Pelayanan Corona Masih Dikeluhkan, Ombudsman Sampaikan 11 Saran
A
A
A
JAKARTA - Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya menyampaikan beberapa poin catatan khusus kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta agar dapat lebih baik dalam melakukan pelayanan publik penanganan Covid-19. Saran perbaikan yang disampaikan Ombudsman didasarkan pada laporan masyarakat dan temuan oleh Tim Pemeriksa Ombudsman di lapangan.
"Upaya korektif ini kami sampaikan semata-mata untuk meningkatkan upaya penanganan Covid-19 di Jakarta sebagai wilayah terdampak paling parah dari pandemi agar lebih baik walaupun saat ini sudah sangat baik,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P Nugroho, Minggu (5/4/2020).
Adapun beberapa saran korektif dari Ombudsman Jakarta Raya, yakni pertama, menggencarkan sosialisasi alur rujukan bagi suspect Covid-19 yang melalui jalur rujukan (Puskesmas dan Faskes BPJS) maupun dari Rumah sakit swasta bagi masyarakat yang melakukan pengecekan mandiri.
“Tim Pemeriksa masih mendapati masyarakat yang diduga suspect Covid-19 ditolak oleh rumah Sakit rujukan karena penuh. Penolakan tersebut dilakukan baik oleh rumah Sakit rujukan yang di bawah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta maupun rumah Sakit yang di bawah Kementerian Kesehatan, termasuk rumah sakit darurat di Wisma Atlet Kemayoran,” katanya.
Kedua, penolakan yang dilakukan oleh rumah sakit rujukan berdasar informasi yang diperoleh Tim Pemeriksa, disebabkan oleh minimnya jumlah ruang isolasi di rumah sakit yang dimaksud.
“Untuk itu, Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya meminta kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk berkoordinasi lebih lanjut dengan Satgas Covid-19, termasuk Badan Pengawas Rumah Sakit Swasta (BPRS)untuk menambah jumlah ruang isolasi tersedia dengan melibatkan Rumah Sakit Swasta,” jelasnya.
Untuk rumah sakit swasta yang langsung di bawah pengawasan BPRS Provinsi dan Dinas Kesehatan, Pemprov DKI Jakarta diharapkan membangun komunikasi yang lebih intens dengan pihak rumah sakit swasta agar terlibat dalam penanganan Covid-19 di wilayah Ibu Kota. Namun Ombudsman meminta DKI Jakarta untuk tidak menerima bantuan penyediaan rumah Sakit darurat yang baru dibangun oleh para pengembang di wilayah permukiman.
Beberapa pihak telah menawarkan pembangunan rumah sakit darurat di beberapa apartemen yang mereka kelola. Tawaran dengan itikad baik tersebut bisa berdampak lebih buruk pada keselamatan warga yang berada di wilayah tersebut, karena permukiman itu tidak didesain dan memiliki fasilitas penanganan penyakit menular, seperti yang dimiliki oleh rumah sakit swasta yang telah ada.
Saran ketiga, Pemprov DKI diharapkan bisa memberikan bantuan ekonomi kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang terbukti sebagai PDP tapi tidak dapat dirawat di rumah sakit rujukan, dan harus melakukan isolasi mandiri selama mereka menjalani isolasi mandiri tersebut agar mereka bisa fokus untuk melakukan isolasi mandiri.
Keempat, menambah jumlah Rapid Test Covid-19 pada wilayah zona merah dan daerah dimana potensi penyebaran lebih sulit di deteksi, seperti perkampungan kumuh dan padat penduduk. Ombudsman secara khusus mengkhawatirkan tingginya angka pemakaman pada bulan Maret 2020 sebagai bagian dari puncak gunung es penyebaran Covid-19 yang belum terdeteksi tapi telah memakan korban jiwa. Potensi tersebut ada di wilayah-wilayah permukiman padat penduduk.
“Kelima, memperbaiki dan menambah kualitas APD bagi tenaga medis, bukan hanya di rumah sakit rujukan tapi juga di rumah sakit dan Faskes BPJS sebagai farad ter depan pengecekan awal suspect Covid-19. Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya mengapreasi penyediaan APD yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada Puskesmas se-DKI Jakarta, tapi jumlahnya masih sangat jauh dari memadai,” terangnya.
Keenam, upaya penyediaan APD bagi tenaga medis di Jakarta dapat dilakukan dengan mendorong salah satu BUMD DKI Jakarta sebagai leading sector pembuatan APD dengan melibatkan industri APD lokal. Selain itu, melakukan penunjukan salah satu BUMD DKI Jakarta untuk melakukan import APD dan Rapid Test Kits Covid-19 secara bersamaan dengan proses produksi lokal tanpa harus menunggu ketersediaan dari pemerintah pusat, walaupun tetap berkoordinasi agar tidak terjadi pengulangan data.
Saran ketujuh, mempersiapkan karantina parsial di tingkat RW sampai Kelurahan seperti yang dimungkinkan dalam Undang-Undang Karantina Kesehatan, mengingat seluruh Kecamatan di DKI Jakarta (kecuali Kepulauan Seribu) merupakan daerah penyebaran dan terpapar Covid-19.
Pengajuan ini juga disertai dengan upaya simulasi karantina parsial termasuk pemberian bantuan ekonomi, alat kesehatan dan bantuan lainnya bagi para pekerja sektor informal, pekerja harian lepas dan masyarakat ekonomi tidak mampu lainnya.
Kedelapan, mengusulkan sebuah kebijakan yang terpadu kepada Satgas Covid-19 Nasional dengan beberapa wilayah penyangga, seperti Tangerang, Bogor, Bekasi dan Depok terkait pembatasan mobilitas atau lalu lintas masyarakat antar wilayah. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sekitar 50% pasien positif Covid-19 Nasional berada di wilayah Jakarta sehingga Pembatasan Sosial Berskala Besar akan efektif dan optimal melalui pembatasan mobilitas masyarakat antar wilayah DKI Jakarta dengan daerah penyangga dengan melibatkan Dinas terkait serta Polri.
Kesembilan, bekerja sama dengan Organda, PT KAI, dan perusahaan penerbangan untuk memastikan bahwa pelayanan mereka memenuhi syarat physical/social distancing. Bertukar informasi dengan pemerintah daerah penerima masyarakat yang mudik terbanyak dengan melibatkan aparat RT/RW untuk memberikan surat jalan kepada masyarakat yang akan mudik dengan kriteria sebagai anggota masyarakat yang berada sangat dekat dengan tempat tinggal PDP (satu RT) dengan PDP, cukup dekat (Satu RW) dengan PDP, dan sedang (satu kelurahan) dan jauh (satu kecamatan) agar daerah penerima agar pemerintah setempat memiliki pengetahuan yang cukup tentang kondisi para ODP yang mudik ke daerah mereka.
Kesepuluh, mensosialisasikan kepada warga DKI Jakarta yang akan mudik untuk tetap bertahan di Jakarta. Selain karena adanya potensi penyebaran Covid-19 ke daerah asal, namun juga kepastian kemampuan dukungan bantuan ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah di Jakarta akan lebih baik setelah Jakarta memperoleh status PSBB dibandingkan daerah asal mengingat kemampuan keuangan DKI Jakarta yang jauh lebih baik dibanding dengan daerah tujuan mudik merek.
"Terakhir mendorong partisipasi publik untuk ikut turun serta dalam membantu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penanganan pandemi ini melalui kesukarelaan mereka di program RW siaga Covid-19," pungkasnya.
"Upaya korektif ini kami sampaikan semata-mata untuk meningkatkan upaya penanganan Covid-19 di Jakarta sebagai wilayah terdampak paling parah dari pandemi agar lebih baik walaupun saat ini sudah sangat baik,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P Nugroho, Minggu (5/4/2020).
Adapun beberapa saran korektif dari Ombudsman Jakarta Raya, yakni pertama, menggencarkan sosialisasi alur rujukan bagi suspect Covid-19 yang melalui jalur rujukan (Puskesmas dan Faskes BPJS) maupun dari Rumah sakit swasta bagi masyarakat yang melakukan pengecekan mandiri.
“Tim Pemeriksa masih mendapati masyarakat yang diduga suspect Covid-19 ditolak oleh rumah Sakit rujukan karena penuh. Penolakan tersebut dilakukan baik oleh rumah Sakit rujukan yang di bawah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta maupun rumah Sakit yang di bawah Kementerian Kesehatan, termasuk rumah sakit darurat di Wisma Atlet Kemayoran,” katanya.
Kedua, penolakan yang dilakukan oleh rumah sakit rujukan berdasar informasi yang diperoleh Tim Pemeriksa, disebabkan oleh minimnya jumlah ruang isolasi di rumah sakit yang dimaksud.
“Untuk itu, Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya meminta kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk berkoordinasi lebih lanjut dengan Satgas Covid-19, termasuk Badan Pengawas Rumah Sakit Swasta (BPRS)untuk menambah jumlah ruang isolasi tersedia dengan melibatkan Rumah Sakit Swasta,” jelasnya.
Untuk rumah sakit swasta yang langsung di bawah pengawasan BPRS Provinsi dan Dinas Kesehatan, Pemprov DKI Jakarta diharapkan membangun komunikasi yang lebih intens dengan pihak rumah sakit swasta agar terlibat dalam penanganan Covid-19 di wilayah Ibu Kota. Namun Ombudsman meminta DKI Jakarta untuk tidak menerima bantuan penyediaan rumah Sakit darurat yang baru dibangun oleh para pengembang di wilayah permukiman.
Beberapa pihak telah menawarkan pembangunan rumah sakit darurat di beberapa apartemen yang mereka kelola. Tawaran dengan itikad baik tersebut bisa berdampak lebih buruk pada keselamatan warga yang berada di wilayah tersebut, karena permukiman itu tidak didesain dan memiliki fasilitas penanganan penyakit menular, seperti yang dimiliki oleh rumah sakit swasta yang telah ada.
Saran ketiga, Pemprov DKI diharapkan bisa memberikan bantuan ekonomi kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang terbukti sebagai PDP tapi tidak dapat dirawat di rumah sakit rujukan, dan harus melakukan isolasi mandiri selama mereka menjalani isolasi mandiri tersebut agar mereka bisa fokus untuk melakukan isolasi mandiri.
Keempat, menambah jumlah Rapid Test Covid-19 pada wilayah zona merah dan daerah dimana potensi penyebaran lebih sulit di deteksi, seperti perkampungan kumuh dan padat penduduk. Ombudsman secara khusus mengkhawatirkan tingginya angka pemakaman pada bulan Maret 2020 sebagai bagian dari puncak gunung es penyebaran Covid-19 yang belum terdeteksi tapi telah memakan korban jiwa. Potensi tersebut ada di wilayah-wilayah permukiman padat penduduk.
“Kelima, memperbaiki dan menambah kualitas APD bagi tenaga medis, bukan hanya di rumah sakit rujukan tapi juga di rumah sakit dan Faskes BPJS sebagai farad ter depan pengecekan awal suspect Covid-19. Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya mengapreasi penyediaan APD yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada Puskesmas se-DKI Jakarta, tapi jumlahnya masih sangat jauh dari memadai,” terangnya.
Keenam, upaya penyediaan APD bagi tenaga medis di Jakarta dapat dilakukan dengan mendorong salah satu BUMD DKI Jakarta sebagai leading sector pembuatan APD dengan melibatkan industri APD lokal. Selain itu, melakukan penunjukan salah satu BUMD DKI Jakarta untuk melakukan import APD dan Rapid Test Kits Covid-19 secara bersamaan dengan proses produksi lokal tanpa harus menunggu ketersediaan dari pemerintah pusat, walaupun tetap berkoordinasi agar tidak terjadi pengulangan data.
Saran ketujuh, mempersiapkan karantina parsial di tingkat RW sampai Kelurahan seperti yang dimungkinkan dalam Undang-Undang Karantina Kesehatan, mengingat seluruh Kecamatan di DKI Jakarta (kecuali Kepulauan Seribu) merupakan daerah penyebaran dan terpapar Covid-19.
Pengajuan ini juga disertai dengan upaya simulasi karantina parsial termasuk pemberian bantuan ekonomi, alat kesehatan dan bantuan lainnya bagi para pekerja sektor informal, pekerja harian lepas dan masyarakat ekonomi tidak mampu lainnya.
Kedelapan, mengusulkan sebuah kebijakan yang terpadu kepada Satgas Covid-19 Nasional dengan beberapa wilayah penyangga, seperti Tangerang, Bogor, Bekasi dan Depok terkait pembatasan mobilitas atau lalu lintas masyarakat antar wilayah. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sekitar 50% pasien positif Covid-19 Nasional berada di wilayah Jakarta sehingga Pembatasan Sosial Berskala Besar akan efektif dan optimal melalui pembatasan mobilitas masyarakat antar wilayah DKI Jakarta dengan daerah penyangga dengan melibatkan Dinas terkait serta Polri.
Kesembilan, bekerja sama dengan Organda, PT KAI, dan perusahaan penerbangan untuk memastikan bahwa pelayanan mereka memenuhi syarat physical/social distancing. Bertukar informasi dengan pemerintah daerah penerima masyarakat yang mudik terbanyak dengan melibatkan aparat RT/RW untuk memberikan surat jalan kepada masyarakat yang akan mudik dengan kriteria sebagai anggota masyarakat yang berada sangat dekat dengan tempat tinggal PDP (satu RT) dengan PDP, cukup dekat (Satu RW) dengan PDP, dan sedang (satu kelurahan) dan jauh (satu kecamatan) agar daerah penerima agar pemerintah setempat memiliki pengetahuan yang cukup tentang kondisi para ODP yang mudik ke daerah mereka.
Kesepuluh, mensosialisasikan kepada warga DKI Jakarta yang akan mudik untuk tetap bertahan di Jakarta. Selain karena adanya potensi penyebaran Covid-19 ke daerah asal, namun juga kepastian kemampuan dukungan bantuan ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah di Jakarta akan lebih baik setelah Jakarta memperoleh status PSBB dibandingkan daerah asal mengingat kemampuan keuangan DKI Jakarta yang jauh lebih baik dibanding dengan daerah tujuan mudik merek.
"Terakhir mendorong partisipasi publik untuk ikut turun serta dalam membantu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penanganan pandemi ini melalui kesukarelaan mereka di program RW siaga Covid-19," pungkasnya.
(thm)