” ujarnya di Universitas Indonesia, Jalan Margonda, Depok, Sabtu (21/01/12).
Devie meyakini, saat ini masyarakat sudah dalam tahap titik jenuh menghadapi permasalahan yang dilatarbelakangi oleh kepentingan ormas. Semangat Pancasila dan spirit Undang–Undang Dasar (UUD) 1945, kini semakin luntur saat budaya kekerasan terus dipakai di Indonesia.
“Ketika korban banyak, bukan nyawa saja, tetapi waktu dan ekonomi, ini bikin masyarakat jenuh. Kita inginnya semua permasalahan dapat diselesaikan dengan duduk tenang atau musyawarah, ini yang sudah hilang, malah budaya tonjok–tonjokan,” tegas penulis buku "69 Panduan Humanis Menghadapi Wartawan" ini.
Devie menilai, generasi saat ini perlu mempelajari kembali bagaimana proses bernegara. Salah satunya bisa dilakukan mulai dari kalangan elit. Namun saat ini, banyak pula kalangan elit yang melakukan kekerasan verbal.
“Generasi sekarang perlu belajar kembali, bukan konteks formal P4 saja, bisa dimulai bagaimana elit berikan peran. Kekerasan ada dua, yakni kekerasan fisik, dan kekerasan verbal. Elit juga jangan sering contohkan saling tonjolkan kekerasan verbal di media, contohnya di Inggris, mereka memiliki budaya debat yang baik, yang diwadahi untuk menyampaikan aspirasinya,” tandas Devie. (wbs)
“Ini bentuk demokrasi anarkis, kita belum terlatih untuk bisa membentuk demokrasi ala Indonesia. Perjalanan budaya tiap kontur negara berbeda, dan Indonesia masih terlalu bayi butuh pembelajaran,” ujarnya di Universitas Indonesia, Jalan Margonda, Depok, Sabtu (21/01/12).
Devie meyakini, saat ini masyarakat sudah dalam tahap titik jenuh menghadapi permasalahan yang dilatarbelakangi oleh kepentingan ormas. Semangat Pancasila dan spirit Undang–Undang Dasar (UUD) 1945, kini semakin luntur saat budaya kekerasan terus dipakai di Indonesia.
“Ketika korban banyak, bukan nyawa saja, tetapi waktu dan ekonomi, ini bikin masyarakat jenuh. Kita inginnya semua permasalahan dapat diselesaikan dengan duduk tenang atau musyawarah, ini yang sudah hilang, malah budaya tonjok–tonjokan,” tegas penulis buku "69 Panduan Humanis Menghadapi Wartawan" ini.
Devie menilai, generasi saat ini perlu mempelajari kembali bagaimana proses bernegara. Salah satunya bisa dilakukan mulai dari kalangan elit. Namun saat ini, banyak pula kalangan elit yang melakukan kekerasan verbal.
“Generasi sekarang perlu belajar kembali, bukan konteks formal P4 saja, bisa dimulai bagaimana elit berikan peran. Kekerasan ada dua, yakni kekerasan fisik, dan kekerasan verbal. Elit juga jangan sering contohkan saling tonjolkan kekerasan verbal di media, contohnya di Inggris, mereka memiliki budaya debat yang baik, yang diwadahi untuk menyampaikan aspirasinya,” tandas Devie. (wbs)
()